By Danke Soe Priatna
SANG Badut kembali tertawa, Tangannya berulang kali meraih dan melempar bingkisan bingkisan yang sudah dipersiapkan ke tengah kerumunan.
Tawanya bertambah lebar, saat melihat rakyat berdesakan dan berhimpitan berebut saweran yang ia lemparkan.
Kerumunan??
Bukan!
Kerumunan itu hanya istilah yang bisa diterapkan buat rakyat oposan.
Buat rakyat jelata yang tidak punya kuasa.
Buat mereka yang tidak bermahkota.
Sementara untuk para badut dan curut.
Mereka bisa berdalih dan bermain dengan alibi.
Ini tugas negeri.
Maka pandemi akan paham dan mengerti.
Mana rakyat, mana priyayi. Mereka pandai mensiasati dan mengakali.
Jangan harap para badut meminta maaf dan mengaku salah, apalagi sampai ditangkap dan dibui.
Hukum dan aturan adalah bahan candaan saat sarapan. Keadilan adalah bahan tertawaan saat makan siang.
Dan menepati janji adalah materi komedi di malam hari.
Sementara dari dalam istana, para ponggawa sibuk menyusun kata, bermain phrasa. Mencari pembenaran atas ketololan. Mencari strategi untuk membelokan asumsi. Dan melepas anjing anjing penjaga agar menyalak dengan galak. Agar sang Tuan bebas dari tuduhan.
Badut, walau bermahkota raja.
Tetap saja tidak ada wibawa.
Dan tetap saja jadi sumber kblinger.
Jangan salahkan rakyat jika nanti tidak peduli lagi apa itu pandemi. Jangan salahkan rakyat jika nanti lalai dan abai.
Karena mereka mencontoh dan meniru apa lakumu.
Pakailah Mahkota itu selagi bisa.
Peluk dan dekaplah selama masih ada.
Namun, satu yang perlu kau ingat.
Bahwa kamu tidak layak dan tidak pantas mengenakanya.
Untukmu cukupkah riasan wajah dan topeng penutup wajahmu yang asli.
The Crowned Clown.
Put down the Crown….
Komentar