TILIK.ID — Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mengeluarkan pernyataan hukum dan mengecam keras motor pendorong amandemen konstitusi Bambang Soesatyo. Tim yang diketuai Eggy Sudjana ini menyatakan wacana tersebut patut diduga untuk melanggengkan kekusaan Jokowi.
TPUA menguraikan, Ketua MPR Bambang Soesatyo menemui Presiden Jokowi Presiden Jokowi pada Jumat (13/8/2021) di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut, Bambang Soesatyo mengaku membicarakan rencana amandemen konstitusi.
Namun Bamsoet, sebutan akrab Bambang Soesatto, berdalih amendemen terbatas UUD 1945 tidak akan menjadi bola liar terkait perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.
Ketua MPR RI itu menyebut Amandemen dilakukan secara terbatas khusus mengatur mengenai Pokok Pokok Haluan Negara atau semacam GBHN jaman Orde Baru.
Menolak wacana itu, TPUA menyatakan beberapa point:
Pertama, menyayangkan sekaligus mempersoalkan tindakan Saudara Bambang Soesatyo yang bertandang (lapor) kepada Presiden Jokowi sehubungan dengan adanya wacana amandemen konstitusi.
“Secara prosedur maupun substansi, tidak ada urgensinya Ketua MPR RI sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara melapor kepada Presiden terkait adanya wacana amandemen,” kata Azam Khan SH dalam pernyataan hukum TPUA yang diteken Kamis (19/8/2021).
Menurut TPUA, berdasarkan ketentuan pasal 37 UUD 1945, mekanisme dan prosedur amandemen konstitusi tidak memerlukan keterlibatan lembaga eksekutif, dalam hal ini Presiden Jokowi, baik dalam tahapan usulan, pembahasan hingga pengesahan hasil amandemen konstitusi.
Pasal 37 UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Disebutkan, MPR adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu Lembaga Tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI. Itu artinya, dalam proses dan prosedur amandemen MPR RI hanya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
“Kewenangan MPR RI untuk melakukan Perubahan dan/atau amandemen konstitusi tidak ada urusannya dengan lembaga eksekutif dalam hal ini Presiden Jokowi,” tambahnya.
Secara substansi, wacana amandemen di tengah ramainya narasi Jokowi tiga periode, patut diduga memiliki motif politik yakni ingin melegitimasi eksistensi kekuasaan Jokowi untuk melanjutkan periode jabatannya.
Padahal, segenap rakyat justru menghendaki Presiden Jokowi mundur dari jabatannya sebagaimana dibuktikan dengan adanya Gugatan Perdata yang menuntut Presiden Jokowi mundur dari jabatannya yang terdaftar dalam perkara nomor 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst.
“Oleh karena itu, tindakan Saudara Bambang Soesatyo selaku Ketua MPR RI termasuk dan terkategori tindakan yang menyalahgunakan wewenangnya, juga menjatuhkan wibawa lembaga MPR RI yang sejajar kedudukannya dengan Presiden selaku Lembaga Tinggi Negara,” paparnya.
TPUA memyatakan patut diduga, terdapat motif terselubung dan agenda pribadi dari Bambang Soesatyo dengan menyalahgunakan jabatannya selaku ketua MPR RI yang melapor kepada Presiden Jokowi sehubungan dengan adanya wacana amandemen konstitusi.
Kedua, menyayangkan sekaligus mempersoalkan sikap Saudara Bambang Soesatyo selaku Ketua MPR RI yang memeta kompli wacana amandemen konstitusi sebatas dan dikhususkan pada isu Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). Sikap ini justru seolah ingin menutupi agenda utama amandemen konstitusi agar terlepas dari kritikan publik.
Saat ini, rakyat tidak percaya bahwa amandemen hanya dan dikhususkan untuk isu Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) karena tidak ada satupun rakyat yang mengetahui rincian dari apa yang disebut sebagai Pokok Pokok Haluan Negara (PPHK).
Dalam pembahasan amandemen kelak, dapat saja isu Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) menyasar pada pemberian wewenang penambahan periode jabatan kepada Presiden yang sebelumnya hanya maksimum 2 (dua) periode atau menambah masa jabatan Presiden yang sebelumnya hanya dibatasi 5 (lima) tahun.
Ketiga, menolak keras segala bentuk wacana amandemen konstitusi yang memberikan tambahan periode jabatan Presiden dan/atau menambah masa jabatan Presiden. Konstitusi tegas membatas jabatan Presiden maksimum dua periode dengan masa satu periode jabatan lima tahun.
“Amandemen konstitusi baik untuk menambah periode dan/atau masa jabatan Presiden akan menyebabkan rakyat tambah sengsara. Dua periode belum habis saja rakyat sudah sengsara luar biasa, jangan ditambah lagi kesengsaraan rakyat makin merajalela,” ungkapnya.
Keempat, menghimbau kepada segenap rakyat untuk mengawasi kinerja MPR RI yang akan berkhianat melakukan amandemen konstitusi, untuk menambah kekuasaan Jokowi.
“Apapun alasannya, amandemen yang menambah periode dan/atau masa jabatan Presiden sama saja pengkhianatan kepada rakyat secara terbuka,” pungkas Humas TPUA Azam Khan SH.
Komentar