Hamzah Chalifah dan Rektornya, Tugas S2 yang Tertunaikan

by: Geisz Chalifah

 

Hamzah Pulang Ya Bah, Mau Milih Pak Anies”  (20 Agustus 2019)


ANAK
saya nomor dua ini tak pernah meminta sesuatu di luar dari kemampuannya yang mampu dia beli sendiri. Saya harus memiliki kepekaan untuk faham apa yang dibutuhkan.

Ketika masa perkuliahan memasuki akhir, saya heran tak ada permintaan untuk bayar uang semester, bahkan uang jajanpun sudah tak pernah meminta. Ketika saya tanyakan, jawabannya sudah dibayar dari hasil kerjanya.

Tak suka politik bahkan tak pernah membicarakannya, namun ketika musim Pilpres 2014 dia meminta ijin untuk membuat poster dgn wajah rektornya terpampang besar dan dipasang di gedung yang dia bertugas mengelolanya.

Saya bertanya untuk apa buat poster seperti itu?

Jawabannya sederhana, di lingkungan itu ada spanduk besar dgn wajah-wajah yang disilang. Ada wajahnya JK, Jokowi juga, wajah Anies Baswedan. Dan di lingkungan itu sering menyatakan hal negatif tentang Anies. Dia tak mau banyak bicara namun menunjukkan sikap perlawanan secara jelas dan gamblang.

Dia pasang poster besar berwajah rektornya dengan tulisan bernada dukungan.

Saya tak perlu cerita dari mana sifat melawan arus ada pada dirinya, bila arus itu diyakini salah dan tetap melawannya walaupun sendirian.

Namun saya perlu bertanya, apakah harus seperti itu caranya?

Anak yang masih muda belia ini menjawab: Orang tak boleh dihinakan semaunya tanpa sebab, apa lagi hanya berdasar kabar burung.

Dia yakin rektornya itu bukan JIL dan bukan Syiah. Untuk itu dia melawan dgn senyap (tanpa bicara.) Namun menunjukkan sikap di muka umum dengan memasang spanduk besar di area yang dia memiliki kekuasaannya sendiri.

Saya berpesan: Kalau bertarung hadapi dan jangan mundur di tengah jalan, jangan setengah-setengah.

Hamzah menyatakan siap, tak ada sedikitpun keraguan dari dirinya.

Ibunya bertanya pada saya dengan nada khawatir melihat situasi saat itu, dan saya katakan selama dia jujur dengan dirinya tidak akan terjadi apa apa.

BACA JUGA :  Kaum Milenial Perlu Melek Agama dan Melek Politik

Sejak menginjak akhir masa Sekolah Dasar dan seterusnya, saya tak pernah melihatnya menangis, jarang mengeluh dan tak terbiasa menunjukkan masalah yang dihadapi di muka umum. Yang namanya air mata hampir tak pernah terlihat.

Namun suatu sore setelah magrib dia tiba dengan setengah berlari melepaskan sepatunya, melepaskan tasnya dengan terburu-buru memasuki rumah. Lalu buru-buru melihat ke kamar di mana ibu saya (neneknya) sudah menutup mata untuk selamanya.

Hamzah mencium keningnya berkali-kali, menyesali ketiadaan dirinya ketika nenek yang disayanginya menghadapi ajal. Lalu bersandar ketembok, menelengkupkan wajahnya, menangis sejadi jadinya.

Saya mendiamkan hingga dia lebih tenang. Anak laki sesekali butuh menangis agar tak kering hatinya.

Satu waktu di siang hari saya menelpon, mengucapkan selamat ulang tahun dan bertanya tentang keadaan di kampus dan dikotanya, apakah kuliahnya lancar-lancar saja dsb-nya.

Lalu Hamzah bertanya bagaimana Pak Anies? Ko tiba -tiba jadi calon Gubernur?

Saya mengatakan hanya Allah yang mengerti situasi yang kita semua tak pernah menyangka bisa terjadi seperti ini.

Setengah bercanda saya bertanya, apakah di sana mau pasang spanduk lagi?

Anak itu menjawab dengan tertawa: Mau pasang spanduk buat apa, di kampus ini ga ada anak Indonesianya, kebanyakan Jepang dan Thailand, sebagiannya lagi anak Meulborne.

Menjelang pemilihan Pilkada DKI tanggal 15 Februari, HP saya berbunyi, lalu terjadilah pembicaraan; Bah, pak Anies pemilihannya kapan?

Saya menjawab dengan detail: tanggal 15 Februari untuk putaran pertama, memangnya kenapa?

Anak itu menjawab sambil meminta ijin;

“Hamzah pulang ya bah, mau ikut milih pak Anies.”

Saya mengijinkan lalu Ibunyapun bercakap cakap dengannya,
mendengarkan pembicaraan anak dengan ibunya, saya tersenyum.

Ibunya bertanya: lagi dimana?
Hamzah menjawab; dari kantor mau menuju kerestoran tapi bukan untuk makan melainkan untuk kerja.

BACA JUGA :  Ancol Berterima Kasih, Akui Geisz Banyak Membantu di Masa-masa Sulit

Mamahnya bertanya; kerja apa di restoran dan tanpa ada nada malu Hamzah mengatakan: Cuci Piring.

Saya tersenyum mendengarnya.

Sementara ibunya bertanya dengan penuh penasaran dan agak bingung: Cuci piringggg???

“Iya mah, di sini mahasiswa kerja di restoran udah biasa.”

Ibunya menyergah dengan pertanyaan lanjutan: Hamzah kuliah, lalu udah kerja di kantor, sekarang tambah lagi kerja di restoran?

Hamzah, menerangkan bahwa ada tiga hari waktu kosongnya dalam beberapa jam yang dia ingin manfaatkan untuk kerja lain selain mengurus kuliah dan di kantor yang selama ini sudah dilakukan.

Beberapa waktu kemudian,
bukan hanya santri Tebu Ireng yang banyak kembali ke Jakarta untuk memilih calon Gurbernur DKI.

Namun Hamzah Chalifah yg sedang studi S2 di Melbourne juga segera kembali ke Jakarta untuk memberikan suaranya pada rektor yang dikaguminya.

Pada rektor yang dia tahu telah menginspirasi banyak anak muda seumurnya untuk berbagi pada negeri.

Sebagaimana Anies yang hadir dalam debat memberikan salam hormat pada pak Jono, Guru SMP nya yang pertama kali memberikan training kepemimpinan pada Anies.

Pak Jono dihadirkan di forum debat itu untuk menunjukkan berkat didikannya itulah Anies berada dipanggung untuk mengikuti Pilgub. Sebuah penghormatan pada guru yang luar biasa.

Hamzah datang ke Jakarta untuk memberikan suara pada rektornya pada orang yang telah memberi Inspirasi untuk melampaui mimpi.

Ada harapan baru bagi kota yang beragam dengan kepemimpinan yang menyentuh setiap jiwa untuk bergerak bersama.

Pemimpin yang mengirim harapan bukan ratapan, pemimpin yang membawa masyarakatnya tersenyum bukan termenung.

Alumni Paramadina ini tau bagaimana caranya menghormati pendidiknya, cukup dengan pulang dan memberikan suaranya.

Bukan seperti salah satu alumni Paramadina yang mengirimkan tulisan-tulisan bernada negatif hanya karena telah bekerja di Pemprov bersama Ahok. Lalu silap dan lupa diri yang menjadi viral seolah pejuang padahal cuma pecundang.

BACA JUGA :  Waw, Lomba Konten Wisata Jakarta Diikuti 1.743 Pelajar se-Jabodetabek

Saya mengatakan pada Hamzah: Selamat datang kembali di Jakarta, satu suara untuk orang baik dengan melintasi samudra adalah sebuah nilai tersendiri.
Jadilah petarung sejati dan jangan pernah bersikap jadi pecundang, seperti mereka-mereka yang akan kamu kalahkan.

Satu suara yang kamu berikan menempuh ribuan kilo meter untuk memilih adalah sejarah. Dalam satu keadaan kamu ikut berjuang memenangkan orang baik memimpin kota ini.

Hari berlalu Anies memenangkan Pilkada, Hamzah kembali tenggelam dalam kerja dan kuliah yang tak selesai-selesai. Mata kuliah yang digeluti memang sulit, dia tak mau mengambil jurusan lain selain Accounting, buat dia menghitung jauh lebih mudah dari pada mengarang (buat thesis). Namun dua mata kuliah akhir terganjal.

Saya tak lagi memaksakan untuk cepat selesai. Membiarkan dirinya mengambil keputusan sendiri untuk hidupnya.

Selasa 20 Agustus 2019, telepon di HP berdering, suara anak pendiam itu yang tak mengenal menyerah, memberi khabar: Hasil ujian sudah keluar, dua mata kuliah terakhir telah lulus.

Tugas telah ditunaikan, satu fase dalam hidupnya terlewati. Ibunya menitikkan air mata mendengar khabar.

Doa-doa yang dipanjatkan di setiap tengah malam menembus langit, Allah mengabulkannya.

Diakhir percakapan dia menitipkan salam pada rektor yang memberinya inspirasi untuk selalu melakukan yang terbaik.

Mimpilah apa yang kamu inginkan, pergilah ke mana yang kamu ingin tuju dan jadilah apa yang kamu inginkan.
Karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan semua perkara yang ingin kamu lakukan.

Semoga kamu memiliki kebahagiaan yang cukup untuk membuat diri kamu menarik. Ujian yang cukup untuk membuat kamu kuat, kesedihan yang cukup untuk memastikan kamu adalah seorang insan dan harapan yang cukup untuk membuatkan kamu bahagia.

Hadapilah harimu dan jangan pernah merasa takut gagal, karena keberhasilan tidak akan pernah dimilki oleh orang yang dibayangi ketakutan.

Komentar