Renungan Senja dari Kota Palu

Bang Sem

MENDARAT di kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah setelah bertahun-tahun tak pernah berkunjung ke sini, bukan hanya lembaran catatan remang hari kemarin. Sejumlah sahabat telah berpulang ke haribaan Ilahi. Khasnya, ketika tsunami menerjang kota ini beberapa masa lalu.

Ketika mengunjungi beberapa bagian kota yang menjadi korban utama bencana gempa bumi dan pergerakan tanah yang menjumpalitkan sekaligus menenggelamkan kampung, rumah ibadah, dan berbagai utilitas kota, serta menyisakan masjid apung yang masih tergenang di pantai, masih ada daya yang tersisa: harapan.

Maha benar Allah yang mengisyaratkan, bahwa di sebalik bencana, selalu ada inspirasi, semangat, dan keyakinan untuk bangkit, berdiri, melangkah, dan bahkan berlari.

Di antara bangunan rumah baru untuk permukiman kembali yang dibangun pemerintah, pesan kebangkitan itu terasa. Khasnya, harapan untuk menyelesaikan sesuatu perkara, tuntas. Lantas melanjutkannya dengan ikhtiar baru.

Di kedai makan nasi kuning Mama Jena, kedai Kaledo Abdi di kawasan jalan Diponegoro, tak jauh dari kampus Universitas Al Khairaat, sambil berbincang dengan berbagai teman — sebagian adalah aktivis dan politisi — yang mengemuka adalah kesadaran untuk menghidupkan entusiasme menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan kehendak untuk bersatu. Namun, terkendala di sana sini oleh sifat dan sikap politik yang naif tentang kompetisi.

Di atas bebatuan yang kini menjadi penangkal ombak yang masih bergelora dengan angin pantai yang bertiup pada senja, membuat rambut berkebaran, saya merenung tentang hakikat kuasa dan kekuasaan.

Sembari memandang gunung dan bebukitan yang terkesan ‘memegari’ kota ini, saya juga merenung tentang hakikat manusia yang hanya menjadi obyek dari kekuasaan, lalu berkutat di dalamnya.

BACA JUGA :  Firli dan Revolusi

Ketika bocah-bocah menghampiri pengunjung masjid terapung menjadi korban tsunami, meminta uang untuk jajan dengan memelas, ada sesuatu yang tak terkatakan, namun hadir di depan mata.

Proses pemulihan dan rehabilitas bencana alam, boleh jadi sudah hampir rampung tertangani. Namun, bencana sosial yang menyertainya, terasa belum lagi tuntas.

Ada jarak antara subyek dengan obyek kuasa – kekuasaan yang terasa. Di antara jarak itu, masih juga terasa, betapa dimensi imajinasi yang berkembang menjadi visi, masih tersimpan di ruang abstrak, yang ketika hendak diwujudkan menjadi realitas pertama kehidupan sosial, kerap menjerembabkan sebagian kita — khasnya para pemburu kuasa — ke dalam jebakan fantasi yang merisaukan.

Jarak Sosial, Jarak Budaya

Dalam situasi demikian, saya menyaksikan para pemburu kuasa dan politisi bermain-main di bentang jarak itu. Mengelola harapan, tanpa merujuk kepada realitas tantangan kehidupan hari esok yang akan dihadapi, peluang apa yang tersedia, kelemahan apa yang nampak dan tak nampak di dalam diri, sehingga belum juga tahu, kekuatan apa yang harus diformulasi sebagai daya untuk menjawab tantangan dan ancaman.

Angin pantai yang bertiup kencang dan udara panas yang menjalar menyengat jangat, menyentak nurani, dan membuka mata saya untuk melihat realitas, bahwa kita memang terbiasa hidup dengan ‘jarak’ yang tak lagi hanya jarak fisik antar individu manusia. Melainkan jarak sosial antar komunitas dan organisasi perkauman, pula jarak budaya antar elemen dan komponen di dalamnya.

Boleh jadi, karena realitas jarak tersebut, dalam perbincangan dengan berbagai kalangan dan sejumlah kolega sejak mendarat di bandar udara Mutiara Sis Al Jufrie, Rabu (23/11/22) pagi, tak sempat saya dengar gagasan tentang pemikiran asasi, bagaimana kolaborasi luas antar elemen dan eksponen bangsa ini, bisa menggerakkan proses percepatan pemulihan dan kebangkitan Palu beserta masyarakatnya bisa mewujud nyata.

BACA JUGA :  JAM SEJARAH BERPUTAR BALIK

Ketika adzan kumandang dari menara masjid Al Mujahidin yang miring laksana ‘menara Pisa,’ tetiba melintas dalam bayangan benak sejumlah tokoh Sulawesi Selatan di masa lalu, yang dengan keikhlasan dan kesungguhan hati menghidupkan kolaborasi membangun daerah ini.

Terngiang nama Dato Karama, Dato Mangaji, Sayyid Baharullah, Guru Tua Sayyid Idrus bin Salim Al Jufrie — yang namanya dipakai untuk nama bandara —, I.D Awuy, Daeng Maria Djaelangkara, Syeikh Jabbar, Sayyid Idrus Alhabsyi, dan lain-lain. Terngiang juga sejumlah nama dalam dunia literasi kemudian, seperti Masyhuddin Masyhuda, Syahrun Latjupa, Jamin Abubakar, Daeng Pattiro Laetangoga, H. Djalumang, dan lainnya.

Tentu tak pernah terlupakan mantan Edy Sabara, Gubernur Abdul Azis Lamadjido dan Bandjela Paliudju, selain Rajawali Pusadan yang menghadapi masa kritis selepas kemerdekaan (149-1952).

Sekelebat melintas wajah Agil H. Ali yang beken di Surabaya dan terkenal pada dekade 1970-an dengan catatannya pembelaannya di hadapan rezim otoriter, bertajuk “Aku Bukan Solzhenitsyn”. Pun begitu juga dengan Nongtjik H. Ali.

Palu dan Sulteng Tanah Para Pemberani

Adzan itu juga mengingatkan saya pada sosok bijak Allahyarham M. Arifin Mattorang yang wafat beberapa tahun terakhir, yang menceritakan secara tartil para pejuang ikhlas dan pemberani, seperti Rohana Lamarauna dari Banawa dan Toto Dg Pawindu dari lembah Palu, serta Imam Haji Hayun dari Toli-Toli, yang menggerakkan kesadaran kebangsaan pada 1917, sehingga berdepan dengan penjajah pemerintah Hindia Belanda.

Kesemua nama yang saya sebut tersebut adalah sosok-sosok tokoh yang memberikan keteguhan sikap dan tanggung jawab secara ikhlas terhadap kemajuan dn kebangkitan tak hanya Palu dan Sulawesi Tengah semata, melainkan kemajuan dan kebangkitan Indonesia.

BACA JUGA :  Ironis, Kita Sedang Krisis Kesehatan, Tapi Porsi Terbesar Dana Penanggulangan Covid-19 Justru untuk Intensif Pengusaha

Palu dan seluruh kawasan Sulawesi Tengah adalah medan perjuangan kemerdekaan berpangkal kebangsaan, ke-Indonesia-an, keilmuan, kerakyatan berbasis sosio-religius. Dimensi ke-Indonesia-an yang tak hanya dalam konteks narrow nationalisme, melainkan global nationalism.

Palu dan Sulawesi Tengah pada umumnya adalah titik perjuangan kebangsaan yang tak hanya menjunjung tinggi kecerdasan dan kearifan, melainkan keberanian untuk menegakkan prinsip jujur dan bersih, anti rasuah berujung kejujuran dan keadilan.

Beranjak dari renungan semacam inilah, di Palu, ketika menyaksikan para alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang tergabung dalam KAHMI — termasuk Forum Alumni HMI-wati — menyelenggarakan Musyawarah Nasional (MUNAS), termasuk memilih pemimpin berupa presidium majelis nasional, saya ingin ingatkan: jangan nodai KAHMI (dan FORHATI), jangan nodai PALU, jangan nodai Sulawesi Tengah.

Jangan ada para kandidat pemimpin atau presidium, mereka yang telah ternoda dan pernah menjadi banduan (narapidana) karena rasuwah. Menodai amanah yang pernah diberikan rakyat mereka. Meski mungkin, tak ada aturan yang melarang mereka.

Jangan ada — siapapun juga — yang hanya karena takut kehilangan jabatan, membatasi para pemimpin muda, alumni HMI yang melangkah menuju kontestasi Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2024.

Lembah Palu dan tanah Sulawesi Tengah adalah tanah perjuangan, tanah para pemberani. Tanah kelahiran para pelopor dan bukan pengekor perjuangan. Tanah kelahiran para pemangku amanat terpercaya dan bukan tanah kelahiran para penghianat. Tanah para pemberani, bukan tanah para pengecut berselimut ewuh pakewuh dan siasat. |

Komentar