JARAK tak hanya menawarkan isyarat tentang dimensi ruang dan waktu. Jarak juga menawarkan dimensi budaya, yang mempertemukan ruang dan waktu dalam bilangan masa. Dimensi masanya, bahkan tak lagi berbilang detik, menit, jam, dan hari. Bahkan berbilang tahun dan dekade.
Dalam Jelajah Sumatera yaang digagas dan dilakoni sejumlah mantan aktivis mahasiswa (Himpunan Mahasiswa Islam) dekade 70-90 an, pegiat jalan sehat di Jakarta, dari berbagai kampus dan asal, antara 26 Desember 2021 – 6 Januari 2022, isyarat jarak itu terasa.
Jarak ruang yang dihitung dengan bilangan kilometer dan miles, dengan perkembangan sains dan teknologi, menyediakan varian waktu yang berbeda, sesuai dengan pilihan moda transportasi. Jarak peristiwa berbilang tahun (1986 – atau jauh sebelumnya, sampai 2021) dengan segala dimensi dan dinamikanya, bisa dipaparkan dengan narasi hanya beberapa menit. Lantas membuka cakrawala pengetahuan – melalui beragam informasi yang terpumpun – tentang sesuatu yang dikenali manusia sebagai momentum dan sejarah.
Pun, demikian halnya dengan jarak budaya beserta dimensi sosio habitus yang memperlihatkan psycho type para ‘penjelajah,’ tertampak dalam perjalanan, yang sesungguhnya singkat. Khasnya, ketika seluruh atribusi sosial, seperti yang dinyatakan Darul Siska – salah seorang penggagas, mesti ditanggalkan, sehingga seluruh ‘penjelajah’ berada dalam garis ekuitas dan ekualitas. Manusia dibedakan oleh fungsi, sehingga yang satu dengan lainnya, hanya ‘didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.’
Dalam kesetaraan itulah, sikap taat dengan prinsip ‘basamo’ yang menafikan egosentrisma, menjadi kunci. Alua samo dituruik, limbago samo dituang.
Nafas kebersamaan dalam melakukan jelalah, berpulang pada kesadaran fungsi masing-masing penjelajah. Hing ngarsa sung tulada, hing madya mangunkersa, tutwuri handayani, di depan menjadi teladan – pemandu arah -, di tengah mengolah beragam pertimbangan dan inisiatif mengingatkan yang di depan dan yang di belakang, di belakang mendorong, menjaga dan mengambil inisiatif menjaga ritme. Dijolo raja si eahan, dipudi raja si paimaon.
Pada situasi, itu dalam melakukan evaluasi atas etape yang sudah dan belum ditempuh, setiap penjelajah punya ruang tawassaw, mengingatkan agar tak tersesat jalan. Siboru puas, siboru bakkara, molo dung puas sae soada mara.
Karenanya, hakikat inninawa, kematangan rencana, jadi penting, yang pelaksanaannya disempurnakan oleh kepatutan, sitinaja, yang disempurnakan oleh prinsip ‘resopa temangingi namalomo naletei pammase dewata, semangat mencapai tujuan dilandasi kecermatan dan ketepatan pertimbangan, sehingga dalam penjelajahan – kembara, ridha Allah menyertai.
Keseimbangan dalam kebersamaan dihidupkan oleh sikap silih silih asih, silih asuh, dan silih asah, sebagai medium untuk memanifestasikan tawassaw, yaitu: sipakainge sikap dan aksi saling mengingatkan, sipakatau – saling memanusiakan dalam kondisi apapun, dan sipakalebbi – saling menghargai satu sama lain.
Dengan kesemua nilai budaya tersebut, jarak ruang boleh jadi terbentang panjang beratus kilometer, namun jarak budaya bisa teramat jauh, karena dalam hidup – suatu penjelajahan, akan selalu ada yang tertambat di masa lalu, gelisah dan adaptif dengan realitas kekinian dan masa depan. Termasuk sains dan teknologi di dalamnya, tak terkecuali geographic information system (GIS) yang kini sudah menjadi fitur dalam perangkat gadget.
Tantangan Transformasi
SAYA menikmati perjalanan Jelajah Sumatra ini (via darat dan udara) untuk mengeja lebih banyak ilmu ‘tahu diri,’ yang tak pernah saya peroleh dalam proses belajar mengajar di seluruh jenjang pendidikan, karena hidup merupakan ruang pembelajaran sejati.
Jelajah Sumatera ini juga saya manfaatkan untuk mengulang ingat esensi Insan Cita yang pernah saya peroleh di arena pelatihan kader, sambil menggumam syair hymne HMI ihwal ‘yakin usaha sampai’ yang tak akan pernah sempurna tanpa ‘jalan keselamatan,’ karena tujuan akhir setiap kader dan alumni HMI adalah mencapai kondisi ‘bahagia.’
Beranjak dari pemahaman inilah, Jelajah Sumatera saya maknai sebagai salah satu cara ‘mengeja isyarat’ (budaya dan peradaban), termasuk memelihara sikap kritis terhadap realitas.
Jarak Jakarta – Padang, — lewat jalur pantai timur, tengah, dan pantai barat — menghadirkan realitas hari ini, betapa dari perspektif jarak budaya dan peradaban, sesungghnya kita harus terus bersikap kritis dan tak hanyut dalam diam di tengah pusaran perubahan zaman.
Dengan mata telanjang, bentang jalan tol Jakarta – Merak, Bakauheni – Palembang yang dilalui masih menunjukkan ketimpangan sosio ekonomi. Kemiskinan struktural dan kultural masih konsisten, sedangkan kemiskinan ekonomi tampak persisten.
Secara fungsional, isyarat jarak memantik kita untuk terus menerus mewujudkan tanggungjawab tawassaw (terutama sipakainge) dengan cara siboru puas, siboru bakkara, molo dung puas sae soada mara. Baik melalui parlemen, kampus, maupun media. Supaya kita pandai melaksanakan taro ada taro gau, konsistensi kata dan aksi. Termasuk menegaskan hakikat Indonesia sebagai banua bahari.
Pada konsep negara kepulauan, itu hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicetuskan putera Solok, Mohammad Natsir, bersublimasi dengan prinsip Pemerintah Persatuan Republik Indonesia yang diserukan Sjafroeddin Prawiranegara — lelaki berdarah Banten – Minangkabau — di Bukit Tinggi (pun ketika memekik dari Aceh) sebagai manifestasi utuh bhinneka tunggal ika, kala memimpin pemerintahan darurat (1948).
Sejak dari pertigaan Betung sampai Sekayu, menembus gelap dan jalan berlubang di wilayah Musi Banyu Asin masih terasa ketimpangan sosial, yang tersembunyi di balik sisa kejayaan masa lampau, perkebunan karet yang merana, sawit yang terus digenjot, lekuk liku sungai musi dan anak-anak sungai musi, tetapi tertampak di wajah penduduk, penjual durian (termasuk durian rimba), manggis, dan duku. Pun tertampak di aneka rumah limas dan basepat yang nyaris tak terawat. Terpercik pula lewat gumam khalayak di kedai kopi belakang dome kota Sekayu.
Ketimpangan itu, bila terbiarkan akan mengikis filosofi ‘sedulang setudung,’ pembangunan berbasis kebersamaan dalam memaknai hakikat otonomi daerah. Khasnya, ketika proses pembangunan belum secara serta merta menganggit kualitas modal insan yang mampu mengelola sumberdaya alam dalam memicu sekaligus memacu wilayah dalam meningkatkan kesejahteraan secara berkeadilan.
Kondisi infrastruktur jalan di kabupaten ini, relatif berbeda infrastruktur di wilayah Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas (sampai Sorolangun), yang jauh lebih baik. Meskipun, sejak Ngulak relatif lebih baik dan setara dengan kondisi di Prabumulih. Kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di lintas Sumatera via Lubuk Linggau ruas Rupit – Sorolangun tidak merisaukan dan membuat ketar-ketir meski gelap tetap menyergap dan kami melintasinya malam hari. Pun begitu, kondisi di wilayah Provinsi Jambi, sejak Pelawan, Tanjung, Pamenang, Bangko, Muarokumpe, sampai Muaro Bungo, bahkan sampai Sungai Rumbai di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Dari Sungai Dareh – Dharmasraya sampai ke Cupak, Solok via Simacung, Sawah Lunto kondisi jalan juga relatif baik. Perjalanan terganggu oleh pengguna sepeda motor yang agaknya ‘bernyawa ganda,’ dan tak bernomor kendaraan pula.
Masa Lalu dan Masa Depan Indonesia
SEPANJANG jalan sejauh sekira 792 kilometer dari Betung – Pantai Mandeh, termasuk gangguan kecil kendaraan di lekuk liku Sitinjau-Lauik kala bergerak dari Muaro Paneh – Solok ke kawasan Geopark dan wisata pantai Mandeh, banyak hal yang terpumpun jadi pengalaman dan mengusik kesadaran, bahwa jarak budaya jauh melampaui jarak tempuh.
Begitu juga halnya dengan kunjungan ke berbagai lokasi destinasi dan situs, seperti: Danau Maninjau, Kelok 44, Puncak Lawang, Istana Basa Pagaruyung, Nagari Tuo Periangan, Masjid Tua Rao Rao, Koto Gadang, Ngarai Sianok, Pantai Pariaman, Masjid Raya Sumatera Barat dan Masjid Al Hakim Kota Padang dengan melintasi titik-titik singgung Parabek, Padang Panjang, dan berbagai destinasi lain, memberikan ruang perenungan menarik tentang konsep historis yang pernah ditawarkan J.C. Van Leur (1973) tentang sejarah Indonesia abad ke-18.
Konsepsi historia yang terhubung dengan masa lampau — baik era Melayu Kuno, Tulang Bawang, Sriwijaya, Majapahit, — pada periode-periode jauh sebelumnya, di sekitar abad ke 7 sampai abad 14, dan masa kini. Tanpa kecuali, korelasinya masa kini, yang melihat masa depan Indonesia bukan lagi di Sumatera — dengan pertimbangan kondisi alam kawasan ‘Cincin Api,’ melainkan di Kalimantan, khasnya Kalimantan Timur yang terhubung dengan peradaban Kutai.
Dari Bakauheni – Lampung hingga ke Padang – Minangkabau dalam perspektif budaya, melalui berbagai artefak yang tersisa dan masih nampak kasad mata, boleh jadi tak keliru pandangan yang mengemuka, bahwa sampai Jawa dan Sumatera dalam konteks budaya dan peradaban, masih akan terus bertahan lama, melampaui Abad ke XXII kelak.
Beragam produk budaya dari jalur jelajah tersebut, kecuali songket, diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Tinggal lagi, bagaimana mengubah dan terus menerus menyempurnakan minda dan cara berfikir untuk menempat kualitas manusia dalam makna kreativitas, inovasi, profesionalitas, islami, dan mempunyai responsibilitas atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Manusia yang menempat marawa atau martabat karena kualitasnya, sebagaimana telah diteladankan oleh ratusan tokoh masa lalu yang berkontribusi besar mengendalikan negara, pendidikan, dan memimpin dalam budaya entrepreneur.
Dimensi nilai hidup masyarakat berbasis akal budi yang mempertautkan nalar, nurani, rasa sebagai daya dorong utama peradaban dan keadaban, sehingga mampu unggul di tingkat dunia, harus terus dihidupkan. Terutama kini dan esok, ketika bangsa ini harus bergumul di tengah pusaran arus perubahan zaman yang ditandai oleh kemampuan menunjukkan daya tahan menghadapi berbagai siasat asing, khasnya penjajah. Terlebih soal prinsip daulat rakyat, kemandirian ekonomi, dan keunggulan dayacipta budaya, yang membentuk peradaban.
Sepanjang mengikuti Jelajah Sumatera, yang memantik perenungan saya adalah soal transformasi nilai-nilai Melayu Kuno yang berisi keseimbangan kecerdasan dan kearifan dengan nilai-nilai modern yang mendahulukan kecerdasan dan siyasat. Masih besarkah integralitas akal budi yang memadukan kecerdasan, dan keadaban (spiritualitas) dalam satu tarikan nafas kecendekiaan.
Masih besarkah daya desak kecerdasan budaya yang mewujud dalam sikap dan aksi politik dan ekonomi sebagaimana dulu ditampakkan oleh para tokoh semacam AK Gani, Hasyim Ning, Dasaat, dalam peta bisnis berbasis sumberdaya alam dan industri.
Seberapa besar juga akan bergerak arus balik spiritualitas berbasis ‘alam takambang jadi guru,’ ketika aksi merantau lebih banyak meninggalkan pusaka dan aset diam bisu di tengah nagari yang sunyi dan dipromosikan sebagai destinasi wisata tanpa menjadikannya destinasi investasi nilai budaya transformatif.
Akankah kita perlu membuat tafsir baru tentang Bundo Kandung, serta Gadih Ranti dan Budjang Saman dalam kaba yang pernah direka-cerita oleh Syamsuddin Sutan Rajo Endah. Khasnya, kala surau yang roboh dalam roman AA Nafis telah pula mengubah dimensi fungsi surau, lepau, dan balai.
Keterbatasan waktu dalam Jelajah Sumatera, meninggalkan tantangan lebih jauh, sampai entah bila jelajah spesifik hendak diprogram. Setidaknya, jelang 2024.. |
Komentar