Diskusi UMA soal Covid: Konsep New Normal dan Segala Polemiknya

TILIK.id, Jakarta — Wabah Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung tiga bulan. Sejumlah kebijakan, baik di bidang kesehatan maupun ekonomi sudah dikeluarkan. Berharap kurva melandai, malah sebaliknya trend menanjak. Kasus positif bertambah rata-rata 500-an per hari.

Memang ada penambahan penyembuhan dan berkurangnya kematian, namun penambahan kasus positif baru sampai di atas angka 500-an per hari menandakan virus belum terkendali. Pemerintah gamang, lalu mengeluarkan istilah baru dengan nama New Normal.

New Normal akhirnya menjadi perbincangan baru dan seperti menutup perbincangan tentang Covid-19 itu sendiri. Berdamai dengan virus menjadi landasan Presiden Jokowi menerapkan istilah New Normal itu. Dan dengan sekejap semua struktur pemerintahan dengan latahnya bicara new normal meski istilah itu masih sangat sumir.

Seperti apa kehidupan New Normal itu? Perkumpulan UMA (Usaha Memajukan Anakbangsa) pun mengkajinya melalui diskusi virtual pada Ahad malam (31/5/2020) sampai dinihari tadi.

Dalam kajian, ikut bergabung seluruh jajaran UMA dari berbagai latar belakang profesi dan aktivitas. Antara lain Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska, mantan anggota DPR tiga periode HM Sofhian Mile, Menteri Agraria dan Tata Ruang 2014-2016 Ferry Mursyidan Baldan, Budayawan N Syamsuddin Ch Haesy, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Terbarukan (METI) Dr Ir Surya Darma, pakar kesehatan masyarkat Dr Herry Norman, mantan anggota DPR RI Unchu Natsir, Dirut TILIK.id Ir Lilik Muflihun, anggota DPRD Banten Moh Bahri, Yuyon Ali Fahmi, dll.

Bertindak sebagai host sekaligus moderator adalah Ir Tigor Sihite dibantu Farida Islahiyah.

Tigor mengawali diskusi dengan prolog tentang istilah dan terminologi “New Normal” sebagaimana yang digambarkan Presiden Joko Widodo. Sepanjang vaksin dan obat anti Covid-19 belum ditemukan maka mau atau tidak rakyat Indonesia harus berdamai dengan Covid-19. Di sini pola hidup dan kebiasaan rakyat harus berubah dan memasuki keadaan baru, yaitu berjalan seperti biasa dengan penyesuaian-penyesuaian untuk melawan sendiri Covid-19.

BACA JUGA :  NasDem: Stop Kaitkan Anies dengan Stigma Polarisasi

New Normal seperti menggeser tanggungjawab pemerintah kepada rakyat sendiri, agar sehat sendiri, jaga imun sendiri, dan mempercayakan melawan Covid dengan herd immunity. Masalah ekonomi biarlah menjadi tanggungjawab pemerihtah dengan berbagai beleid-nya.

Sofhian Mile yang menjadi pembicara pertama memaparkan, seluruh rakyat berharap wabah Covid-19 ini segera berakhir dan rakyat hidup secara normal.
Tetapi kita menghadapi situasi yang sampai sekarang belum menentu.

“Kehidupan normal baru secara sosial kita sudah tahu bagaimana sesungguhnya yang namanya new normal itu. Dari kehidupan yang normal kita kemudian selama kurang lebih 3 bulan ini kita berada pada kehidupan yang tidak normal,” katanya.

Dalam kehidupan normal, kata mantan Bupati Banggai ini, kita biasa berinteraksi sosial secara baik. Namun datangnya pandemi covid ini kita diperhadapkan dengan situasi yang tidak normal. Lalu diajak untuk kembali ke dunia yang normal. Bisa dikatakan new normal adalah kenormalan baru. Tidak normal tapi dibuat seolah-olah normal.

“Kalau saya menerjemahkan memaknai kenormalan baru ini justru tidak normal. Kembali ke normal yang sebelumnya tidak normal, dengan melaksanakan ketentuan kesehatan, tetap menjaga imun masing-masing, menjaga kekebalan tubuh masing-masing supaya kita bisa hidup dalam situasi yang normal, tentu bukanlah normal seperti sebelumnya,” kata Sofhian Mile.

Jadi menurut Sofhian Mile yang penting adalah menyiapkan diri, menyiapkan kedisiplinan agar bisa menghadapi situasi new normal ini dengan kesiapan mental yang cukup, dan yang paling penting adalah kesadaran terhadap aturan penanganan Covid-19.

BACA JUGA :  PB HMI Klaim Kongres Surabaya Paling Lancar

Ir Lilik Muflihun yang menjadi pembicara kedua memaparkan, wabah Covid-19
membuat dunia usaha menghadapi situasi berat. Banyak pengusaha bilang hanya bertahan sampai Juni. Semua proyek-proyek, kontrak-kontrak yang akan dan sedang berjalan dihold dulu.

“Sedangkan kita sebagai pengusaha itu tidak bisa berhenti. Nggak mungkin tidak membutuhkan tenaga kerja,” kata Lilik Muflihun.

Sebetulnya, tambah Lilik, kalau dari awal lock down diterapkan di Jakarta, covid akan selesai cepat dan ekonomi bisa bangkit kembali. Kemudian jika penanganan diserahkan kepada Anies misalnya, banyak yang bisa dilakukan untuk Jakarta,” kata Lilik Muflihun.

Untuk bantuan sosial, menurut Lilik, kalau pemerintah tidak mampu memberikan makan kepada warga, swadaya masyarakat bisa digerakkan. Misalnya satu keluarga memberi makan pada keluarga yang tidak mampu.

“Nah kalau ini digerakkan maka pemerintah tidak perlu banyak memikirkan untuk memberi makan orang-orang yang terdampak. Kemudian, satelah itu, di situasi PSBB ini, pemerintah kembali pada gerakan membangkitkan bisnis dan ekonomi,” katanya.

Dikatakan, new normal itu ada syarat-syartnya. Namun faktanya, pembatasan malah dperlonggar. Seperti di Bekasi itu mal sudah siap buka, sementara warung-warung juga sudah bersiap tempat untuk tidak lagi hanya take away.

“Itu semua karena pemerintah sudah mewacanakan new normal, seolah-olah keadaan sudah membaik, virus sudah dikendalikan. Padahal perlu solusi yang cedas. Jadi memang percuma kalau PSBB dipanjangin tapi tidak dikerasin,” ujarnya.

Sedangkan Ketua Umum METI Dr Ir Surya Darma memaparkan posisi kita memang dilematis. Apakah melanjutkan dengan posisi seperti sekarang atau melanjutkan dengan konsep new normal. Namun, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi pemerintah dalam penanganan Covid-19.

BACA JUGA :  MN FORHATI Kembali Beri Bantuan Ratusan Paket Sembako

“Kalau sekarang ada new normal, masyarakat dibiarkan melawan dengan herd immunity, namun kemudian PSBB dilonggarkan, itu sama saja membiarkan masyarakat mengatasi masalahnya,” katanya. .

Jadi, katanya, kalau dilihat kondisi sekarang, seperti tidak ada pemimpin. Maka di mana-mana muncullah sekarang suara-suara bahwa yang dibutuhkan adalah new presiden, bukan new normal. Ada semacam ketidakpuasan.

“Dalam kondisi semacam ini seperti yang kemarin yang kita lihat dalam diskusi yang dilakukan di Jogja yang kemudian berujung kepada ancaman pembunuhan, itu adalah salah satu aspek yang sangat beralasan dalam kondisi semacam ini muncul krisis kepercayaan,” kata Surya Darma.

Surya mencontoh yang terjadi di Amerika Serikat. Satu orang warga kulit hitam dibunuh oleh petugas membuat warga marah dan menyerang Gedung Putih. Di Indonesia jangan sampai satu pemicu saja bisa terjadi kemarahan dan instabilitas.

“Untuk itu, bagi kita, yang utama adalah konsistensi pemerintah. Kalau mau melonggarkan silakan edukasi masyarakat. Begitu juga jika tidak mau melonggarkan silakan tegakkan aturan secara konsisten terhadap pelanggaran yang ada,” katanya.

Terkait konsep new normal, Surya mengatakan bisa jadi banyak yang salah memahami bahwa nanti tanggal 4 Juni sudah bebas keluar rumah, berkumpul dan berakrivitas karena presiden sudah mengeluarkan kebijkan new normal.

“Mereka tidak paham yang normal itu seperti apa. Ya kalau edukasi ini tidak dilakukan, pasti kita akan mengalami masalah lagi,” pungkas Surya Darma. (lms)

Komentar