Oleh: Hamid Basyaib
SEPEDA motor Honda CB 125 Pak Syafii Maarif memasuki kampus UII Jl Cik Di Tiro Jogja, lalu dengan langkah cepat ia menuju kantor majalah Himmah yang kecil di ujung koridor. Ia datang untuk rapat perkenalan dengan pengelola majalah mahasiswa itu. Ia tanpa banyak tanya langsung menerima permohonan untuk menjadi penasihat di sana.
Semua peserta rapat sudah siap, dan Pak Syafii berkata: “Sebelum rapat dimulai, saya ingin tahu yang mana yang namanya Hamid Basyaib.”
Orang-orang tersenyum. Beberapa menyahut.
“Itu yang persis di sebelah Bapak.”
Ia kontan menoleh ke sebelah kanannya, memandangi saya dengan tajam beberapa saat, sebelum ia berkata, “Oh, Anda rupanya!” Ia tidak menyebut “kamu”.
“Tulisan Anda itu tidak benar! Fazlur Rahman tidak seperti yang Anda gambarkan. Dia adalah sarjana Muslim yang sangat bertanggung jawab terhadap Islam. Maryam Jameelah itu bukan tandingannya!” Setelah diam sejenak, “Tapi bahasa Indonesia Anda cantik! Bagus.”
Ia merujuk artikel tiga halaman berjudul “Fazlur Rahman” yang saya tulis di edisi terbaru majalah Himmah. Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan Pak Syafii terhadap gurunya di Universitas Chicago itu; tidak berani menyanggah karena modal saya pas-pasan, hanya berdasarkan buku kecil Maryam Jameelah (Margaret Marcus), eks penganut Yahudi yang antara lain menyebut Fazlur Rahman adalah musuh Islam dari dalam dan karenanya lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka.
Lagi pula Pak Syafii belajar bertahun-tahun dari pakar Islam Pakistan yang hebat itu, maka tentu ia lebih mengenalnya (dua tahun kemudian, Agustus 1985, saya sempat menemui Fazlur Rahman, tapi dalam status sebagai pengagum beratnya, saat ia dan isterinya hadir di diskusi di kampus IAIN Sunan Kalijaga dengan moderator Prof. Mukti Ali).
Sejak “insiden” itu kami akrab. Ia, katanya, sangat senang terhadap sikap saya, yang mengritiknya tapi pada saat yang sama memintanya menjadi penasihat majalah yang saya kelola.
“Begitu semestinya orang Islam dalam berbeda pendapat! Perbedaan tidak menjadi permusuhan. Kita tetap harus bisa bekerja sama.”
Tema ini lalu terus ditekankannya sampai bertahun-tahun kemudian — dengan hasil yang mengecewakannya.
Kadang Pak Syafii menjemput saya di kampus dan mengajak ke Pesantren Pabelan di dekat Ambarawa. Berboncengan di Honda CB-nya, kami bisa tiba cepat di Pabelan karena tidak melalui jalan raya. Ia hapal jalan-jalan tikus ke sana, masuk dan keluar kampung-kampung di sepanjang jalan Jogja-Pabelan.
Sambil terguncang-guncang, saya tanya bagaimana ia bisa tahu jalan-jalan alternatif yang rumit itu.
“Dulu saya sering lewat sini,” katanya.
Saya rasa dia enggan menjawab panjang bukan karena harus konsentrasi di tengah jalanan yang buruk. Itu mungkin karena ia enggan mengenang apa yang ia alami dulu: dari beberapa sumber saya dengar ia di masa mudanya sering berjualan kambing ke kampung-kampung untuk mendapatkan nafkah guna menghidupi keluarga kecilnya. Itu kisah yang terlalu panjang, dan pahit, untuk dituturkan oleh seorang doktor yang baru lulus dari universitas top Amerika dan sedang memegang setang motor dengan khusyuk.
Di ruang tamu rumah Kiai Hamam Dja’far di Pabelan, kadang ada Mas Dawam Rahardjo, Arief Budiman, Aldy Anwar, Armahedi Mahzar. Dua yang terakhir adalah tokoh-tokoh ITB, yang punya persambungan dengan Pabelan karena dihubungkan dengan para aktifis Yayasan Mandiri, sekumpulan aktifis mahasiswa ITB, antara lain Sugeng dan Mochtar Abbas, orang Aceh yang kemudian jadi lurah Pabelan berkat dukungan Kiai Hamam.
Aldy Anwar adalah kerabat Haji Agus Salim yang terkenal pintar sebagai mahasiswa Fisika, tapi tidak menyelesaikan studinya, namun menekuni peluang mengembangkan helio energy (sumber matahari) sebagai bagian penting dari ambisi besarnya untuk melahirkan masyarakat yang “hemat energi, kaya nilai”.
Kembali ke Jogja malam hari, Pak Syafii mengembalikan boncengannya ke tempat semula, kampus UII. Sebelum berpisah, ia memaksa saya menerima separuh honor yang didapatnya dari forum Pabelan.
Saya menolak, tapi dia melesakkan uang itu ke kantong baju saya. Itu jumlah yang cukup besar untuk seorang mahasiswa miskin.
Padahal di forum itu saya cuma melongo melihat orang-orang pintar bertukar pendapat — yang saya sudah lupa apa isinya — dan tidak ada seorang pun yang mempedulikan kehadiran saya, dan sewajarnya mereka bersikap begitu. Hanya saya sendiri yang peduli terhadap tindak-tanduk setiap peserta, misalnya tentang Mas Dawam Rahardjo, yang bersarung dan menggerogoti apel sendirian, yang cuma bikin ngiler.
Kesibukan masing-masing membuat kami tidak bisa berjumpa sesering dulu. Tapi suatu siang Pak Syafii menjemput saya dan mengajak melihat rumah yang sedang dibangunnya di kompleks baru Nogotirto, di Godean. Kami pun melihat-lihat, menerobos barisan kayu yang malang melintang, dan ia menerangkan calon ruang yang ada satu per satu.
“Lumayan besar rumahnya, Pak,” saya bilang tentang bangunan sekitar 120 m2 itu.
“Ya, ini sebetulnya terlalu besar,” ucapnya.
“Ini hanya untuk anak dan isteri saya. Kalau saya sendirian, saya cukup indekos di satu kamar saja.”
Suatu sore saya mengunjunginya di kampus IKIP tempat ia mengajar. Kabarnya ada ruang baru untuk dosen. Maka saya datang untuk melihat keadaannya. Ternyata yang dimaksud “ruang dosen” itu berupa kamar-kamar 2,5 x 2,5 meter persegi (mungkin juga lebih kecil) yang berbaris seperti WC umum. Saya lihat Pak Syafii seperti terhimpit di antara timbunan buku di meja dan barisan bukunya di rak seadanya.
“Beginilah nasib dosen negeri, kalau Anda mau tahu,” katanya.
“Doktor lulusan Amerika pun hanya mendapat ruang kerja begini saja.”
Saya berbasa-basi menghiburnya, meski saya sebetulnya kaget melihat kondisi yang tidak layak itu. Memang mudah disimpulkan bahwa perguruan tinggi kita umumnya tidak memuliakan ilmu meski hal itu adalah urusan utamanya. Spirit itu terlihat dari kondisi ruang dosen yang disediakan.
Universitas kita jauh lebih mementingkan aspek-aspek birokrasi pendidikan dan kepangkatan. Ruang dekan jauh lebih baik daripada ruang dosen. Gedung rektorat pasti merupakan gedung yang paling mentereng di seantero kampus — ruang laboratorium harus dipastikan berada di pojok yang sangat sulit ditemukan.
Kini, 40 tahun sejak saya mengunjungi Pak Syafii Maarif di ruang kerjanya yang mini, saya tidak melihat perubahan berarti dalam piramida sosial di kampus-kampus kita.
Ahmad Syafii Maarif pulang ke Jogja dari Chicago di akhir 1983 dengan battle cry “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!”
Inilah judul wawancaranya di majalah Prisma; dan diulanginya dalam banyak kesempatan. Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, “Ihya Ulumuddin”.
Sudah jamak dianggap oleh kalangan pembaru Islam bahwa kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Kalangan Syiah biasanya menyanggah anggapan “kemacetan berpikir” ini dengan menyatakan bahwa itu hanya terjadi di wilayah Sunni.
Sedangkan di kalangan penganut Syiah, pemikiran tetap subur; para ulama Syiah biasanya juga merangkap filosof — status yang dianggap identik dengan ketekunan berpikir.
Pengaruh Ghazali sedemikian besar, sampai seorang orientalis Inggris, Montgomery Watt, memastikan bahwa sufi Persia itu adalah orang kedua terpenting dalam Islam setelah Nabi Muhammad dalam mempengaruhi pikiran umat Islam.
Syafii Maarif — yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktifis pembaru Islam, mungkin karena berasal dari Universitas Cokroaminoto Jogja yang kurang ternama — dengan caranya sendiri ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed dan beberapa lainnya.
Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat — meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).
Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman.
Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel — semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.
Saya terlalu muda untuk punya hak hadir di acara yang sangat terbatas itu. Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, “Ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya”, sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya.
Sambil berjalan keluar dari hotel, Pak Syafii bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”
“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.
“Lho, kenapa?”
“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”
Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”
Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa.
“Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”
Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic studies itu.
Sampai hari-hari terakhirnya, Syafii Maarif — yang dulu kumis tebalnya membuat ia mirip bintang Hollywood Burt Reynolds — menjalankan peran mujahid itu dengan caranya sendiri. Ia terus meneriakkan battle cry “Umat Islam seribu tahun berhenti berpikir”, dengan beragam elaborasi.
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian “Buya Guru Bangsa”, belakangan ia mengungkapkan kepedihan hati dan pesimismenya terhadap masa depan Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya tentang kondisi umat Islam beserta corak pemikiran keagamaannya.
Ia tak henti meratapi apa yang dipandangnya sebagai kehancuran moralitas elite dan warga dalam berbangsa dan bernegara, dengan nada pesimistik yang terasa terlalu getir dan melampaui situasi sebenarnya.
Barangkali Pak Syafii sengaja menaifkan diri dalam menyuarakan kerisauannya tentang Indonesia. Ia tentu tahu state policies, beserta dampak-dampaknya pada kehidupan sosial warganegara, adalah urusan yang jauh lebih kompleks untuk dinilai semata-mata berdasarkan patokan ahlak religius, perangkat tunggalnya dalam melontarkan kritik-kritiknya yang keras — terhadap pejabat negara, juga elite-elite ormas Islam radikal.
Tapi suara moral Syafii Maarif, yang telah ditabungnya sejak ia remaja di kampung halamannya di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tetaplah diperlukan, termasuk untuk urusan-urusan yang dianggap tak relevan untuk dicampuri oleh mode ahlak individual.
Baginya, segala macam perkara di dunia yang sementara ini — dari soal kebersihan WC umum di terminal bis sampai hubungan-hubungan internasional yang rumit dan berdimensi luas — adalah untuk keperluan menyejahterakan Manusia — dengan M.
Dan untuk itu semua orang yang mengenalnya cukup dekat pasti mengerti bahwa kehidupan dirinya sendiri adalah monumen yang meyakinkan tentang kebenaran apa yang disampaikannya. Ia sahih. Kerisauannya yang diungkapkan dengan sepenuh kesungguhan tercetus dari kemanusiaannya yang tulus; dari kejujurannya yang tanpa ampun; dari kesederhanaan perilakunya. Dan pasti juga dari ketidakpeduliannya pada pemilikan harta benda.
Ia, yang sampai berumur 40an mencita-citakan terbentuknya Negara Islam di Indonesia, seakan menjalani hidup dengan kemurungan konstan. Tetapi saya kira jenis kemurungan semacam itulah yang justeru memberinya energi besar untuk mencapai usia 87 tahun.
Kini ia tak lagi murung. Sejak pukul 10 pagi tadi, ia selalu tersenyum.
Komentar