Diskusi Kebangsaan Informal UMA: Jika Kalah, Anies Harus Bagaimana?

TILIK.ID — Pasca pemungutan suara 14 Februari 2024, Kelompok UMA menggelar brain storming terkait masalah kebangsaan. Salah satunya menyinggung posisi Anies Baswedan jika dinyatakan kalah Pilpres 2024.

Diskusi kebangsaan yang digelar di kediaman Sofian Mile pada Senin malam (18/3/2024) itu diikuti beberapa dedengkot HMI seperti Afni Achmad, Geisz Chalifah, Yasin Kara, Yusron Ali Fahmi, Ambia, Ade Adam Noch, Yayat Biaro, Syahrir Lantoni, Ketua Go Anies Sirajuddin, dan Kasma Kasim.

Diskusi yang diawali dengan buka puasa bersama mengupas tentang kondisi bangsa ke depan pasca Pemilu. Termasuk bagaimana posisi Anies Baswedan pasca Pilpres 2024.

Diakui bersama bahwa Pemilu 2024 penuh kecurangan. Karena itu, diskusi mengajak menegakkan demokrasi melalui berbagai upaya yang harus dilakukan.

Mereka setuju adanya langkah-langkah untuk membuktikan isu kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Yang perlu dilakukan adalah menggugat ke MK dan menggulirkan hak angket serta parlemen jalanan.

“Isu kecurangan ini harus dibuktikan, agar hasil pemilu memiliki legitimasi yang kuat. Apakah cara ke MK dan hak angket, termasuk pressure melalui parlemen jalanan bisa efektif? Mari kita bahas sama-sama,” kata Sofian Mile dalam pengantar diskusi.

Geisz Chalifah membeberkan kecurangan pada Pemilu 2024 sudah diperkirakan bakal terjadi. Maka yang diharapkan oleh Timnas AMIN adalah mukjizat. Karena yang dilawan Anies adalah negara.

“Sayangnya mukjizat itu tidak ada. Organisasi pemenangan pun seperti tidak solid. Meski begitu, Anies luar biasa, bisa mengkonsolidasi kalangan muda. Bahkan tanpa duitpun menang secara moral,” ujarnya.

BACA JUGA :  Elektabilitas PDIP-Gerindra Menurun, Kata Survei Polmatrix

Geisz Chalifah mengakui konsistensi Anies dalam gerakan dan pemikiran. Indonesia mengajar, Indonesia menyala, mampu digerakkan dan menjadi figur yang dicintai. Gerakan perubahan saat ini tidak akan barhenti.

“Apakah instrumen gerakan itu menjadi oposisi atau mendirikan partai, tentu terpulang ke Anies. Saya lebih setuju Anies masuk ke DKI Jakarta,” ungkap Geisz.

Masuk ke DKI lagi, seperti usulan Yusron Fahmi, Geisz Chalifah lebih setuju. Namun menurut Ambia masuk ke DKI lagi justru mendegradasi level Anies.

Memang banyak yang mengusulkan Anies masuk kembali ke DKI, bahkan ada yang justru mendukung Anies menjadi oposisi. Namun bagi Yusron, menjadi oposisi tanpa parpol akan sama saja dengan Rizal Ramli.

“Anies harus punya panggung. Memilih oposisi tapi tidak punya parpol agak sulit. Membuat parpol pun bukan perkara mudah. Mungkin sebaiknya kembali ke Jakarta dulu,” kata Yuyon.

Di tempat yang sama, Yasin Kara menyatakan gerakan perlawanan terhadap kecurangan tidak boleh berhenti. Optimisme untuk kebaikan bangsa ini harus terus dilakukan.

Langkah menggugat ke MK dan penggunaan hak angket di DPR adalah langkah baik. Biarkan jalan karena hal itu konstitusional. Sambil itu, langkah lain tetap dicari dan diikhtiarkan.

Mantan politusi PAN mengatakan hal itu menanggapi baratnya melawan kecurangan dan adanya operasi senyap menghadang mekanisme hak angket. Juga adanya pesimisme tehadap gerakan parlemen jalanan.

Namun, bagi Yayat Biaro, potensi perlawanan melalui gerakan civil society cukup besar. Ini jika dibandingkan dengan gerakan 98,’ parlemen jalanan yang saat ini terus digelar bukan tidak mungkin bisa mergubah keadaan.

BACA JUGA :  Ferry, Abang Ganteng Yang Mempesona

Yayat mengatakan, dulu nepotisme nya Soeharto itu tidak seberapa. Hanya mengangkat anaknya, Mbak Tutut, sebagai Menteri Sosial yang sacara kapasitas sudah memenuhi syarat. Hanya isu itu saja Soeharto dijatuhkan,” kata Yayat.

“Bandingkan dengan dinasti sekarang, sangat nyata. Dari ini saja, intensitas isu sudah cukup besar untuk dilakukan perlawanan. Belum isu lain, KKN, utang LN, harga-harga, dll,” kata Yayat.

Yayat melihat potensi gerakan dari suara dukungan Anies di Pilpres 2024 sebesar 30 juta lebih. Suara dukungan untuk Anies ini adalah suara yang menginginkan perubahan. Bukan tidak mungkin ada dukungan dari elemen lain.

“Potensi 30 juta suara ini sangat memungkinkan digerakkan melalui kepemimpinan Anies, meski ada variabel-variabel lain yang harus dihitung,” kata mantan anggota DPR RI 2014-2019 dari Golkar ini.

Afni Achmad yang berbicara setelah Sofian Mile lebih fokus pada stretegi parlemen jalanan. Menurutnya, gerakan massa bisa efektif jika dimanage dengan baik. Afni mencontohkan aksi demo tahun 1966 yang pernah dikutinya.

“Demo 1966 rakyat mendukung penuh karena lawan kita adalah komunisme. Rakyat sukarela menyediakan makanan buat demonstran. Orang tua bahkan melepas kita seperti melepas kepergian kita selamanya,” kata Afni Achmad.

Mantan anggota DPR RI dari PAN dua periode ini mengatakan, demo memang sebaiknya berhari-hari seperti jaman 66 dulu. Harus tidur di markas, dan jangan demo sampai malam karena gampang disusupi.

“Sekarang ini gerakan belum mendapat dukungan rakyat, masih sporadis. Selesai demo pulang sendiri-sendiri dan tidak ngumpul lagi, lalu tunggu jadwal lagi. Ini tidak efektif,” kata Afni Achmad.

BACA JUGA :  Anies, Formula E dan Heineken

Afni juga menjelaskan bagaimana peran komunikasi. Jaman dulu tidak Hp, tidak ada HT kecuali milik tentara/polisi. Jadi di masa itu kode-kode gerakan lawat kentongan. Afni pun menyarankan jangan berkomunikasi lewat Hp karena gampang dilacak.

Namun untuk gerakan ini, Ambia dan Yusron melihat belum adanya figur penggerak selain Anies Baswedan. Jika Anies berani tampil di depan memimpin gerakan, akan sangat efektif. Gerakan oposisi akan sangat baik jika ada keberanian dari tokoh-tokohnya.

Sofian Mile mengkhawatirkan tiga langkah perlawanan yang sedang dan akan berjalan, yakni melalui jalur hukum ke MK dan jalur politik melalui Hak Angket serta pressure parlemen jalanan. Dia meragukan hal ini bisa berhasil.

Dia melihat gejala itu pada wacana hak angket. Hanya anggota DPR dari PKB, PDIP, dan PKS yang mulai menyuarakan di rapat paripurna DPR RI 5 Maret yang lalu. NasDem, bahkan tidak memperlihatkan gelagat mendukung hak angket.

PDIP secara institusi juga seperti ragu bersuara. Ketua DPR Puan Maharani bersikap masih abu-abu. Mungkin
ada katakutan dangan kasus-kasus hukum yang bisa menjerat kader-kader PDIP.

“Malalui MK juga diragukan. MK dari pemilu ke pemilu seperti menjadi penentu kemenangan siapa yang dikehendaki, moral dan etika hukum sudah begitu gampang mereka atur,” kata Sofian Mile.

Karena itu, kata Mile, gerakan rakyat melalui parlemen jalanan harus efektif. Kita khawatir jika kecurangan ini terus dibiarkan akan menjadi contoh buruk bagi masa depan bangsa. | sal

Komentar