Ketua DPD RI di HMI: Pendiri Bangsa Menangis Jika Tahu Arah Indonesia Kini

TILIK.ID — Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menggelar Sekolah Pimpinan di Kabupaten Bandung, Kamis (13/1/2022). Orgainsasi mahasiswa Islam terbesar ini menghadirkan Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti sebagai Keynote Speech.

Dalam pandangannya, LaNyalla mengatakan Indonesia saat ini terjerumus dalam kubangan liberalisme kapitalistik. Paham ini tak sesuai dengan cita-cita luhur kelahiran bangsa Indonesia, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Para pendiri bangsa akan menangis jika tahu arah perjalanan Indonesia saat ini,” kata La Nyalla dalam siaran tertulisnya, Jumat (14/1/2022).

PB HMI menggelar Sekolah Pimpinan HMI dengan tema “Genealogi Kepemimpinan Bangsa Menuju Era Emas 2045”.

LaNyalla menjelaskan genealogi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari asal usul sejarah dan warisan budaya suatu bangsa.

“Jika kita berbicara tentang genealogi kepemimpinan bangsa, sudah tentu kita harus membedah bagaimana bangsa ini lahir dan menjadi sebuah negara,” ujar LaNyalla.

Untuk melihat lebih dekat cita-cita para pendiri bangsa, LaNyalla membuka rekaman beberapa percakapan para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.

BACA JUGA :  Skenario Istana dalam Bayang-Bayang People Power

Muhammad Yamin dengan tegas mengatakan Negara Rakyat Indonesia adalah Pemerintahan Syuriyah, pemerintahan yang didasarkan atas permusyawaratan antarorang berilmu dan berakal sehat yang dipilih atas faham perwakilan.

Sementara Ki Bagoes Hadikoesoemo mengatakan bahwa kita harus mempersatukan pendapat-pendapat yang bertentangan, sehingga menjadi bulat.

LaNyalla juga mengutip Mr Soepomo yang meyampaikan bahwa pengangkatan pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, yang menyamakan manusia satu sama lain, seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya.

Kemudian Bung Karno memungkasi dengan mengatakan, kalau mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

“Itulah sebagian pemikiran para pendiri bangsa yang berada dalam suasana kebatinan yang sama. Pemikiran-pemikiran jernih tersebut lahir karena mereka merasakan bagaimana menjadi bangsa yang terjajah,” tutur LaNyalla.

Demokrasi Pancasila, menurut mantan Ketua Umum PSSI ini, berbeda dengan isme-isme yang ada, seperti liberalisme di barat atau komunisme di timur.

“Demokrasi Pancasila dengan titik tekan permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai mahluk yang berfikir dengan keadilan,” bebernya.

BACA JUGA :  Ferry Mursyidan Baldan: Independensi Membuat HMI Lentur Hadapi Tantangan

Ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara.

“Itulah mengapa pada konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan amandemen pada tahun 1999 hingga 2002, MPR adalah lembaga tertinggi negara. Karena, MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik elemen partai politik, elemen daerah-daerah dan elemen golongan-golongan,”’ujarnya.

Utusan daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya.

LaNyalla pun mempertanyakan di mana konsepsi dasar atau genealogi pola dan sistem kepemimpinan bangsa dengan prinsip dasar dari demokrasi Pancasila yang semuanya harus terwakili.

Jawabnya, kata LaNyalla, sudah tidak ada lagi. Karena sejak amandemen itu, Indonesia telah secara tegas meninggalkan demokrasi Pancasila menjadi demokrasi Liberal.

“Karena itu, satu-satunya jalan adalah kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini demi Indonesia yang lebih baik, demi masa depan generasi berikut,” pungkas LaNyalla.(mlk)

BACA JUGA :  Pancasila Lahir Untuk Siapa?

Komentar