Oleh Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
KITA bisa lihat PKI dari dua hal. Pertama, dilihat secara ideologis. PKI itu berideologi komunis. Komunis anti Tuhan. Berarti anti Pancasila. Sebab itu, gak layak hidup di negara Pancasila. Karena dipaksakan, lahirlah banyak benturan. Terutama benturan terhadap masyarakat yang beragama dan bertuhan.
Bubarkan PII, HMI, pembantaian terhadap para kiai dan pembakaran masjid, madrasah dan pesantren itu bagian niscaya dari tuntutan revolusi PKI. Kalau tidak begitu, itu bukan komunis.
Lahirnya Nasakom yang berupaya menyatukan kelompok nasionalis, agama dan komunis boleh jadi karena ketiga kelompok ini merupakan fakta sosial dan politik di Indonesia saat itu. Namun, Soekarno tidak menyadari bahwa NASAKOM pada kenyataannya absurd, ambigu dan kontradiktif. Sebab, komunis tidak mungkin bisa hidup dalam masyarakat yang mayoritas beragama, terutama Islam. Sampai di sini, gagasan NASAKOM dan kedekatan Soekarno dengan PKI menyisakan sejumlah pertanyaan.
Apakah NASAKOM itu bagian dari bentuk idealisme Soekarno dalam menyatukan semua kelompok bangsa? Atau sekedar pencitraan Soekarno di mata dunia, dimana kapitalisme dan komunisme tidak pernah akur, bahkan terjadi perang dingin saat itu? Atau ada skenario lain? hanya Soekarno dan Tuhan yang tahu.
Pembantaian terhadap para Jenderal terjadi karena para Jenderal dianggap sebagai penghalang revolusi yang menjadi ciri khas perjuangan komunisme. Peristiwa ini, lebih bersifat politis. Walaupun sesungguhnya, para Jenderal yang dihabisi itu sangat ideologis dan pancasilais.
Bagaimanapun, menghabisi Dewan Jenderal secara struktural telah mewariskan luka sejarah yang sangat mendalam, terutama bagi TNI AD. Jadi, jika sepanjang sejarah TNI AD marah terhadap PKI, itu wajar dan natural. Jika para tokoh, senior dan pimpinan organisasi anda dibantai secara terstruktur, luka di hati anda dan semua kader organisasi tidak akan pernah sembuh.
Jadi, isu kebangkitan PKI bukan hanya menyinggung emosi Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo, Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu dan Letjend (purn) Kivlan Zen saja. Ini bagian dari perasaan dan emosi seluruh anggota TNI terutama AD. Jend (purn) Luhut Binsar Panjaitan dan Jend (purn) A. M Hendropriyono juga bagian dari TNI AD. Perlu juga sesekali diminta mengungkapkan perasaannya soal pemberontakan PKI.
Kedua, dilihat dari sisi historis. Setidaknya ada dua protes dari eks PKI dan anak-anak biologisnya. Pertama, protes terhadap film G 30 S PKI. Dianggap manipulatif. Penuh rekayasa. Mereka minta kepada pemerintah untuk tidak lagi ditayangkan. Dihapus semua file-nya. Mendesak presiden Jokowi buat film G 30 S PKI versi baru. Sempat ada wacana dari istana. Tapi, sampai sekarang belum terealisasi.
Kedua, menuntut kepada presiden Jokowi atas nama bangsa Indonesia agar meminta maaf secara resmi kepada PKI. Jika ini dilakukan, maka akan mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia. Poinnya, PKI korban, bukan pelaku. Setelah itu, akan ada project besar untuk menulis buku sejarah PKI yang akan menjadi referensi dalam kurikulum sekolah.
Kedua tuntutan ini tidak atau belum mampu dipenuhi Jokowi. Sebab, ini akan sangat berisiko secara politik. Jokowi tidak hanya akan berhadapan dengan TNI, tapi juga dengan umat Islam.
Muncul pertanyaan publik: apakah lahirnya RUU HIP adalah bagian dari alternatif perjuangan PKI setelah gagal mendesak Jokowi meminta maaf kepada PKI dan menghapus film G 30 S PKI? Atau itu bagian yang menyatu dan menjadi satu kesatuan strategi? Menjawab ini perlu sedikit riset dan diskusi lebih panjang.
Tak seperti biasanya, tahun ini dinamika ke-PKI-an ramai jauh sebelum bulan september. Bulan dimana PKI selalu jadi tema utama. Bulan dimana keluarga para Jenderal revolusi itu menahan emosi. Dan bulan dimana para eks PKI dan anak-anak biologisnya sedang dapat panggung untuk branding diri di media. Hal ini telah memunculkan tanda tanya, bahkan kecurigaan publik: apakah PKI akan bangkit kembali?
Setelah era reformasi membuka ruang bagi eks dan anak-anak biologis PKI untuk mendapatkan hak politik dan sosialnya, “wajar jika” kemudian mereka menggunakan kesempatan itu untuk bangkit. Hidup dalam tekanan dan dendam biasanya akan memicu lahirnya perlawanan.
Secara psikologis, masyarakat yang lama tertekan karena hak-hak politik dan sosialnya dicabut akan bangkit dan melakukan perlawanan saat kesempatan datang. Mereka tentu tak ingin semua penderitaannya selama ini sia-sia. Tak ubahnya dengan apa yang dilakukan para eks tahanan politik (tapol). Berdiri, bangkit dan mengisi sejumlah posisi strategis. Hanya saja, sebelum TAP MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang PKI dicabut, siapapun yang ingin bengkitkan PKI harus melakukannya dengan pola gerakan bawah tanah.
Sulit membayangkan mereka bisa terima semua penderitaan selama 32 tahun itu, lalu pasrah. Sementara kesempatan untuk melakukan konsolidasi dan memulai perlawanan sudah sangat terbuka saat ini. Mereka bisa membangun gerakan bawah tanah, menyusupkan para anggotanya di partai dan berbagai kelembagaan/institusi negara. Sekali lagi, ini cara berpikir dan pemahaman logis. Menarik jika dicari dan diinvestigasi datanya. Anggap saja ini hipotesis. Perlu pembuktian.
Belum lagi jika kita memahaminya dengan pendekatan teori Marxisme dan gerakan Leninisme, maka akan semakin sulit menyimpulkan bahwa PKI mati. Maaf! Jadi agak berat diskusinya.
Munculnya kecurigaan dan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI sesungguhnya berbasis pada pengetahuan ilmiah yang diambil dari teori komunisme ala Marxis itu sendiri, juga gerakan revolusioner komunisme di berbagai negara, serta trautama sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Jika Marx bilang bahwa hukum sejarahnya itu ilmiah, maka kecurigaan terhadap kebangkitan PKI di Indonesia itu juga ilmiah.
Jakarta, 28 September 2020
Komentar