Dokter Nardi

by Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

SENDERO Luminoso – Jalan setapak yang terang. Nama penegas Partai Komunis Peru. Gigih berupaya merebut kekuasaan, melalui jalan: teror. Townshend menjelaskan teror sebagai socialization of danger, sejenis wirausaha menebar kengerian.

Diperagakan Sendero secara blak-blakan: membunuh lawan-lawan politik, menyandera turis, meledakkan kantor-kantor pemerintah, sabotase, merampas perusahaan asing, …..

Teror memang aksi kekerasan agar pemerintah segera ambruk. Dan, gerakan komunis meletakkan kekerasan sebagai prinsip dasar membongkar total dan menata ulang kelas.

Sendero memang memiliki pasukan bersenjata. 3-5 ribu personil siap tempur sewaktu-waktu, dan 6-10 ribu personil gerilyawan paruh waktu. Sendero memang bukan kelompok kecil yang tak jelas aksi serta wilayah operasinya. Dan, baru disebut-sebut ketika ada orang mati lantaran ditembak aparat.

Tentu saja Sendero didukung kemampuan finansial yang memadai. Sumber keuangannya bergatung pada pohon coca. Bukan kotak amal atau hasil kolekte saat misa. Peru memang memasok 60 persen cocaine di pasar dunia. Sendero mengontrol tak kurang dari 300 ribu hektar kebun coca, bandara, dan pungutan ekspor aneka komoditas, kecuali minyak sawit.

Dari varia usaha itu, Sendero belanja senjata di pasar internasional, juga dari para petinggi bersenjata yang korup, yang menjual senapan layaknya kembang gula. Mengingatkan modus pembelian senjata OPM beberapa waktu lalu.

Selama 12 tahun beraksi, Sendero mencatatkan: 23.000 jiwa melayang, 4.000 orang lenyap. Prioritas sasarannya: pegawai pemerintah, pemimpin sipil dan politik, dan siapa saja yang dianggap lawan. Pembunuhan berlangsung tanpa a..i..u.. Sendero tegas menyatakan bertanggung jawab, tidak melimpahkan kepada orang yang terganggu jiwanya.

BACA JUGA :  KEKERASAN

Kepala Biro Agitprop Sendero, Luis Arce Borja, memberikan keterangan: Pada tahap Strategic defense (1980-1989), 35 ribu orang telah dibunuh. Pada tahap berikutnya, strategic equilibrium, dimana kekuatan Sendero dan Pemerintah berimbang, ditaksir sejuta rakyat Peru bakal tewas.

Sendero jelas mentarget para lawan politiknya. Salah satunya, Maria Elena Moyano (Malena), Wakil Walikota Villa El Salvador, Kota terbesar setelah Lima, Ibu Kota Peru. Malena aktivis gerakan kiri, namun anti Sendero.

Suatu hari di bulan Pebruari 1992, Malena menghadiri sebuah kegiatan sosial. Tiba-tiba, dari seberang jalan, para serdadu Sendero menyerbu. Malena tewas diberondong senapan otomatis di hadapan sanak keluarga dan sejawatnya. Anak-anaknya tercenung, tak sadar untuk menjerit. Tak tergesa, serdadu Sendero menyeret jasad Malena, menggeletakkannya di badan jalan. Saku baju Malena basah penuh darah. Di saku itu, serdadu Sendero meletakkan sebiji perkakas yang dirancang agar mudah meledak. Lalu, melambaikan tangan tanda pamit. Beberapa saat kemudian, jasad malena meledak, hancur.

Teror sesuai contoh Sendero pasti tak ada di Indonesia. Gerakan Papua Meredeka mungkin dapat dianggap sebagai kasus paling menyerupai. Tak bermaksud merobohkan Pemerintah, hanya hendak merdeka, memisahkan diri dari Republik. Gerakan separatis yang sporadis memeragakan aksi teror. Otoritas pertahanan – keamanan menyebut mereka saudara yang dijuluki Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Kesannya seperti para sepupu yang bersembunyi di hutan dan gemar mencuri babi milik penduduk.

BACA JUGA :  Relawan Siapkan Pendakian, Bendera ANies akan Dikibarkan di Puncak Rinjani

Juga tak pernah terbetik kabar seorang pejabat menjadi sasaran teror, dibunuh, layaknya Malena. Walaupun, boleh jadi pejabat yang layak dijadikan target cukup banyak. Kabar seputar korban aksi teror hampir selalu pejabat masjid: imam sholat.

Berbeda dengan gerakan DI/TII Karto Suwirjo, juga Kahar Muzakkar, PRRI, tempo dulu. Sebelumnya, FDR gerakan kaum komunis berpusat di Madiun. Mereka tak dicacat sebagai gerakan-kelompok teroris, tetapi pemberontakan. Kalangan tentara juga memiliki catatan sejenis: Dewan Banteng, Gajah, Garuda, …. Semua berhasil dipadamkan. Basis legitimasi pemberontakan dimaksud memang tak terlalu kuat. Sebaliknya, Pemerintah (Soekarno) masih sangat kuat.

Dewasa ini tak terjadi lagi hal itu, walaupun nampaknya basis legitimasinya bisa lebih kuat dibanding dulu, dan tak ada lagi presiden sekuat Soekarno. Bedanya, zaman ini tak lagi melahirkan petarung layaknya Muso, Amir Syarifuddin, Karto Suwirjo, Kahar Muzakkar, Kol. Zulkifli Lubis, Kol. Ismail Lengah, Letkol. Ahmad Husein, Kol. Maludin Simbolon, Letkol. Ventje Sumual, … Potensi pemberontakan tampaknya nihil.

Kita tentu juga mengenal teror. Aksi teror yang paling mengagetkan, bom Bali, dua puluh tahun lalu. Banyak turis asing menjadi korban. Tentu ‘mengguncang’ dunia, selaras dengan agenda besar internasional yang dikomandani Amerika untuk mengganyang jaringan teroris Osama Bin Laden, dalam relasi politik internasional yang rumit-sarat kepentingan. Lalu, lahirlah Densus 88.

BACA JUGA :  Kerja Berkelanjutan Anies Baswedan Ikut Mencerdaskan Masyarakat Sumatra

Selebihnya ada saja aksi teror, kecil-kecilan tetapi tetap memiliki daya pengaget: bom buku kabarnya dikirimkan untuk Ulil di Utan Kayu. Juga ‘sejenis bom’ yang diledakkan di dalam sebuah gereja di beberapa kota (Solo, Surabaya, …) Juga bom panci yang meledak di Kampung Melayu, beberapa tahun silam.

Lalu, tersiar kabar duka, dr. Sunardi, seorang dokter salah satu lembaga kemanusiaan di Sukoharjo, Jawa Tengah, tewas ditembak. Setelah melalui upaya keras yang mengarah pada tindakan tegas terukur, kata pihak berwenang.

Dokter Nardi diduga terkait jaringan teroris. Sang dokter tak sembunyi di hutan. Sehari-hari berada di rumah pribadi atau tempat praktik yang diketahui khalayak ramai. Juga, mudah ditemui sewaktu-waktu. Jauh dari adat kebiasaan seorang teroris. Semua pihak yang mengenal dan berinteraksi dengan sang dokter heran alang kepalang.  Sebab, beberapa waktu terakhir, sang dokter kesulitan berjalan akibat stroke. Harus duduk dikursi ketika mengikuti sholat berjamaah di masjid. Amat aneh bila sang dokter sanggup melawan, menabrakkan mobil ke arah pasukan Densus yang menyergapnya. Sebelum peluru menembus punggung dan pinggul yang mengakhiri hayatnya.

Tampaknya, lebih masuk akal: dokter Nardi korban aksi teror!

Komentar