Kearifan Lokal Jadi Alasan, Kualat!

bang sèm

TIDAK semua kebiasaan dan pengetahuan lokal yang melekat dalam tradisi budaya suatu atau berbagai masyarakat merupakan kearifan lokal, bila tidak memenuhi parameter kemanfaatan dan kebaikan yang luas.

Christoper Antweiler melakukan studi tentang Local Knowledge and Local Knowing. An Anthropological Analysis of Contested “Cultural Products’ in the Context of Development (1998). Antropolog dan profesor kajian Asia Tenggara di Universitas Bonn, Jerman, itu menunjukkan secara sistematis, bahwa kecerdasan dan kebiasaan lokal tidak dengan sendirinya merupakan kearifan lokal yang kelak membentuk kearifan dan kecerdasan budaya.

Pengetahuan lokal, menurut Antweiler, terdiri dari pengetahuan faktual, keterampilan, dan kemampuan, yang sebagian besar beranjak dari landasan empiris. Secara budaya dipahami sebagai “produk budaya.” Selama ini, dalam kajiannya, Antweiler menemukan banyak kasus, penerapan praktis dalam konteks pembangunan lebih kepada masalah teori dan politik. Bukan masalah sains dan teknologi. Khasnya yang mengacu pada pengetahuan yang berhubungan dengan hutan.

Kebiasaan dan pengetahuan lokal dipergunakan dan diidealkan oleh para ahli pembangunan serta oleh para kritikus mereka, sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif. Namun, kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan dan kebiasaan lokal belum tentu berdampak keadilan sosial dan berkelanjutan atau berkeadilan sosial. Apalagi, ketika penggunaan pengetahuan dan kebiasaan lokal untuk pembangunan dibatasi sebagai model responsi untuk ilmu pengetahuan Barat dan ekstraksi informasi.

BACA JUGA :  Jangan Serakah

Kasus minuman keras lokal, seperti sopi di Nusa Tenggara Timur, tuak di Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya, berem di Bali, misalnya.

Produk pengetahuan lokal yang sekaligus menjadi bagian dari tradisi ini, tak serta merta bisa diklaim sebagai kearifan lokal yang mesti dikembangkan secara luas dan industrial untuk konsumsi (dengan daerah distribusi) luas dan tak terbatas. Terutama, karena dalam kebiasaan lokal minuman keras khas hanya dipergunakan secara terbatas.

Manusia diberikan instrumen lengkap oleh Tuhan untuk memilih produk sosiobudaya berbasis pengetahuan dan kebiasaan lokal dengan nilai kemanfaatan yang lebih luas, termasuk dalam pengembangan kecerdasan budaya. Misalnya, minyak Kayu Putih, Cengkeh, Kemiri, Dengen, Jahe, Madu, Cendana, Mint, Tamarin, Kencur, Kelor, Nira, Sorgum, Tapai, dan ribuan produk lainnya yang berhubungan dengan hutan. Tapi, dalam satu tarikan nafas, mesti dibarengi dengan moratorium alih fungsi lahan hutan yang dalam banyak hal merusak ekosistem dan ekologi, baik melalui deforestasi, pembakaran hutan, dan eksploitasi tambang secara berlebihan.

Kebijakan membuka investasi minuman keras, meski dilokalisasi di provinsi tertentu nilai kebaikan dan keburukannya tak seimbang. Akan lebih besar dampak keburukannya, katimbang dampak kebaikannya. Apalagi, bila pertimbangannya adalah pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, hal utama yang patut dikembangkan dari kearifan lokal adalah referensi budaya empiris untuk membaca hikmah di balik pandemi Covid-19.

BACA JUGA :  Kudeta Demokrat, Harga Diri SBY dan Keluarga Dipertaruhkan

Referensi budaya itu antara lain (dan yang utama) adalah pengendalian ekosistem dan ekologi, berbasis hutan hujan tropis yang di bawah bentang kanopinya menyimpan begitu banyak ragam herbalia.

Mestinya di tengah bekap pandemi nanomonster Covid-19 kita mesti menggerakkan masyarakat sebagai masyarakat pembelajar (learning society) untuk melihat celah peluang berbasis sains dan teknologi yang dapat dimanfaatkan bagi seluas-luasnya kesejahteraan rakyat. Hitunglah dengan cermat dan mendalam nilai keburukan dan kebaikan suatu rancang kebijakan, sebelum menjadi kebijakan, berpandangan jauh ke masa depan.

Para guru besar ilmu budaya perlu melakukan kajian mendalam untuk memikirkan ulang dimensi budaya dari abad ke 16, 19, 20, dan kini di abad 21. Baca dengan teliti dan cermat pandangan Edward Tylor (1871) tentang Primitive Culture, dengan premis otonomi antropologi sosial, memandang budaya sebagai suatu kompleksitas keseluruhan aspek pengetahuan, seni, moral, kepercayaan, hukum, adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Baca juga dengan jeli pemikiran Clifford Geertz (dekade 70-an), yang menawarkan pengertian budaya lebih dari sekedar catch-all yang meliputi kapasitas, potensi dan kebiasaan (pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat) yang diperoleh seseorang selama hidupnya sebagai anggota masyarakat, melainkan contoh makna yang ditransmisikan secara historis, yang diwujudkan dalam simbol, dalam sistem konsepsi yang diwariskan. Dalam hal mana manusia berkomunikasi, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka.

BACA JUGA :  Anies Menguat, Semua Merapat

Situasi pandemi nanomonster Covid-19 adalah peluang para akademisi yang sungguh intelektual dan ilmuwan (bukan sekadar akademisi pemburu gelar dan status sosial) untuk melakukan telisik fenomena dan paradigma sosiobudaya untuk merancang konsepsi dan peradaban baru. Termasuk melihat dengan jernih korelasi kebijakan tentang investasi di lapangan industri minuman keras dengan redress ekosistem dan ekologi nasional. Mulai dari pemeliharaan bumi (termasuk mengelola baik biosfer dan litosfer), membalik kemiskinan, menaklukkan penyakit (termasuk mencegah epidemi dan pandemi), melayari transhumanisma (terutama untuk menjaga harmoni keterampilan dengan kearifan), risiko eksistensi manusia – masyarakat – negara – bangsa, dan perancangan peradaban baru.

Dalam konteks budaya, juga perlu kajian sangat mendalam – tekstual dan kontekstual – dalam memahami keberadaan minuman keras sebagai bagian dari tradisi -masyarakat – dengan melihat konteksnya terkait alam, iklim, dan musim – dan proses perubahan dari masyarakat komunal, komunitas, etnis, suku dan lainnya.

Kita tidak memerlukan alasan pembenaran, karena dalam situasi krisis dan resesi, yang diperlukan adalah cara. Bila kebijakan negara dilakukan melalui proses yang benar, dengan melibatkan kalangan kompeten dalam memberikan pertimbangan kritis terkait policy design, rakyat tidak dibuat letih terus menerus dengan sentak sengor (pro kontra) yang tidak mencerminkan ke-Indonesia-an kita.

Jangan kearifan lokal jadi alasan. Kualat !|

Komentar