Ustadz Abdul Somad di HUT JMSI Beberkan 10 Kode Etik Jurnalistik dalam Islam

TILIK.id, Jakarta — Hari ulang tahun pertama Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dirangkaikan dengan Webinar pada Senin (8/2/2021). Tampil sejumlah nara sumber beken, di antaranya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ustadz Abdul Somad.

Ustadz Abdul Somad membawakan materi “Kode Etik Jurnalistik Dalam Perspektif Islam”. Dalam paparannya, UAS, begitu akrab disapa, menjelaskan tentang sepuluh poin hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi jurnalis dalam kode etik yang sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut UAS, prinsip dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis yakni mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini memandang segala sesuatu dari kerangka objektivitas hingga menghasilkan berita yang objektif dan memiliki asas kebermanfaatan.

“Pertama, dalam Islam itu manusia suci bersih, dalam bahasa hukumnya asas praduga tak bersalah. Asal mula manusia itu fitrah suci bersih, tidak ada salah dan dosa. Maka setiap jurnalis memandang manusia itu bukan dari suudzon, bukan dari perspektif jelek atau negatif tapi dia hukum asalnya bersih. Jadi sebagai seorang jurnalis yang dilihat itu objek, objek adalah bersih suci bukan berangkat dari subjektivitas,” ujarnya.

Ustaz Abdul Somad menambahkan, dalam hadis Rasulullah SAW dikatakan; ‘maa min mauludin illa yuuladu alal fitrah’ yang artinya setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Maka dari itu, ia menekankan, media sedianya menampilkan kesucian, kebersihan, pribadi.

BACA JUGA :  Bawaslu DKI Pacu Peningkatan Kapasitas SDM Komunikasi Informasi

“Kedua, Islam itu datang untuk menjaga 5 hal hifzul aqli (menjaga akal), hifzun nafs (menjaga nyawa), hifzul maal (menjaga harta), hifzun nasal (menjaga keturunan), hifzul syarf (menjaga kehormatan orang),” katanya.

Konteks ‘hifzul syarf’ ini sangat erat kaitannya dengan kode etik jurnalistik. Dalam hal ini ada anjuran untuk menjaga kehormatan manusia dan tidak boleh dirusak.

“JMSI disini sedianya turut berijtihad untuk bisa mengangkat kode etik dalam konteks menjaga kehormatan ini dari hal-hal yang bersifat universal. Sehingga akan menjadi rahmat bagi para jurnalis, dan dia juga bagi objek yang disampaikan oleh jurnalis,” jelasnya.

Poin ketiga, kata UAS, dalam Islam apabila ada suatu berita itu tidak boleh ada orang yang mendengar satu arah saja, harus ada konfirmasi, klarifikasi, check and recheck dalam sebuah berita.

“Karena kalau berita sudah menyebar sulit untuk menariknya kembali. Maka di islam ada istilah klarifikasi yang dikenal dengan istilah tabayyun,” katanya.

Keempat, jurnalis dan produk jurnalistik tidak boleh berisi caci maki orang. Sekalipun ia menyembah selain Allah. Hal ini bisa berpotensi terjadinya konflik yang luar biasa.

BACA JUGA :  Produksi dan Penjualan Emas Martabe Berangsur Normal

Kelima, jurnalis dan produk jurnalistik tidak boleh ada logika generalisir. Ketika Nabi Muhammad SAS pindah ke Madinah, beliau disana berhadapan dengan non muslim Yahudi. Didapati orang Yahudi melakukan kesalahan, namun Nabi Muhammad hanya menyebutkan personalnya alias tidak mengeneralisir.

“Maka jangan dikatakan Hei Yahudi, kenapa? Karena tidak semua Yahudi kena. Mereka tidak sama, tidak semuanya jahat. Mengeneralisir semuanya tidak dibenarkan. Kenapa? Karena itu akan memicu konflik dan keresahan massal,” kata Ustaz Abdul Somad.

Selanjutnya poin keenam. Yakni tidak dibenarkan ada ghibah atau gosip. UAS menegaskan bahwa dalam hadits ada perintah ‘janganlah kamu bicarakan aib orang lain’.

Dikatakan, dalam hukum Islam, setelah diteliti, orang boleh mengungkapkan sesuatu yang tidak baik dengan 3 alasan. Pertama, hakim di pengadilan bertanya kepada saksi. Jadi tidak dikatakan ghibah. Kedua, saat orang ingin bertanya suatu hukum. Ini tidak ghibah atau gosip. Karena bagaimana mungkin kita bisa menjawab pertanyaan. Ketiga, menunjukkan bahwa mana yang haq dan bathil.

“Poin ketujuh, menghindari pornografi. Al-Quran bercerita tentang macam-macam hukum, tetapi bahasa, diksi, dipilih amat sangat lembut. Bahkan ketika Al-Qur’an bercerita tentang hubungan kelamin ditulis ‘menyentuh kulit’. Laa mastumun nisa, secara tekstual artinya menyentuh kulit tapi artinya hubungan kelamin (bersetubuh),” jelasnya.

BACA JUGA :  Kelompok Milenial Pilih Anies Memimpin Bangsa

Selanjutnya poin kedelapan, lanjut UAS, bagaimana Islam itu berkembang yaitu melalui jaringan orang-orang yang datang kepada nabi.

“Kesembilan, bahwa orang yang menyampaikan berita yang benar dia mendapat pahala. Ketika dia menyampaikan berita yang tidak benar maka sesungguhnya ada dua hukuman; dunia dan akhirat. Karana dia khianat, karena dia tidak punya amanah ilmiah. Amanah adalah lawannya khianat,” ujarnya.

Kemudian poin kesepuluh, bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW, maka dia akan melihat segala balasan perbuatannya yang dia terima hari ini.

“Sebesar biji sawi pun dia sampaikan terinspirasi orang lain maka dia akan mendapatkan keberkahannya dan sebesar tapak kaki semut yang hitam diatas bukit yang hitam di malam yang kelam, kalau itu menimbulkan masalah maka dia juga akan mendapatkan dosanya”.

UAS berharap apa yang dilakukan hari ini tidak sekadar dunia oriented, tapi diisi dengan semangat spiritualitas. Ada semangat iman di dalamnya, sehingga kita menjadi orang-orang yang bertanggungjawab dalam setiap tulisan atau berita apapun yang kita tebarkan. (lms)

Komentar