Geisz Chalifah Tidak Ada Duplikatnya

OlehSion Fernandos Hutadjulu 

(Taman Impian Jaya Ancol)


SELAMAT
pagi. Sebelumnya, izinkan saya terlebih dahulu memperkenalkan diri. Nama saya Sion Fernandos Hutadjulu. Boleh dipanggil Andos, Abang, Hutadjulu. Lae juga tidak apa-apa. Saya terlahir di kota Jakarta dan dianugerahkan sebagai suku Batak. Alm Papa saya berasal dari Laguboti dan Mama saya berasal dari Porsea, Kabupaten Tobasa, Provinsi Sumatera Utara.

Kedua orang tua saya adalah BTL (Batak Tembak Langsung) yang artinya orang batak yang langsung merantau ke Jakarta, tidak sempat transit/singgah di Kota Medan. Saya asli seasli-aslinya dan bangga beragama Kristen Protestan. Dari baptis, katekisasi, sampai pemberkatan pernikahan terdaftar di Gereja HKBP Sudirman Jakarta.

Sekarang ini saya mengabdi kepada Provinsi DKI Jakarta melalui salah satu BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), yaitu PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. Saya dipercayakan oleh manajemen sebagai Kepala Protokol dari tahun 2018 sampai dengan sekarang, yang dimana salah satu tugas saya sebagai pengawalan kepada Direksi dan Komisaris dalam kegiatan internal maupun eksternal.
Dari sini petualangan dengan Top Manajemen berawal, lebih spesifik lagi kepada salah satu Komisaris yaitu Bapak Geisz Chalifah.

Saya tidak akan membahas mengenai hal-hal yang telah beliau lakukan karena saya sudah jenuh untuk membahas itu. Kenapa jenuh? Sederhana saja karena nusantara dan semesta telah menjadi saksi atas semua kebaikan, keikhlasan, beserta ketulusan yang telah dan akan beliau perbuat. Tanpa disadari, karya-karya beliau terus memberikan saya inspirasi untuk jalan kebaikan.

Kenapa saya menyebut petualangan? Karena beliau memberi ruang untuk saya bereksplorasi secara positif dalam setiap hal dan menjadikan spektrum dalam kehidupan yang saya jalani.

Beliau menjabat sebagai Komisaris Ancol sejak tahun 2018 sampai dengan sekarang. Saya coba mencari tahu mengenai beliau melalui jejak digital dan saya dapat menyimpulkan sebagai opini pribadi pada masa itu “ngeri-ngeri sedap bapak kita ini”.

Latar belakang aktivis, agamais, tinggal di kawasan Senen, dan Arab Betawi tulen. Silahkan dibayangkan sekeras apa beliau dalam menjalani kehidupan dan saya percaya hal tersebut sedikit banyak membentuk karakter beliau.

BACA JUGA :  Catatan Perjalanan ke Tanah Batak (2): Dari Resto Belawan ke Resto Wajir

Hal “baik” yang saya harus jalankan yaitu saya harus melayani beliau sesuai dengan jobdesk saya. Galau, dilema, parno adalah sedikit hal yang saya resahkan dan rasakan untuk dijalankan tapi dengan keyakinan beserta kepasrahan hati yang meneguhkan diri saya untuk tetap menjadi bagian dari supporting beliau.

Dan benar, selama 90 hari pertama beliau menjabat, beliau sangat irit (irit bicara, irit bersikap, san irit berinteraksi) Dalam hati saya waktu itu, “Pak Anies ga salah menempatkan orang? Gaya kanebo kering begini jadi komisaris di kawasan wisata, yang ada pendapatan kita ikutan irit juga.” Saya hanya bisa berdoa agar dimampukan untuk menyelesaikan setiap pekerjaan yang berhubungan dengan beliau tanpa cela karena salah satu prinsip saya bekerja yaitu zero mistake and zero failure.

Tidak butuh waktu lama Tuhan memberi jawaban atas doa dari kegalauan saya. Yaitu pada saat beliau diminta oleh Coach Rene Suhardono (Komisaris Utama Ancol) dalam suatu acara untuk memberikan speech kepada karyawan Ancol dan semenjak saat itu istilah “sangat irit” yang melekat kepada beliau menjadi sirna berganti dengan kehangatan.

Kegiatan CSR Ancol untuk Gempa di Lombok dan Tsunami di Banten yang diinisiasi oleh beliau mengajarkan saya rasa bersyukur dan menghargai kehidupan. Setiap tetes air mata korban bencana yang jatuh menjadi duka lara bersama dan senyum tawa keceriaan mereka pun menjadi kebahagiaan bersama. Kepedulian terhadap sesama dan kemanusiaan adalah nilai yang ingin beliau tanamkan kepada saya.

Mulai saat itu, saya menaruh rasa simpatik kepada beliau karena beliau mengajarkan saya tidak hanya dari kata kalimat, tetapi juga belajar dari realita kehidupan di kondisi terpuruk dibalut dalam duka maupun kondisi canda tawa dalam kebahagiaan yang terpancar.

Timbul dalam benak saya, kenapa beliau sangat membenci para buzzer yang menyudutkan Bapak Anies Baswedan dan ringan dalam menggerakkan jari-jari jempolnya kepada pihak tersebut untuk dituangkan ke dalam media sosial? Saya tidak memiliki kepentingan politik maupun kepentingan pribadi dalam membahas ini tapi di sini saya belajar mengenai mengamalkan Pancasila, khusunya sila ke-5 yaitu _Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia_.

BACA JUGA :  BuzzerRp Otak Dikit Main Keroyokan, dan Orang Gila yang Suka Bicara Sendiri

Anggota legislatif, pengurus partai, pejabat, dosen, aktivis, perwakilan lembaga survey, hingga menteri telah merasakan “keganasan” dari kedua jempol beliau. Data dan fakta menjadi dasar beliau untuk memberikan argumentasi secara persuasif maupun agresif agar kebeneran tetap berdiri tegak untuk kebaikan bersama.

Beliau menyampaikan, “Andos, apa yang tidak dilakukan Anies buat kita? Lo kan Natalan, Christmas Carol sepanjang Jalan Sudirman—Thamrin dia siapkan untuk merayakan suasana Natal kepada warga nasrani. Warga Hindu Tamil dipermudah izin pembangunan tempat ibadahnya dan dia kunjungin. Tapi pada saat dia memberikan izin untuk pembangunan Museum Rasullulah dibilang membangun semangat keagamaan. Logikanya dimana?”

Dan beliau juga benar-benar menghargai perbedaan agama. Pada suatu acara di hari Minggu, beliau kebetulan menghadiri acara tersebut dan menanyakan: “Dos, dari jam berapa kamu disini?” Saya jawab “Izin pak, saya dari pagi sudah disini.“ Beliau mengingatkan “Lo boleh kerja sekeras-kerasnya tapi jangan tinggalkan ibadah lo, karena nama baik yang akan lo tinggalkan di dunia untuk dikenang tapi hanya ibadah aja yang mampu menyelamatkan lo di dunia dan akhirat. Jangan lupa ke gereja dos. Kerjaan ga bakal ada habisnya.”

Saya speechless pada saat itu dan hanya menjawab “siap pak” untuk merespon beliau. Sejauh saya hidup sampai dengan sekarang, hanya ada 2 orang Arab muslim tulen yang saya kenal untuk mengingatkan saya untuk beribadah di gereja, yaitu sahabat saya Karim Jonosisworo dan Bapak Geisz Chalifah.

Di balik kisah ini tentunya ada pahatan kekecewaan yang terukir atas kekhilafan saya kepada beliau. Perasaan marah sangatlah manusiawi dan saya tidak mau membenarkan diri atas apa yang terjadi, tapi beliau selalu memberi pemikiran dari sudut pandang yang berbeda dan ucapan yang meneduhkan hati untuk terus memperbaiki diri kedepan untuk menjadi manusia dengan akhlak yang lebih baik. Karena beliau berkata, “Andos, saya ga mau marah. Kalau saya marah, adat saya jelek. Kalau ada yang salah dimaafkan, kalau ada yang kurang diperbaiki.”

BACA JUGA :  Jakarta Resmi Gelar Balap Formula E, Geisz Chalifah pun Mencuit Begini

Sekiranya kalau ada perkataan maupun sikap saya yang melukai hati Bapak, izinkan saya membasuh luka itu dan menata hati Bapak kembali agar tidak ada serpihan lara dan sendu yang tertinggal di dalam kalbu.

Pak Geisz, bagi saya semuanya itu hanya menjadi pelengkap saja karena yang terutama Bapak beserta keluarga tetap dalam keadaan sehat walafiat. Ini hanya sedikit cerita saya yang bisa melukiskan bahwa perbedaan tidak mampu membenturkan kebaikan. Terima kasih pak untuk terus mengingatkan saya, blak-blakan kepada saya, memanusiakan saya, dan membimbing saya. Semua yang berasal dari hati pasti akan sampai ke hati dan saya memiliki keyakinan bahwa niat tulus dengan kebaikan dalam perbuatan akan mampu menggetarkan hati Sang Pencipta untuk menggerakkan alam agar bersabda membantu menuntaskannya. Izinkan di dalam nafas kehidupan yang dipercayakan Sang Pemilik Kehidupan kepada saya untuk melaksanakan semua ajaran dan nasehat dari Bapak berikan.

Satu pinta saya dengan kerendahan hati kepada Bapak untuk tetap menjadi seseorang yang saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Tanggalb17 Juni 2013, hati saya telah patah karena ditinggal pergi oleh Papa saya pada saat saya sedang sayang-sayangnya dan saya mohon jangan ciderai sisa hati saya yang rapuh karena hanya itu yang saya punya untuk menyayangi Bapak dan orang-orang yang saya cintai.

Jantung berdetak, detik berputar, dan manisnya senja berganti indahnya malam, tapi yakinlah nama Bapak tidak luput dalam lantunan doa yang saya panjatkan. Walaupun suatu saat pahitnya kenyataan dari ujung kehidupan yang akan memisahkan saya dan Bapak, percayalah nirwana akan menyambut dengan senyuman penuh makna untuk kita kembali bersenda gurau.

Dunia pun tidak sanggup menduplikat seseorang Geisz Chalifah karena rasa dan asa yang Bapak ukir akan sukar untuk dilampaui bagi kami generasi penerus Bapak.

Selamat ulang tahun Pak Geisz. Kesehatan, kebijaksanaan, dan kesuksesan menyertai Bapak selalu. Salam hangat untuk keluarga pak. Stay healthy & stay happy ya pak.

Komentar