TILIK.id, Jakarta — Pembunuhan enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 di Km 50 Tol Cikampek diyakini sebagai pelanggaran berat. Pelanggaran HAM berat ini mestinya ditindaklanjuti pada proses hukum yang serius dan adil.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam Laskar FPI menyatakan akan
melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan warga sipil (Laskar FPI) terungkap jelas dan pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku.
TP3 menyatakan hal itu dalam pernyataan sikap yang disampaikan dalam jumpa pers Kamis (21/1/2021). Hadir memberikan keterangan Prof. Dr. Muhammad Amien Rais, KH. Dr. Abdullah Hehamahua, Dr. Busyro Muqoddas, KH. Dr. Muhyidin Djunaedi, Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Firdaus Syam, Dr. Abdul Chair Ramadhan, Habib Muhsin Al-Attas, Lc., Hj. Neno Warisman, Edy Mulyadi, Rizal Fadillah, SH, MH, HM Mursalim R, Dr. Bukhori Muslim, Dr. Syamsul Balda, Dr. Taufik Hidayat, Dr. HM Gamari Sutrisno, MPS, Ir. Candra Kurnia, dan Adi Prayitno, SH.
“TP3 melakukan langkah-langkah advokasi setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh Pemerintah dan Komnas HAM, yang kami nilai jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan,” kata Marwan Batubara dalam jumpa pers di Jakarta tersebut.
Dikatakan, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam orang laskar FPI tewas dalam baku tembak, karena mereka melakukan penyerangan terhadap jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).
Belakangan pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua laskar FPI tewas dalam baku tembak dan empat lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil.
Dari kompilasi infomasi yang dilakukan, kata Marwan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak.
“TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing,” kata Marwan Batubara.
Tindakan brutal aparat polisi ini, menurutnya, merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan yang berlaku.
Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait. TP3 menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan.
“Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut,” kata Marwan.
Karena itu, TP3 menyatakan bahwa pembunuhan enam laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa, dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM. Kami dari TP3 dengan ini menyatakan bahwa tindakan aparat adalah kejahatan kemanusiaan.
Negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan atau Crime Against Humanity.
Tim pengawal memandang, pembunuhan enam laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang no. 5 tahun 1998.
“Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2000.
TP3 menilai penyerangan sistematis terhadap warga sipil enam Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik,” kata Marwan dalam pernyataan sikap PT3.
Sampai saat ini, kata Marwan lagi, negara belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan iti dan 6 tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka.
“Bagi kami, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” ungkapnya. (lms)
Komentar