TILIK.ID — Test Wawsan Kebangsaan (TWK) sebagai alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dilaksanakan. Bahkan hasilnya telah diumumkan sebanyak 74 dari 1000 lebih peserta dinyatakan tidak lulus test.
Jumlah yang tidak lulus itu dianggap kontroversial karena test itu sendiri mencantumkan pertanyaan-pertanyaan yang tendensius serta menyimpang dari format ideal untuk wawasan kebangsaan.
Karena itu, Majelis Nasional Forum Alumni HMI Wati (FORHATI) mempertanyakan test di mana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup aneh dan tendensius pada kalangan perempuan.
MN FORHATI mempertanyakan semua itu dalam siaran pers yang disampaikan secara tertulis, Senin (10/5/2021). Ada enam point pernyataan sikap terkait TWK alihstatus pagwai KPK tersebut.
“Pelaksanaan test alih status pegawai KPK hendaknya dilakukan secara proporsional dan sesuai dengan berbagai Undang Undang yang mengatur tentang KPK dan Aparatur Sipil Negara,” kata Koordinator Presidium MN FORHATI Hj Hj Hanifah Husein.
Dalam pertanyaan test itu yang banyak diujgkap media, muncul kesan tendensius, tidak etis, dan mengabaikan keadaban perlakuan terhadap perempuan. Karenanya MN FORHATI menyampaikan sikapnya.
Pertama, meminta Pimpinan KPK menjelaskan secara terbuka kepada khalayak (publik), sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi publik, tentang sejumlah pertanyaan terkait wawasan kebangsaan, yang ramai dipersoalkan khalayak di media, dan dipandang sangat tendensius.
Kedua, selaras dengan hal itu, meminta Pimpinan KPK untuk secara terbuka menjelaskan dan mengklarifikasi tentang pertanyaan-pertanyaan yang dinilai cenderung bias agama, bias rasisme, diskriminatif, dan seksis. Antara lain, tentang hasrat seksual, poligami dan berbagai hal lain yang cenderung berlebihan.
Bila hal ini sungguh ada dan terjadi dalam proses teknis test alih status kepegawaian itu, FORHATI mengecam keras hal tersebut.
Ketiga, hendaknya persoalan-persoalan teknis test alih status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara, tidak menjadi alasan atau alat untuk melemahkan KPK sebagai institusi peberantasan rasuah (korupsi). Apalagi, selama 16 tahun para pegawai, khususnya penyidik senior KPK yang telah membuktikan kemauan dan kemampuannya melaksanakan komitmen nyata pemberantasan korupsi sebagai aksi nyata menjaga keselamatan negara dari praktik-praktik kejahatan yang dapat melemahkan negara.
Keempat, apabila pertanyaan test yang sangat teknis dan jauh dari substansi upaya penguatan KPK secara kelembagaan, benar terjadi seperti informasi yang berkembang di media, hal tersebut akan menjadi pembenaran atas asumsi yang berkembang di masyarakat selama ini. Yaitu Pasal 24 Undang Undang No.19 Tahun 2019 tentang KPK yang menegaskan bahwa status kepegawaian lembaga harus aparatur sipil negara (ASN).
Status ini, menurut MN FORHATI, akan mengganggu independensi KPK tidak lagi sebagai lembaga negara, melainkan lembaga pemerintah atau merupakan subordinasi pemerintah.
Kelima, FORHATI mengingatkan seluruh pimpinan KPK untuk menjunjung tinggi martabat kaum perempuan sebagaimana menjunjung tinggi ibu, istri, dan anak, dan mampu membuktikan bahwa lembaga ini mempunyai komitmen kuat tentang pemuliaan kaum perempuan secara nyata dan konsekuen.
Keenam, FORHATI meminta Pimpinan KPK selalu konsisten dan konsekuen dalam mengemban amanah memimpin lembaga anti korupsi ini, untuk bersiteguh dengan kebenaran dan sungguh mengabdi kepada rakyat dan bangsa.
Surat pernyataan enam point itu diteken Kordinator Presidium Majelis Nasional FORHATI Hj Hanifah Husein dan Wakil Sekjen Aguswanti L, SH MH tanggal 10 Mei 2021. (lms)
Komentar