Oleh DR H.Abustan, SH.MH (Pengajar Filsafat Hukum Universitas Islam Jakarta (UID)
PEMERINTAH meminta warga menunaikan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah di rumah masing-masing. Alasannya, tentu saja dikhawatirkan bahwa shalat Id di tempat dengan kerumunan banyak orang dapat menularkan Covid-19.
Hal itu, senada dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebelumnya mengeluarkan fatwa mengizinkan umat Islam menunaikan shalat Id di rumah. Seruan serupa juga disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah (PP).
Begitu pula, pemimpin dan ulama Timur Tengah juga memberi kepastian bahwa tidak ada shalat Id berjemaah di tiga masjid tersuci umat Islam, yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Sejumlah negara, mulai dari Turki hingga Arab Saudi punya sikap yang sama yakni menutup masjid dan memerintahkan orang berdiam diri di rumah selama libur Idul Fitri.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, kegiatan lebaran memang dijalankan dengan cara yang agak berbeda. Tradisi seputar hari raya dilaksanakan oleh kaum muslimin, tanpa perlu melanggar protokol kesehatan.
Perubahan ini, sejatinya bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari penularan wabah virus corona. Maka, mau tak mau esensi ibadah jadi semakin personal. Sebaliknya, dimensi sosialnya semakin diberi jarak atau dijauhkan dengan cara mengisolasi diri.
Situasi kehidupan yang makin “membelenggu” ini, dalam bahasa Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat dengan menyerukan: agar masyarakat menahan diri untuk tidak mudik.
Menahan diri marupakan salah satu jalan untuk mencapai ketaqwaan. Pada bulan Ramadhan yang telah dilewati, kita tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Tetapi juga menahan diri pada masa pandemi ini terhadap hal-hal yang membahayakan keselamatan jiwa. Artinya kita perlu mengikuti kaidah-kaidah saiins dan pengalaman empiris mengenai pencegahan Covid-19.
Begitu pula, pasca Idul Fitri 1441 H ini kita akan memasuki fase tatanan hidup baru yang mau tak mau akan dijalani ke depan sebagai bentuk respon atau suatu cara menyikapi kehidupan baru yang diberi nama “new normal”. Atau apapun istilahnya, yang pasti sebagai suatu upaya untuk menyelamatkan hidup warga dan menjaga agar negara tetap bisa berdaya menjalankan fungsinya sesuai konstitusi.
Bahkan tidak hanya itu, tetapi juga termasuk mengurus rakyatnya dengan tingkat pelayanan yang maksimal. Demi untuk memastikan kehidupan rakyat berjalan dengan baik, maka pemerintah harus selalu melakukan langkah-langkah yang sejalan dengan kehendak konstitusi.
Seperti yang telah digariskan atau dikonstatir oleh Imanuel Kant: Bahwa etika dan hukum adalah persoalan kehendak. Dan kehendak ditentukan oleh pengetahuan yang baik. Maka dari itulah, konstitusi negara harus menjadi dasar dan/atau nilai tertinggi dari proses penciptaan hukum. Sehingga produk hukum yang ada, tak boleh jauh dari akar sosial dan komunitas masyarakat di mana hukum itu di buat.
Itulah syarat mutlak bagi penciptaan hukum yang obyektif dan mengakar pada masyarakatnya. Dalam pandangan Lawrence Friedman harus nemperhatikan: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.
Ketiga komponen itu harus menjadi landasan bagi sistem nilai dasar.
Prinsip-prinsip dasar dari seluruh nilai yang terkandung dalam konstitusi harus pula menjadi ideologi hukum. Artinya, hukum harus menjadi cermin dari seluruh nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan. Jadi, seluruh proses penciptaan hukum tidak boleh mangkir dari nilai yang hidup dan terkandung dalam konstitusi. Maka, dengan belajar dari sejarah, kita bisa bercermin betapa pentingnya prasyarat hukum pada setiap langkah kebijakan dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini tidak diberi kluster apakah pusat atau daerah.
Dengan demikian, pada akhirnya kita berharap momentum Idul Fitri 1441 H dapat memunculkan semangat untuk lebih memaksimalkan potensi yang ada melalui etos kerja. Dalam kerangka itulah, semangat pasca Idul Fitri menjadi letupan spirit keagamaan yang terus diimplementasikan melalui kerja-kerja nyata dan kerja cerdas meskipun dilakukan melalui aktifitas di rumah (WFH). Itulah makna simbolik kehidupan new normal yang harus dilakoni dan dipersepsikan secara positif.
Untuk itu, di era pandemi Covid-19 ini agama tidak perlu meninggalkan pola ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya visi spiritualitas dan komitmen etis selalu hadir di hati masyarakat. Olehnya itu, kita tak berharap tata cara (modus) beragama hanya berhenti sebagai pemujaan lahiriah formalisme beribadah atau hanya gegap gempita pada ekspresi keagamaannya.
Namun di balik itu, kita harapkan adanya keseriusan/kesungguhan menggali batiniah sebagai nilai etika-spiritualitas yang pada gilirannya nilai itu terakomodir dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata bermasyarakat/bernegara.
Itulah semangat pasca Idul Fitri yang diharapkan menyeruak memancarkan gelombang pencerahan, di tengah kebingungan para penghuni bumi akibat dahsyatnya cengkraman virus corona yang mematikan ini.
Mohon Maaf Lahir-Bathin
31/5/2020
#idulfitridirumah
Komentar