by: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
HABIB Rizieq Shihab sudah pulang ke Indonesia. Hari ini. Tepat pada hari pahlawan, tanggal 10 November. Tentu bukan kebetulan, tapi ada kesengajaan.
Juga bukan kebetulan jika Habib Rizieq pulang saat eskalasi politik di Indonesia sedang naik. Demo berjilid atas UU Cipta Kerja belum ada tanda-tanda berhenti. Kekecewaan massa, baik buruh, mahasiswa dan ormas semakin membesar ketika presiden menandatangani UU Cipta Kerja tersebut. Apalagi, naskah UU yang ditandatangani Presiden itu dianggap cacat formil dan materiil.
Kepulangan tokoh yang dipanggil dengan nama HRS ini seolah menjadi energi segar bagi kelompok oposisi untuk semakin aktif dan masif memprotes aturan dan kebijakan pemerintah yang dianggap ugal-ugalan. Berpihak kepada para pemodal, abai terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat.
HRS punya modal sosial yang cukup besar. Secara personal, mungkin dia satu-satunya tokoh di Indonesia yang mampu menggerakkan jutaan massa. Ini bisa dilihat dari jumlah massa yang menjemputnya hari ini di bandara Soekarno Hatta Cengkarang.
Bisa dimaklumi jika istana kemudian panik. Sekali HRS teriak, istana bisa rontok. Wajar jika istana khawatir. Sadar atas potensi ini, istana mulai melunak. Sambutan Menkopolhukam Mahfudz MD kemarin malam berubah total. Sebelumnya, Mahfud cenderung menyerang HRS. Menuduh HRS bermasalah di Arab Saudi, lalu dideportasi. Tidak sampai di situ, Mahfud juga mengancam jika pendukung HRS berbuat anarkis akan disikat.
Ketika istana tahu bahwa pendukung HRS begitu besar, istana merubah strategi dan cara berkomunikasi. Lebih soft, persuasif dan tidak sembrono lagi. Tak ada pilihan lain.
HRS pulang ingin melakukan “revolusi moral”, kata pihak istana. Kalimat ini terus diulang-ulang. Pengulangan dan penonjolan kata “revolusi moral” seperti disengaja agar kepulangan HRS menjadi kehilangan heroismenya.
Kata “revolusi moral” yang terus digaungkan istana dibaca publik seolah ingin memengaruhi opini bahwa HRS tidak akan melakukan revolusi politik. Hanya revolusi moral.
Apakah revolusi moral yang diperjuangkan HRS lepas dan tidak terkait sama sekali dengan situasi politik saat ini? Kalau begitu, apa arti ketegangan HRS dengan istana selama bertahun-tahun? Sandiwarakah?
Nah, yang menarik dari kepulangan HRS adalah apakah sikap lunak istana akan menghentikan teriakan HRS yang selama ini terus menerus meminta Jokowi mundur? Dalam konteks ini, apakah sudah ada kompromi atau deal-deal tertentu antara HRS dengan istana? Jika ada, apa dealnya? Atau sebaliknya, kepulangan HRS justru untuk menuntaskan tuntutan itu? Isu ini nampaknya yang paling seksi dan menarik publik.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini jadi hal paling penting dan substansial dari semua analisis tentang kepulangan HRS. Tanpa menyentuh soal ini, analisis menjadi semu.
Publik menunggu, apa narasi HRS pasca kepulangannya. Melunak, atau masih garang? Lunak dan garangnya sikap HRS akan sangat memengaruhi tidak saja eskalasi, tapi boleh jadi juga akan menentukan struktur politik nasional.
Jakarta, 10 Nopember 2020
Komentar