Pemohon Uji Materi: Penunjukan Pj Bermasalah, Sebaiknya Perpanjangan Jabatan

TILIK.ID — Sidang kedua uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 UU No 10 Tahun 2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (22/2/2022). Sidang judicial review mengagendakan perbaikan permohonan.

Enam pemohon yakni Pemohon I (Dr (can) Dewi Nadya Maharanin SH MH, Pemohon II Suzie Alancy Firman SH, Pemohon III Moch. Sidik, Pemohon IV Rahmatulloh, S.Pd, M.Si, Pemohon V Mohammad Syaiful, dan Pemohon VI Nian Syarifudin, telah menguasakan kepada kuasa hukum Dr. Sulistyowati, SH, MH.

Uji materi yang diajukan terkait penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Penunjukan itu untuk masa tugas sampai pilkada serentak pada 2024.

“Sidang kedua ini, mempertajam mengenai legal standing para pemohon mengenai kerugian konstitusional yang diderita, disertai bukti-bukti pendukung?” kata kuasa hukum pemohon Dr. Sulistyowati, SH, MH, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (22/2/2022).

Selain itu, juga mempertajam isi permohonan dalam posita atau duduk perkara yaitu adanya elaborasi mengenai pemilu serentak.

Menurut Sulistyowati, pihaknya memahami adanya pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 yang mempunyai konsekuensi logis. Yaitu para pemohon tidak bisa menggunakan haknya pada tahun 2022 atau 2023.

BACA JUGA :  Selamat Berjuang, Ganjar!

“Pemohon memohon untuk memberikan kesempatan yang sebelumnya sudah terpilih secara demokratis yang diangkat menjadi penjabat kepala daerah, agar hak para Pemohon tidak sepenuhnya hilang,” katanya.

Selanjutnya, katanya lagi, jika penunjukan Pj Kepala Daerah tanpa harus kontradiktif dengan aturan lainnya, maka Penjabat Kepala Daerah dari ASN seharusnya dikesampingkan.

“Sebagai solusi, penjabat kepala daerah adalah kepala daerah terpilih dalam pilkada terakhir sebelum tahun 2022, baik yang berakhir masa jabatan 2022 maupun 2023 ditunjuk untuk menjadi Pj guna menyiapkan pemilihan kepala daerah serentak 2024,” kata Sulistyowati.

Sebab, menurutnya, jika dilihat sejak awal kepala daerah tidak boleh dari unsur TNI, Polri, dan PNS sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) huruf t UU No.10/2016, maka jika ingin menjadi kepala daerah harus mengajukan surat pengunduran diri.

Lebih lanjut dalam Pasal 70 ayat (1) UU No.10/2016, dalam berkampanye tidak diperbolehkan melibatkan Pejabat Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, TNI, Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa/sebutan lain/perangkat Kelurahan.

BACA JUGA :  Tamsil Linrung Pimpin Alumni HMI Bacakan Manifesto Dukung Anies

“Bagaimana bisa penunjukan Penjabat kepala daerah dari Aparatur Sipil Negara, sedangkan dalam kampanye ketika pemilu saja keterlibatannya dilarang,” kata Sulistyowati.

Mengenai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2021 tentang Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah bagi Daerah dengan Masa Jabatan Kepala Daerah Berakhir Pada Tahun 2022, penentuan program didasarkan pada visi misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), analisa sasaran pokok dan arah kebijakan RPJPD Provinsi/Kabupaten/Kota Tahap Keempat dan isu stategis aktual.

Rencana pembangunan daerah dicerminkan dari visi dan misi tujuan para kandidat terpilih pada pilkada. Namun jika munculnya Pj Kepala Daerah didasarkan hanya pada penunjukan, darimana rencana pembangunan daerah bisa dilakukan?

Apakah bisa Penjabat yang ditunjuk bisa membuat rencana pembangunan daerah selain RPJPD dari kepala daerah terpilih di Pilkada? Sedangkan Penjabat kepala daerah yang ditunjuk itu belum tentu mengerti kebutuhan daerah tersebut.

“Bagaimana mungkin visi misi Kepala Daerah sebelumnya dijalankan Penjabat hasil penunjukan? Mungkinkah menjalankan kebijakan tanpa visi misi jika pelaksananya dari ASN?” kata Sulistyowati.

BACA JUGA :  Putusan MK Tentang Presidential Threshold Adalah Sebuah Tragedi Demokrasi

Karena itu, pemohon memohon

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah (gubernur) adalah kepala daerah terpilih dalam pilkada terakhir sebelum tahun 2022, baik yang berakhir masa jabatan 2022 maupun 2023 untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah serentak 2024.

3. Menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah (bupati/walikota) adalah kepala daerah terpilih dalam pilkada terakhir sebelum tahun 2022, baik yang berakhir masa jabatan 2022 maupun 2023 untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah serentak 2024.

4. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. (lkb)

Komentar