by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
DANU Pratama, peneliti KONTRAS, menyampaikan statistik kekerasan sepanjang 2019: 103 aksi. Dengan rincian: 57 kasus penganiayaan dan bentrokan. Mengakibatkan 102 orang luka 2 meninggal. 33 kasus penyiksaan, 32 orang luka dan 9 meninggal, 5 kasus salah tembak, 3 orang luka dan 5 orang meninggal. Pelaku: aparat kepolisian.
Kekerasan berlanjut sepanjang 2020. Tapi belum tersedia data. Kita tunggu dari Danu. Kasus terberat tentu pembunuhan 6 anggota FPI, pengawal IB HRS.
Tragedi itu memeroleh respon besar dari sejumlah tokoh, ormas, dan lembaga-lembaga yang berkompeten dalam urusan penegakan hukum dan HAM.
Bagaimana prospek perjuangan menegakkan hukum-HAM, terkait tragedi itu?
Laksana menegakkan benang basah yang terendam di kolam keruh? Seribu satu aral melintang, menghalangi pengungkapan kebenaran? Lalu, perjuangan berangsur surut dan, akhirnya, kebenaran hilang?
Semoga tidak demikian, dengan tetap memerhatikan:
Tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian, sudah beberapa kali terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Mahasiswa yang mati ditembak dalam aksi demo, tidak hanya satu-dua. Semua kasus itu, seperti tak membekas. Kebijakan penanganan aksi oleh polisi tampaknya memang menggunakan pendekatan garis keras.
Apalagi korban kali ini, dari kubu oposisi yang dilabeli: Islam garis keras. Pemerintah sudah mengerahkan daya upaya meringkus melalui stigmatisasi: radikal, intoleran, anti Pancasila. Bahkan, diyakini banyak orang, kriminalisasi.
Juga, gencar dipromosikan sebagai musuh bersama oleh para juru bicara: buzzeRp. Suasana hati pemerintah tampaknya memang: perang melawan kubu oposisi yang satu ini.
Dan, Indonesia sangat bernyali, pembunuhan 6 orang anggota FPI terjadi menjelang peringatan hari HAM Dunia. Ketika menggelar peringatan itu, Presiden tak menyinggung tragedi yang menimpa FPI. Jelas, Pemerintah menganggap perkara itu tak perlu mendapat perhatian.
Tekanan dari kubu oposisi di Parlemen tak sulit diabaikan oleh konglomerasi politik. Mungkin perlu sedikit tambahan diskusi mengingat RDPU sudah terjadi.
Kelompok kritis lain: kaum intelektual, mahasiswa, buruh, …. tampaknya belum selesai konsolidasi.
Dunia internasional mengerut efektifitas daya tekannya. Realitas sudah berganti. Indonesia tak lagi ketat dalam orbit Barat yang peka HAM. Apalagi Barat sering kali tak konsisten. Barat bukan lagi andalan tunggal Indonesia terkait investasi, hutang luar negeri, dan perdagangan internasional, terlihat dari intensifikasi integrasi perekonomian nasional ke dalam sistem sosialisme pasar China yang kebal dari isu HAM.
Tanpa mengurangi rasa hormat, juga apresiasi kepada Komnas HAM yang berjanji: segera memeriksa Kapolda Metro Jaya, lembaga-lembaga pejuang-penegak hukum dan HAM, dewasa ini, tampaknya mengalami kegamangan bona fide.
Mereka tidak hidup dalam dunia nir kekerasan sebelum tragedi Tol Cikampek terjadi. Pasti memahami, segala hal penting bagi republik ini, sejak, katakanlah, Pemilu lalu sampai hari ini, yang menabrak jati diri dan misi lembaga-lembaga itu.
Boleh jadi, sebagaian lembaga-lembaga itu, berkontribusi terhadap, menjadi bagian dalam aliansi, atau di bawah kendali, rejim era ini.
Juga, faktor anatomi polisi. Tak seperti militer, dikenal kubu garis keras dan garis lunak : salah satu faktor penting redemokratisasi. Garis lunak pro demokrasi, mengalkulasi isu HAM secara teliti.
Fenomena itu, tampaknya tak relevan bagi polisi. Karena, punya garis sendiri: Police Line– Garis polisi.
Semoga, pikiran-pikiran lepas ini perlu: revisi!
Komentar