Buzzerkrasi di Rezim Jokowi

by: M. Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)

ERA pemerintahan Jokowi demokrasi ambruk. Cuitan Kwik Kian Gie, mantan Menteri Keuangan menyebut kondisi kini berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Suasana nampak menakutkan. Bukan karena takut mengkritik, tetapi perbedaan pendapat yang disikapi dengan serangan buzzer.

“Masalah pribadi diodal adil,” serunya.

Pandangan Kwik disetujui oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kekuasaan buzzer yang luar biasa tanpa ancaman hukum ini menggambarkan pergeseran sistem pemerintahan dari demokrasi kepada buzzerkrasi.

Buzzer itu bahasa Inggris yang artinya lonceng atau alarm. Dalam makna tradisi Indonesia adalah kentongan. Berfungsi untuk memperbesar gaung dan memanggil orang untuk berkumpul. Buzzer digunakan untuk menyuarakan kandidat, pemimpin, bahkan Istana. Keliling dari kampung ke kampung, dari media ke media. Buzzer media sosial lebih populer saat kini. Ada fungsi baru si tukang kentongan ini yakni menakut-nakuti seperti dalam kasus Kwik Kian Gie.

Kekuasaan besar, proteksi hukum, serta menjadi alat pengancam yang efektif, maka buzzerkrasi adalah fenomena. Melengkapi multi predikat rezim Jokowi mulai oligarkhi, korporatokrasi, otokrasi, kleptokrasi, hingga buzzerkrasi. Yang terakhir ini ternyata sangat berbahaya sebab dibentuk memang dengan tugas menyerang lawan.

BACA JUGA :  Corona dan Kongres Bersama HMI

Korporatokrasi atau kleptokrasi hanya memangsa lingkaran kecil dan tertentu, tetapi buzzerkrasi menjadikan oposisi sebagai target. Politisi, cendekiawan, aktivis, hingga rakyat kebanyakan.

Pemimpin negara yang tak punya wibawa dan pengecut akan membayar harga mahal para buzzer. Sayangnya bukan uang pribadi tetapi uang negara. Jika ini yang dilakukan, maka hal itu bukan masuk bagian dari dana sosial atau hibah, tetapi korupsi karena dana buzzer tidak masuk dalam item APBN yang disetujui DPR.

Rambahan buzzer cukup luas dan dapat kemana-mana. Natalius Pigai menyebut bahwa serangan rasialisme kepada dirinya dilakukan pula oleh para buzzer. Menurutnya rasisme para buzzer ini di remote control oleh lingkaran kekuasaan. Meski dibantah oleh Ngabalin tetapi kecurigaan Pigai cukup beralasan.

Keberadaan buzzer menurut Ketua YLBHI Asfinawati dibenarkan atas dasar penelitian Oxford University. Buzzer ini merusak demokrasi dengan memanipulasi opini, menyebar hoax dan ujaran kebencian. Dimanfaatkan optimal oleh elite-elite politik. Tanpa gangguan apalagi penangkapan aparat. Mereka menggunakan media untuk propaganda dengan melabrak kode etik jurnalistik.

BACA JUGA :  Cawe-Cawe Jokowi, Ini Targetnya

Jika ingin mengembalikan negara Indonesia menjadi negara demokrasi, maka masalah buzzer ini mesti diselesaikan. Buzzerkrasi tidak boleh ditoleransi. Saatnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer. KPK meneliti dugaan korupsi penggunaan uang negara untuk membiayai para buzzer. DPR-RI harus menginisiasi pembuatan UU Anti-Buzzer. Demokrasi harus diselamatkan.

Bangsa Indonesia jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme dan ekstrimisme atau anti kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme.

Bandung, 8 Februari 2021

Komentar