Rocky Gerung di Webinar FORHATI: Jangan Ajari Perempuan soal Keadilan

TILIK.id, Jakarta — Pakar dan pengamat politik Rocky Gerung menjadi pembicara kunci dalam Webinar yang digelar Majelis Nasional Forum Alumni HMI Wati (FORHATI) Rabu sore (13/5). Web seminar dipandu Gefarina Djohan dan diberi pengantar oleh Koordinator Presidium FORHATI Hj Hanifah Husein.

Kehadiran RG dalam webinar FORHATI membuat banyak peserta dari pengurus FORHATI seluruh Indonesia itu antusias. RG seperti menjadi magnet sampai diikuti hampir 100–an peserta dari seluruh Indonesia.

ApalagiibRocky Gerung mengangkat topik perempuan di tengah pandemi Covid-19. RG pun mengaitkan dengan posisi perempuan dalam dinamika kebangsaan saat ini.

Menurut RG, dalam struktur sosial, perempuan memperoleh kelengkapan dari Tuhan karena dia memiliki fungsi melebihi laki-laki. Perempuan pun dilebihkan dengan naluri yang adil.

“Hanya kepada perepuan kemampuan untuk berbuat adil itu melampui kemampuan pada laki-laki. Dalam teori etis disebut ethics of care. Kemampuan untuk peduli,” katanya.

Ketika seorang permpusn hamil, akan berbagi gizi dengan bayinya. Apa yang dia makan harus dia bagi dengan bayinya itu. Itulah keadilan pertama, laki-laki tidak mengerti keadilan sebelum ada teori-teori tentang keadilan.

“Jadi jangan ajari perempuan tentang keadilan. Sebab dari rahimnya dia sudah mampu berbagi nutrisi dengan bayinya. Jadi keadilan itu melekat pada perempuan,” kata Ricky Gerung.

Itulah, kata RG lagi, yang menerangkan mengapa di era covid ini banyak pemimpin perempuan seperti di Finlandia, Taiwan, Jerman, New Zealand, semua berhasil. Karena perempuan dianggap peka terhadap keadilan. Dia bisa mendistribusikan sembako tanpa kesalahan.

“Tapi di kita, sembako sudah bolak-balik didiskusikan, datanya tahun 2014 masih dipakai sekarang. Jadi kita perlu evaluasi bahwa kepemimpinan laki-laki seringkali cacat, sekadar mendasarkan diri pada etika hak. Bukan etika kepedulian,” kata Rocky Gerung.

BACA JUGA :  Harmonisasi Dinamika Pusat dan Daerah
Hj Hanifah Husein

Karena itu, menurutnya, upaya FORHATI untuk mengaktifkan elemen perempuan, karena yakin perempuan menyumbang jauh lebih baik pada kehidupan politik dari laki-laki.

“Tetapi pplitik selalu menganggap perempuan itu adalah uncapable, tidak mampu mengucapkan sesuatu. Namin sekarang perempuan tak bisa lagi dihentikan, karena kemampuan emak-emak untuk mengorganisasi diri,” katamya.

Perempuan saat ini, kata RG, tidak menuntut kekuasaan. Tapi menuntut keadilan dari kekuasaan saat ini.

Ulasan RG menarik perhatian peserta kerika Koordinator Presidium MN FORHATI Hanifah Husein ingin ada analisa situasi bangsa pasca Covid-19. Karena masalah Indonesia tidak hanya soal wabah. Tapi ke depan bisa jadi akan banyak masalah lain bangsa ini.

Rocky mengatakan, masa depan Indonesia akan mengalami kepanikan. Kepanikan pertama terbaca dari statemen Presiden Jokowi, bahwa setelah covid, kedepan akan ada musim kering. Dan setelah dihitung, potensi untuk mengalami krisis pangan.

“Sebab, untuk membeli dari luar, katakan dariThailand, mereka untuk pangannya sendiri. Karena itu dia kurangi ekspornya. Vietnam juga begitu,” kata Rocky.

Yang pertama-tama mengalami dampak krisis pangan adalah rumah tangga. Yang harus berhitung ketersediaan pangan adalah perempuan. Bagaimana antisipasinya.

“Jalan keluarnya, yang saya baca di koran, Presiden sudah ucapkan mau cetak 100 juta hektar lahan gambut. Nah, kita tau, begitu lahan gambut dibuka, bencana ekologi langsung menyergap,” katanya.

Gefarina Djohan

Pemerintah dengan gampang memutuskan membuka lahan gambut tanpa memikirkan kalkulasi ekologi yang bisa menimbulkan bencana.

“Kebijakan penerintah asal ngoceh itu disebabkan persiapan dari awal tidak dihitung apa akibatnya. Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi masa depan hanya melihat perubahan hari per hari,” beber RG.

Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang memikirkan masa depan. Punya perencanaan jangka panjang. Sayangnya, menurut Gerung, semua juga kembali ke masalah anggaran. Pemborosan dengan membangun infrastruktur.

BACA JUGA :  Vaksin Berbayar, Jokowi Disebut Jilat Ludah Sendiri

“Sekarang dengan acaman krisis pangan, dengan membuka lahan gambut jadi sawah, akhirnya lapangan terbang dibongkar lagi untuk sawah. Ini kebijakan yang tidak mengerti ethics of care. Tidak berpikir kepedulian pada
rakyat,” ujarnya.

BACA JUGA:

FORHATI Lanjutkan Berbagi Bantuan kepada Driver Ojol

MN FORHATI Sebar Hand Sanitizer kepada Ratusan Pengemudi Ojol Jakarta

Kenapa kita mengalami krisis pangan, karena sawah-sawah kita diubah jadi pabrik, dirubah jadi lapangan terbang, sehingga persediaan padinya habis. Ini problem kebjjakan.

“Soal utang juga begitu. Kita cemaskan. Misalnya menjual surat utang dengan tenor 50 tahun, artinya anak cucu kita akan membayar utang oleh karena kebijakan saat ini,” beber Gerung.

Kalau di tanya bagaimana masa depan politik, Gerung mengatakan kita akan dihadapkan oleh dua hal. Pertama oleh utang yang menumpuk, dan yang kedua kemampuan psikologi rakyat yang sangat mungkin meledak karena covid. Rakyat bertanya kapan berakhir.

“Pemerintah tidak bisa memprediksi kapan berakhir. Karena pemerintah tidak punya data. Dokter menanyakan data untuk bikin kalkulasi, analisi minta data untuk bikin proyeksi, epidemiologis mencari data untuk pemetaan yang lebih akurat tentang hotspot epicentrum. Epidemologis juga mencari data untuk mengembangkan laboratorium penelitian antivirusnya untuk vaksin. Semua tidak ada. Justru luar negeri tau data kita,” beber RG.

Rocky menyimpulkan, masa depan bangsa ini masih akan punya problem dengan infeksi ekonomi, infeksi politik, setelah infeksi covid selesai.

Mendapat pertanyaan perserta dari Jogya dan Kalimantan Barat, Rocky Gerung menjawab dengan hati-hati. Katanya pertanyaan-pertanyaan dari FORHATI butuh kehati-hatian dan analisa mendalam.

BACA JUGA :  Saleh Khalid dan Perjuangan Melawan Ahok

Soal konsep affirmatif perempuan, RG mengatakan, memang ada pandangan setelah ada kuota perempuan semua dianggap sudah selesai. Padahal dari semua posisi politik, perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang menentukan kebijakan.

“Coba lihat di parlemen. Komisi I luar negeri dan pertahanan, perempuan sedikit banget itu. Di komisi keuangan juga. Perempuan ditaro di komisi IX, komisi kesejahteraan. Perempuan seolah hanya urusan keluarga,” katanya.

Padahal untuk kebijakan, di mana anggaran diputuskan, misalnya di Banggar, di komisi III, dan lain-lain, perempuan harus diperbanyak di sana.

“Ini fenomena. Seolah-olah affirmasi sudah disediakan, tapi ini tidak akan sesuai dengan konsepnya. Ini di tingkat negara. Di tingkat kooporasi juga begitu. Kultur patriarkhi masih sangat kuat,” kata RG.

Di peruahaan, obsesi perempuan adalah duduk di kursi CEO. Setelah duduk, hambatan kultur mulai datang. Kebudayaan mulai mencegah. Laki-laki mulai terganggu, perempuan yang lain bicara. Anak nanti siapa yang urus, dan seterusnya. Jadi kultur itu masih ada, sehingga kompetisi perempuan selalu tertinggal.

“Jadi percuma ada affirmative action kalau kultur politiknya tidak diubah. Karena itu saya mengusulkan dulu. Perempuan di parlemen bikin kaukus perempuan. Tapi kita harus mengerti kaukus itu tidak boleh terikat pada partai. Yang boleh terikat adalah ide bersama,” kata Rocky.

Namun ketika kaukus perempuan ini mulaii menginspirasi publik, dengan pikiran-pikiran cerdasnya, partai mulai terganggu. Dibuatlah aturan anggota kaukus perempuan kalau mau keluarkan statemen harus izin parpol yuncto ketua partai.

“Jadi kaukus perempuan bisa diaktifkan ulang dengan fasilitas anggota parlemen FORHATI dengan satu prinsip bahwa kendati banyak partai tetapi kita bersatu untuk keadilan dan kemakmuran,” katanya. (lma)

Komentar