Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
POLITIK: sarang di mana kekuasaan menetas, ujung pangkal dinamika Indonesia yang tambah meriah, dipicu anak pak lurah.
Anak memang fenomena menarik dan penting dalam panggung politik dewasa ini. Meyakinkan sebagai objek kajian politik Indonesia Baru. Menggeser isu parpol dan militer.
Kekuasaan memang selalu mencari cara mengawetkan diri. Awet berkuasa seperti halnya awet muda, didamba umumnya manusia. Sejauh ini, tersedia dua modus kekuasaan melanggengkan diri: permainan durasi dan promosi putra-putri.
Permainan durasi telah ditunjukkan oleh Soekarno dan Soeharto. Soekarno menempuh jalan yang umum dilalui para diktator. Melanggengkan kekuasaannya dengan menetapkan diri sebagai presiden seumur hidup. Jelas menyimpang dari konstitusi yang ia kawal sampai titik komanya dalam persidangan BPUPK-PPKI.
Soeharto mematuhi jalan konstitusi. Langkahnya lebih elegan: mengembangkan tafsir atas ayat konstitusi “dapat dipilih kembali”. Dan, memang selalu dipilih kembali dalam 6 kali pemilu khas Orde Baru. Untuk urusan itulah Golkar ada.
Dua jalan itu tak layak dilalui dewasa ini. Namun, tak berarti kekuasaan berhenti berhasrat melanggengkan diri. Hanya dituntut mencari jalan baru, yang lebih mengesankan: ditandai semakin berjubel aktivis di café-café, menikmati capucino sambil bercerita tentang teman-temannya yang menduduki jabatan komisaris BUMN.
Maka, muncul wacana meninjau ulang ayat konstitusi terkait masa jabatan presiden. Kalau bisa 3 periode, tak ada salahnya. Amandemen konstitusi soal teknis belaka, bukan perkara sulit. Terbukti telah 4 kali dilakukan. Selain itu, sesuai realitas dalam parpol kunci: kesulitan mengganti ketua umum.
Gagasan 3 periode, kembali dilontarkan Ketua DPR RI tempo hari. Secara matematis kemungkinan dilakukan amandemen 50 persen. Tapi, secara politis, perubahan menjadi 3 periode atau lebih, sangat besar. Karena hanya perlu tambahan 1 persen, untuk mencapai mayoritas absolut. Dan, angka itu sudah terlampaui sesuai perbandingan koalisisi dan oposisi. Terserah MPR nanti.
Demokrasi menjamin kekebasan berserikat. Lalu, puluhan partai politik muncul. Parpol memang syarat mutlak demokrasi. Nalar-argumentasinya indah: objektifikasi rakyat dengan segenap kebebasannya. Itulah yang mengesahkan klaim ‘suara Tuhan”.
Parpol tentu saja sarana meraih kekuasaan, juga melanggengkannya. Memang agak di luar dugaan, sejumlah parpol ternyata berdiri di atas prinsip petani-pedagang. Memadukan demokrasi dan perusahaan keluarga. Tak aneh, bila Ketua Umum tak bisa diganti. Atau, bila tiba saatnya, sang anak yang tampil, mewarisi partai besutan ayah bunda.
Promosi putra-putri sebagai modus melanggengkan kekuasaan menguat beberapa tahun terakhir. Maka, anak (lelaki dan perempuan) menjadi fenomena yang mengesankan dalam pemilu. Berkuasa dan memiliki putra-putri yang sehat, pastilah ayah bunda yang dilimpahi karunia Tuhan. Tak ada yang ingin memubadzirkan, kecuali ingin dianggap sebagai teman setan.
Politik menjadi lebih unik, karena harus memastikan kesesuaian kepentingan bangsa-negara dengan kemauan anak. Bukan dinasti, karena anak tak bisa langsung ditunjuk menduduki jabatan (Bupati atau Wali Kota), tetap harus berproses sesuai ritual demokrasi.
Jadilah politik (Indonesia) tersusun dua lapis: ayah bunda dan putra putri. Policy berarti penyelarasan kehendak bapak-anak dengan tujuan nasional, memroyeksikan eksistensi anak sebagai masa depan bangsa dan negara.
Demokrasi sepenuhnya soal suara terbanyak. Tak mengenal dan memusingkan nasab. Hanya memastikan: syarat dan ketentuan berlaku. Karena itu, putra-putri tak dengan sendirinya menikmati fasilitas layaknya Amangkurat I. Mesti berjuang mengalahkan lawan. Lawan terberat mereka: bumbung kosong.
Jejak bapak bisa dinapak tilasi. Mirip cara kerja mesin fotocopy. Kalau peristiwa itu terjadi, misalnya, di Surakarta, bapak dan anak ditandai dengan notasi metematik, misal: Amangkusolo I untuk sang bapak dan, Amangkusolo II untuk sang putra.
Elegi tangisan Raja Daud dipastikan tak bakal terjadi. Tak ada anak durhaka. Kaum cerdik pandai dan rakyat, dengan senang hati bertepuk tangan menyambut sang putra-putri, termasuk menantu, tampil mengawali pengabdian membangun daerah, menyejahterakan rakyat.
Putra-putri dari ayah-bunda tuna kuasa tentu tak memenuhi syarat dan ketentuan demokrasi Indonesia dewasa ini. Cukup sebagai penggembira dengan sepenuh (kolam) hati.
Komentar