Bang Sém
TERLALU banyak ilmu dipelajari dan membuat banyak sekali orang menjadi hebat atau merasa hebat, termasuk dalam mengemas diri laksana kitsch, barang kelontong yang branded.
Ilmu penghetahuan umum dan ilmu agama ramai dipelajari tapi berhenti sekadar jadi pengetahuan dan tidak praktikal, aplikatif dalam tata kehidupan sehari-hari.
Di berbagai lapangan kehidupan, akhlak hanya menjadi aksesoris. belakangan, malah berhenti hanya sebagai jargon, meskipun diformulasi dengan beragam metode sosialisasi.
Berbeda dengan Jepun, misalnya, berbagai hal terkait dengan akhlak maupun pekerti, belum sampai ke dasar ilmu yang sesungguhnya: ilmu tahu diri.
Guru Besar Ilmu Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Endang Caturwati bicara pada saya. Menurutnya, ketika akhlak dan pekerti berhenti hanya sebagai pengetahuan dan bukan basis pendidikan, daya tularnya pada perilaku menjadi rendah.
Di Jepun, seperti yang saya amati, pendidikan akhlak atau pekerti sebagaimana halnya sejarah, berada di dalam basis – pondasi keilmuan.
Pada tingkat primer, pendidikan sejarah dan pekerti terintegrasi dalam persentuhan awal anak didik dengan proses belajar mengajar. Mulai dari menghargai waktu, mengenali peta lingkungan, titik kumpul bertemu dan berpisah, berbaris, antre, etika berkomitmen dalam grup kecil mereka, sampai, menyeberang jalan, bagaimana berbagi fungsi dan tanggungjawab. Selama proses pendidikan dasar, nilai budaya menjadi sangat penting, termasuk penanaman nilai-nilai dasar budaya dalam bentuk tradisi, tak terkecuali ritus.
Setiap siswa beroleh pemahaman yang kuat tentang kearifan dan kecerdasan lokal bangsanya. Kesemua itu mengacu pada pencapaian ilmu yang tak dipelajari dalam bentuk teori, karena dipraktikan langsung, yakni ilmu tahu diri.
Dengan ilmu tahu diri, itulah setiap orang sejak awal mengenali fungsi dan peran dirinya, tanpa berjarak dengan pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan cepat.
Ketika modernitas menawarkan berbagai ilmu pengetahuan yang datang dari luar (sosialisme mondial dan kapitalisme global, misalnya) yang terjadi adalah interaksi nilai budaya dengan sains dan teknologi, karena keduanya mesti berjalan beriringan dan seiringan.
Menurut Endang Caturwati, Indonesia sangat kaya dengan kearifan dan kecerdasan lokal, namun mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan formal, lebih memberi bobot pada formulasi. Bukan pemahaman dasar. Umpamanya penggunaan bahasa dalam pola komunikasi domestik dan sosial, unggah ungguh, makna filosofis, dan makna praktisnya.
Akibat terjadinya split dalam proses pendidikan, itu seringkali kita melihat hal-hal lucu dan aneh dilakukan oleh petinggi negeri. Salah satunya, kebiasaan ‘lempar kambing,’ atau melemparkan masalah kepada orang lain.
Sebutlah sebagai amsal, turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia, beberapa waktu lalu. Menteri Koordinator Ekonomi, dengan mudah dan tanpa pikir panjang, menuding keputusan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi pemicunya. Padahal naik turun merupakan sesuatu yang biasa terjadi, dan banyak faktor yang mempengaruhinya.
Pun demikian halnya dengan kasus pelaksanaan bantuan sosial bagi masyarakat terdampak pandemi, yang ternyata, belakangan terkuak terjadi kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial sendiri.
Belakangan, ketika pejabat Menteri Sosial diganti, setali tiga uang. Yang diurus bukan melakukan review untuk terkait fraud dan jejaring organisasi Kementerian Sosial yang telah menyebabkan terjadi korupsi di level menteri, melainkan aksi menggelikan, black commedy, mengurusi ‘gelandangan’ di bulevard Jakarta, sampai janji memberi KTP massal kepada gelandangan. Gelandangan berdasi yang sebelumnya terkait dengan tindak korupsi di kementerian itu, luput dari perhatian.
Ketidakmampuan mempelajari dan ketidakmauan mempraktikan ilmu tahu diri, akan menimbulkan banyak laku salah kaprah petinggi negeri, yang langsung tak langsung menjadi tontonan menggelikan bagi rakyat.
Inilah kemudian yang menyebabkan bangsa ini, bergerak tidak maju ke depan, melainkan mundur ke belakang, seperti undur-undur. |
Komentar