Sejarah Moral Kemerdekaan Manusia

Oleh: Moh. Bahri
(Anggota DPRD Banten, Fraksi Partai Gerindra)

MANUSIA, kata Albert Camus, dikutuk untuk lahir merdeka!

Ungkapan bertenaga dari filsuf dan sastrawan dunia yang meraih hadiah Nobel ini, seolah menegaskan bahwa kemerdekaan adalah syarat dan hak mutlak manusia.

Beberapa tahun sebelumnya, The Founding Persons negeri ini, merumuskan dalil serupa, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Jika Albert Camus mengibarkan kemerderkaan individu, maka Bung Karno dan kawan-kawan mengibarkan kemerdekaan kelompok (bangsa).

Tiang moralitas kemerdekaan manusia, berusia panjang. Sejarah dunia sejak dini memperlihatkan hal penting ini. Dengan catatan: selalu tak mudah merebut hak-hak merdeka. Lantaran selalu ada manusia dholim yang mengangkangi kebebasan insani.

Di era kuno, perampasan kemerdekaan berlangsung dalam wajah bengis dan brutal, yakni perbudakan. Para tiran memperlakukan manusia lainya sebagai “golongan lain”, nyaris sebagai hewan ternak.

Monumen-monumen fenomenal yang kita saksikan saat ini, sejatinya, menunjukkan bukti kekerasan perbudakan yang tak terperi.

Piramida Mesir, misalnya, melibatkan rezim perbudakan yang panjang, ratusan tahun. Para pekerja paksa itu bekerja seperti mesin, di bawah ancaman siksaan. Pun dengan yang lain, berlangsung dalam pola sama. Penguasa membuat bangunan besar dan megah di atas darah dan nyawa para budak.

BACA JUGA :  Istana Makin Frustasi

Lalu masuk era klasik. Bangsa-bangsa di dunia bertarung merebut kemerdekaan. Bebas dari perbudakan. Dimulai dari sejarah Yunani klasik, Yahudi, Kristen, dan Islam. Kelompok-kelompok dengan misi filsafat dan keagamaan ini, berhasil meruntuhkan dominasi para tirani.

Perjalanan tak berhenti di situ. Karena di era modernitas awal, lahir ironi. Bangsa-bangsa Eropa yang sebelumnya berposisi sebagai terjajah, justru berbalik menjadi kolonialis yang bengis.

Ekspansi, invasi, dan kolonisasi Eropa benar-benar brutal tanpa ampun. Mereka menyatakan dunia lain sebagai terra incognita (daerah tak bertuan), olehnya mereka berhak menguasai. Perjanjian Tordesiles dan Saratoga, membagi dunia hanya menjadi Spanyol dan Portugis.

Simpul penjajahan Eropa bertumpu pada tiga hal: gold (mencari emas), glory (mersih kejayaan), dan gospel (penginjilan). Rumus dasar ini yang menyalakan api penjajahan dan derita berkepanjangan berbagai bangsa di dunia.

Lantas lahir gelombang kebangkitan di mana-mana, demi meruntuhkan perbudakan moderen ini. Ratusan bangsa-bangsa di dunia memerdekakan diri.

Sayangnya, sisa-sisa neokolonialisme purba masih tersisa. Penjajahan Israel atas bumi Palestina, hingga detik ini masih eksis. Dengan watak kejam, Israel merampas dan menghabisi hak-hak mutlak warga Palestina.

BACA JUGA :  Indonesia Punya Siapa?

Semua itu penanda bahwa kemerdekaan tak bisa lepas dari perjuangan.

Benar bahwa Allah SWT memberikan hak merdeka sebagai fitrah suci, namun dalam praktek, watak angkara murka tak pernah benar-benar pupus.

Semua itu wajib menjadi pengingat. Bangsa ini telah meniknati 76 tahun kemerdekaan. Namun tak ada jaminan itu abadi.

NKRI adalah warisan agung para pejuang, sekaligus menjadi panggilan sakral, bahwa kita wajib menegakan hak-hak merdeka diatas dunia.

Kemerdekaan RI adalah syarat mutlak, untuk menjaga kemerdekaan sekaligus menegakan hak-hak kemerdekaan di atas dunia.

Tak boleh lahir pemikiran picik. Bahwa urusan Palestina adalah perkara mereka saja. Sebab para pendahulu memberi amanat dalam pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa!

Komentar