TILIK.ID — Teror terhadap media massa dan provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden RI merupakan bentuk baru dari politik intimidasi. Mereka menggunakan kekerasan simbolik serta digital untuk mengguncang institusi demokrasi.
Demikian penilaian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (29/3/2025).
Co-Founder ISESS dan analis pertahanan dan keamanan Khairul Fahmi mengatakan dua peristiwa dalam waktu berdekatan belakangan tersebut mengganggu nalar sehat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Keduanya bukan sekadar kontroversi viral atau ungkapan kemarahan sesaat, tetapi bentuk nyata dari ekstremisme politik,” ujar Khairul.
Maka dari itu, menurutnya, Indonesia tidak sedang menghadapi kritik yang tajam atau oposisi biasa, melainkan sedang menghadapi aktor-aktor ekstrem di luar sistem demokrasi, yang beroperasi dengan memanfaatkan ruang digital dan keresahan publik.
Menurutnya, penyebar teror maupun provokasi itu tidak berpartisipasi dalam sistem politik formal, tetapi tumbuh subur dari instabilitas, kebencian, dan polarisasi.
Adapun teror dimaksud, yakni adanya kiriman kepala babi ke kantor salah satu media massa, sebuah simbol kebencian yang menyasar kemerdekaan pers. Teror terhadap media, kata dia, mengancam pilar kebebasan berekspresi.
Sementara provokasi dimaksud, sambung Khairul, yakni provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden, termasuk seruan “bunuh presiden” yang mengaitkan iring-iringan kendaraan Presiden dengan tragedi Presiden ke-35 Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK).
“Narasi kekerasan terhadap kepala negara mengguncang legitimasi pemerintahan yang sah,” tuturnya.
Di media sosial, ia menyebutkan para penyebar provokasi hadir dalam bentuk troll (orang yang melakukan provokasi) dan akun anonim yang menyebarkan provokasi terukur.
Seruan โbunuh presidenโ yang dibungkus humor, meme, atau referensi budaya pop, kata Khairul, bukan sekadar satire, melainkan bagian dari simulasi kekerasan politik yang dirancang untuk viral, membentuk opini, dan memancing reaksi keras dari Negara.
Sementara itu, dia melanjutkan, kelompok ekstrem menggunakan kekacauan tersebut sebagai pintu masuk untuk melemahkan sistem.
Para kelompok ekstrem mungkin tidak sedang ingin menggantikan pemerintahan, tetapi menurut Khairul, mereka jelas ingin merusaknya dari dalam, dengan mendorong masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media, negara, dan demokrasi itu sendiri.
“Keduanya harus segera diungkap dan ditindak, karena jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang melemahkan pilar demokrasi kita,” ucap Khairul.
Meski penegakan hukum menjadi keharusan, dirinya menekankan bahwa lebih dari itu, masyarakat membutuhkan ketegasan moral sebagai bangsa dengan menolak segala bentuk intimidasi dan ekstremisme, baik yang bersifat simbolik maupun digital.
Demokrasi dinilai hanya akan bertahan jika masyarakat menjaga ruangnya tetap sehat serta bebas dari teror dan kebencian.
Oleh karenanya, dia menegaskan bahwa menjaga demokrasi bukan semata tugas Negara, namun merupakan tanggung jawab kolektif semua pihak, termasuk masyarakat.
“Karena kalau kita membiarkan ekstremisme berkembang di pinggiran demokrasi, maka pelan-pelan demokrasi itu sendiri akan runtuh, bukan karena kekuasaan otoriter, tapi karena kebisuan kita atas kekerasan yang dibiarkan,” kata dia menambahkan. |โขโข
Komentar