Sekolah Tatap Muka, Akhiri Era Frustasi Berjamaah

Oleh: Moh. Bahri, S.Pd.I., SH.
(Anggota Komisi V DPRD Prov. Banten, Fraksi Gerindra)

BAHKAN perang kemerdekaan yang berdarah-darah, bau mesiu, kontak senjata, lemparan granat, dan ledakan bom sekalipun, tak bisa membuat sekolah libur total selama hampir dua tahun.

Berkaca dari biografi para tokoh terdahulu, mereka menyebut libur darurat karena perang, paling banter hanya beberapa minggu atau beberapa bulan.

Namun kini, untuk pertama kali, sejak sistem sekolah moderen diperkenalkan Belanda, via politik etis, para siswa menikmati ‘libur’ maha panjang. Nyaris dua tahun!

Lalu merebak frustasi berjamaah. Kisah mengharu biru, fakta menyedihkan dan rundungan kecemasan, lahir bertumpuk-tumpuk.

Dampak pandemik di bidang pendidikan, menjegal berbagai peluang emas yang mestinya dicicipi anak didik.

Mereka kehilangan kesempatan interaksi langsung, bermain komunal, bersosialisasi fisik, serta segala kemewahan yang terjadi di sekolah normal (yakni tatap muka).

Pada aspek psikologis dan moral, anak didik juga kehilangan norma moral dan penguatan karakter yang hanya bisa diserap jika ada sekolah tatap muka.

BACA JUGA :  Bangsa yang Dikepung Masalah

Soal materi ajar, memang bisa via online. Namun bagaimana dengan pembelajaran sopan santun, gairah kerjasama, bermain bersama, kerja tugas bersama, membangun solidaritas perkawanan, tanggung jawab, serta disiplin? Semua aspek moralitas pendidikan ini, sulit terwujud dalam sistem online.

Belum lagi jika menyisir dampak sekolah online pada sisi orang tua. Betapa repot dan kewalahan mereka. Memastikan bisa membeli pulsa dan HP yang standar, masalah akses internet, kemampuan memakai aplikasi online, bukan soal mudah untuk mereka di daerah (di perkotaan mungkin gampang, tapi bagaimana di daerah terpencil?).

Di perkotaan pun, sekolah online tak kurang memantik kejengkelan. Orang tua dan siswa merasa jenuh, aktivitas monoton, ruang gerak terbatasi, dan ancaman kecanduan main HP yang akut.

Beberapa berita yang viral serta analisis pakar, menyebut saat ini ada gejala lahirnya “game disorder”. Yakni penyakit anak-anak yang kecanduan bermain HP.

Anak-anak menjadi autis sosial (cuek, tak peduli), menjadi pemberang (karena terlalu aktif berkompetisi dalam game online), hilang kepekaan, gejala fisik berbahaya (seperti sulit tidur), serta syaraf sensorik tubuh yang rusak. Beberapa kasus, ada anak-anak yang meninggal atau butuh perawatan khusus.

BACA JUGA :  GAR ITB: Jangan Plintat-Plintut, Bantah Ini Bantah Itu

Maka kini fajar harapan untuk mengakhiri frustrasi berjamaah itu sudah muncul. Insya Allah, status zona kerawanan pandemi Covid-19 ini semakin berkurang menuju zona hijau. Kasus-kasus menurun. Tingkat hunian rumah sakit juga rendah, dan orang yang terdampak kian berkurang. Plus jumlah peserta vaksin mulai banyak (menuju standar WHO).

Saatnya kembali bersiap ke sekolah tatap muka. Pemerintah dan para tenaga kesehatan bisa memberi panduan untuk melakukan sekolah tatap muka. Seperti membuat peraturan dan persyaratan ketat. Pihak sekolah juga bisa membuat skema uji coba. Atau mengatur sekolah tatap muka yang aman dan terkendali dari ancaman virus.

Demikian juga dengan anak didik. Mereka sudah harus melakukan adaptasi perlahan. ‘Libur’ terlalu lama, pasti membentuk kebiasaan baru, semisal bangun kesiangan. Nah, sekolah tatap muka harus segera ada, meski dengan pola adaptasi perlahan.

Poin pentingnya, semua pihak harus bersiap dan bertindak serius, agar sekolah tatap muka segera terlaksana.

Jangan biarkan satu generasi kehilangan nilai berkah pendidikan terbaik, dengan sekolah tatap muka.

BACA JUGA :  Anies Baswedan dan Anak Yatim Ibu Kota

Komentar