Bang Sèm
“YAH.. ada di rumah kah?” Pertanyaan itu diajukan kemenakan saya, Farhan. Mahasiswa di Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah – Ciputat, Banten. Saya bilang, “Ada.”
Tak berapa lama dia tiba. Saya agak terkejut ketika dia bilang, baru dari rumah temannya, mengantar memulangkan langseng (alat memasak nasi).
Apa pasal? Ternyata dia anggota panitia bidang perlengkapan Latihan Kepemimpinan (LK I) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) salah satu komisariat di kampusnya.
Latihan Kepemimpinan itu sendiri dilaksanakan di salah satu kompleks perumahan di bilangan Parung, Kabupaten Bogor. Diselenggarakan secara luring.
Lantas kami berbincang. “Gini hari, melaksanakan Latihan Kepemimpinan dengan memasak sendiri?”
Dia tersenyum. “Aneh ya, Yah? Jaman Ayah dulu, masak sendiri juga kan?” ujarnya.
Saya mengangguk. Terbayang masa-masa mengikuti kegiatan yang sama pada dekade 70-an. Hampir lima dekade yang lalu.
Untuk keperluan makan dan minum peserta, kami memang masak sendiri. Sumbangan alumni berupa uang, dipergunakan untuk membeli bahan masakan, mulai dari beras, sayur mayur, ikan asin dan lain-lain. Anggota KOHATI (Korps HMI-wati) menanak dan memasak, lalu kami santap bersama-sama.
Pelatihan kader biasa dilakukan dengan menyewa mess peristirahatan, villa milik alumni, atau pesantren. Dilakukan dengan cara sederhana, dengan segala keterbatasan.
Sejumlah instruktur dan anggota Kohati, biasanya mengingatkan peserta pelatihan kader, bahwa nasi dan lauk-mauk yang mereka makan adalah pemberian umat.
Jadi jangan coba-coba meninggalkan umat. Dalam makna, jangan kelak, ketika menjadi pemimpin dan berkiprah di berbagai lapangan kehidupan, termasuk pemerintahan, mengambil jarak – apalagi mengabaikan umat.
Komitmen keumatan adalah komitmen utama yang melandasi komitmen kebangsaan, ke-islam-an, dan ke-ilmu-an.
Pesan itu tertanam begitu mendalam dan berkesan di hati. Bahkan, ketika merantau melanjutkan studi di negeri orang.
Farhan tersenyum menyimak cerita saya. Dia bercerita, tradisi itu yang kini sedang ditumbuhkannya di kalangan pengurus Komisariat HMI di lingkungan kampusnya.
“Selain menunjukkan keberadaan kita sebagai mahasiswa berprestasi dalam studi dan kritis dalam menyikapi berbagai fenomena sosial politik dan ekonomi yang sedang berkembang, kita juga menunjukkan kemampuan menyelenggarakan aktivitas di tengah keterbatasan,” ungkap Farhan.
Dia kemukakan, dalam situasi pandemi coronastrope yang berdampak pada penurunan kemampuan ekonomi masyarakat, penyelenggaraan latihan kader harus menyesuaikan diri. Dalam keadaan apapun, program kaderisasi harus dilaksanakan.
Kenapa masih pakai langseng? Bukankah kini sudah ada rise cooker? Saya mengingatkan, kini sudah abad ke 21, dan kita sedang bergerak memasuki era Society 5.0, berbasis internet of think dan artificial intelligent.
Dia berargumen. Betul, kini kita sudah berada di abad ke 21 dengan segala fenomena kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, namun nilai tradisi dan norma budaya khas Indonesia mesti dipertahankan.
Langseng tak hanya harus dilihat fungsinya yang bisa diganti begitu saja dengan rise cooker. Pada langseng, melekat tradisi budaya yang memberi begitu banyak pelajaran tentang proses menanak yang tak harus selalu dilakukan secara instan.
Dia mengakui, keputusannya menggunakan langseng, pada mulanya ditolak oleh sesamanya, termasuk HMI-wati. Tapi, dia tetap bertahan dengan argumennya, bahwa langseng kontekstual dengan proses pelatihan kader.
Argumennya? Adaptasi dengan peradaban baru, mesti diimbangi dengan kemauan dan kemampuan bersikap konsisten untuk memelihara nilai dan norma budaya khas sebagai anak dan warga bangsa Indonesia.
Saya menyimak berbagai argumen yang dikemukakannya, termasuk dalam hal berproses menuntut ilmu. Meski beragam produk budaya modern, bahkan pasca modernisma, kita akrabi dan bahkan kita kuasai, kaidah-kaidah dan norma-norma keilmuan, termasuk metodologi transfer ilmu yang ber-sanad, jangan pernah diabaikan.
Dia mengenang allahyarhamah ibunya — adik saya — yang terus menuntut ilmu sampai jenjang yang puncak, dan kemudian memilih peran sebagai ibu rumah tangga dengan berhenti kerja – meninggalkan posisi profesionalnya di suatu korporasi.
Ia mengutip pernyataan mendiang ibunya, “Perempuan mesti menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tapi tidak untuk selamanya menjadi profesional, melainkan bagaimana menjadi ibu berkualitas untuk melahirkan dan mendidik anak-anak yang berkualitas juga.”
Langseng, dipertahankan mendiang ibunya sebagai alat masak utama, untuk melihat nilai manfaat instrumen atau perangkat hidup. Meski hidup juga memerlukan asesoris. Begitu ibunya wafat, salah seorang famili, meminta langseng itu. Kendati demikian nilai langseng masih melekat di pikirannya.
“Bersyukur, Yah.. ibu temanku masih masak dengan langseng,” katanya.
Saya tersenyum. Surprise, anak millenial abad ke 21, berambut gondrong dengan performa khas, membawa langseng melintasi kota Jakarta dan mengembalikan alat masak itu kepada seorang ibu yang masih menjaga tradisi.
Kemenakan saya mengatakan, di lingkungan HMI kini, juga masih banyak HMI-wan dan HMI-wati yang masih konsisten menjaga komitmen perjuangan dan tradisi kaderisasi HMI.
Komentar