Oleh: H. Moh. Bahri, S.Pd.I, SH
(Anggota DPRD Prov Banten, Fraksi Gerindra)
BERMULA dari Baitul Aqobah, saat Nabi mengikat perjanjian dengan perwakilan penduduk Yatsrib (kelak menjadi Madinah), inilah tonggak bersejarah dalam Islam, yakni terjadinya hijrah.
Sebelumnya, kaum muslimin periode awal di Mekah, mendapat tekanan luar biasa (dari kaum Musyrikin Mekah). Mereka disiksa, diintimidasi, diganggu. Bahkan Nabi sendiri memperoleh ancaman pembunuhan.
Kejahatan kaum Musyrikin Mekah kian menjadi-jadi, tatkala para pelindung utama dari keluarga inti Nabi wafat (yakni Siti Khadijah, Abu Tholib, dan Abdul Mutholib). Saat-saat penuh cobaan itu disebut dengan Yaumul Huzni (tahun-tahun penuh kesedihan).
Fajar perubahan menuju kejayaan lalu menyembul. Persis di saat beberapa warga Yatsrib yang melakukan ziarah ke Mekah, terpesona dengan sosok Nabi. Mereka lantas berkomitmen menjadi pengikut. Sekaligus menjadi pelindung.
Paska lahirnya Baitul Aqobah itu, maka terjadilah momen hijrah (perpindahan dari Mekah ke Madinah).
Namun tentu, peristiwa ini tak melulu sebagai migrasi penduduk atau relokasi populasi.
Melainkan totalitas perpindahan semangat juang. Dari dominasi kaum kafir menuju kemenangan Islam. Dari ketertindasan menuju kejayaan. Dari kegelapan menuju terang.
Berbagai fakta menunjukan keistimewaan hijrah. Selain prosesnya yang dramatis, semisal lolosnya Nabi dan Abu Bakar dari kejaran kaum kafir Quraisy, juga ada rangkaian bukti monumental lainnya.
Sebut saja: terjadinya konsolidasi kokoh diantara penduduk Madinah, yang sebelumnya tercabik dalam konflik; lahirnya Piagam Madinah, yang merupakan perjanjian damai dengan aturan yang sangat modern; terjalinnya persaudaraan yang kokoh antar sesama Muslim (baik dari kalangan Anshor dan Muhajirin); serta suksesnya penduduk Madinah dalam sejumlah peperangan besar.
Di atas semua itu, momentum hijrah juga membalik roda sejarah.
Di Kota Madinah inilah, tonggak peradaban Islam berkibar. Kedaulatan politik, enigma (kekuatan) budaya Islami tumbuh, laju ekspansi (pelebaran jalan dakwah) berkembang pesat, dan yang paling penting, ajaran inti Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Hadits, selesai disampaikan.
Narasi di atas, terkait kecemerlangan Hijrah, yang terjadi di bulan Muharram, menjadi argumentasi sahih, jika kemudian hari kaum Muslimin menjadikannya sebagai garis start Tahun Baru Islam, yang kini memasuki Tahun ke 1443.
Bulan Muharram sendiri, adalah salah satu bulan dalam sistem penanggalan Islam (konon usulan menjadikan Muharram sebagai awal tahun, lahir dari Ide Ali Bin Abi Thalib).
Dikisahkan, saat para sahabat berembug guna memutuskan momen inti sebagai garis awal Tahun Baru Islam, muncul sejumlah opsi. Misalnya dengan berpatokan pada hari lahir Nabi, dan peristiwa Isra Miraj. Lalu pilihan jatuh pada momen hijrah.
Pengetahuan latar historis ini penting. Bahwa Islam adalah ajaran yang tak semata-mata bertumpu pada sosok (yakni Milad Nabi), atau hanya berputar pada soal doktrin peribadatan (yakni momen Isra’ Mi’raj). Melainkan pada totalitas perubahan, dari yang sebelumnya kurang baik, menjadi gemilang.
Inilah spirit dasar Muharram, yakni hijrah dari titik rendah ke titik derajat lebih tinggi.
Memang belakangan muncul juga sejumlah informasi yang mengagungkan bulan Muharram. Seperti tentang kejadian Nabi Yunus keluar dari perut Paus, Perahu Nabi Nuh selamat dari banjir, Nabi Yusuf keluar dari penjara, atau Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api.
Rangkaian cerita ikonik ini hanya penegasan akan pentingnya bulan Muharram. Bagi kita, paling utama, adalah melipatgandakan harapan perubahan. Lebih-lebih saat ini, ketika pendemi Corona masih menggila, maka jangan sampai kita putus asa. Semoga Muharram ini membawa kebaikan dan keberkahan. Aamiin.
Komentar