by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
PENAHANAN HRS memicu gejolak di berbagai daerah: Aceh, Pelembang, Kalimantan Barat, Samarinda, NTB dan, tentu saja Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, Malang, juga Madura. Rakyat Bergerak menuju markas Polisi, menuntut: pengungkapan kebenaran atas pembunuhan secara keji terhadap 6 orang anggota laskar FPI dan, pembebasan HRS.
Massa rakyat berencana menggelar aksi 1812 di sekitar Istana. Pengalaman sebelumnya, 212, menyedot jutaan manusia. Jakarta bakal kembali dimeriahkan kerumunan akbar. Banyak orang mungkin berpikir: lebih baik mati menjaga kebenaran, daripada mati merana diserang Corona. Akankah berakhir hanya dengan do’a bersama?
Terhadap aneka persoalan yang merundung negeri ini, nampak jelas, anak bangsa sudah berpisah jalan. Sebagaian besar (?) memandang sebagai persoalan serius, menyangkut hajat hidup bangsa: kemanusiaan, keadilan, … Sebagaian lainnya, menyederhanakan sebagai persoalan kelompok dan figur yang ditempeli label: radikal.
Isu Negara Hukum mengemuka. Penolakan Presiden terhadap desakan publik yang menuntut pembentukan Tim Independen Pencari Fakta atas tragedi Tol Cikampek, diawali dengan menegaskan: Indonesia sebagai Negara Hukum. Telah mengatur sedemikian rupa tatacara menyelesaikan persoalan secara hukum. Tidak puas ada Komnas HAM). Penegasan yang terdengar tak culas. Itulah salah satu hasil amandemen UUD 45.
Di negara apakah pembunuhan oleh polisi itu terjadi? Kiranya, tak perlu perenungan yang mendalam, untuk sampai pada pemahaman: Rakyat Bergerak di berbagai daerah, sesungguhnya hendak membongkar inkonsistensi Negara Hukum, dengan menegaskan: Hukum bukan milik penguasa yang dapat digunkan sekehendak hati. Bila hukum diperlakukan seperti itu, jelas, mendemonstrasikan ketidakadilan. Sisi logis tak terhindarkan dari kesewenang-wenangan.
Rakyat bergerak sesungguhnya menegaskan pesan mendasar: pembunuhan secara keji bukan hanya urusan FPI, tapi urusan kemanusiaan. Setiap manusia yang masih sehat kemanusiaannya, pasti peduli. Tak beradab bila soal itu direduksi dengan menyematkan stigma radikal. Negara Hukum tak selayaknya berperangai, menunjukkan kebencian politik kepada sekelompok warga dalam naungan hukumnya.
Stigmatisasi itu dikuatkan, setelah FPI menjadi korban pembunuhuan. Ikhtiar keji melegitimasi kekejian. Tidakkah mereka tahu: tak ada yang lebih radikal dari FPI ketika membantu menangani puluhan ribu mayat korban tsunami.
Lalu, dilantunkan dengan sebait pantun:
Jalan-jalan ke kota Kendal. Jangan lupa membeli roti. Jangan-jangan memang Dajjal. Pelaku pembunuhan secara keji. Tak pelak, reduksi dan stigmatisasi itu memang akibat dari defisit moral kronis.
Begitu juga soal penahanan HRS. Moralitas rendah mereduksi soal itu menjadi urusan kelompok umat tertentu. Urusan Habib, FPI, subkutur keturunan Arab. Rakyat Bergerak karena memang wajib mengingatkan: tak patut, Negara Hukum, memerlakukan hukum secara serampangan, menciderai kebenaran dan keadilan.
Rakyat Bergerak pada dasarnya, mengidealisasi persoalan-persoalan yang sedang dialami bangsa ini: terancamnya kemanusiaan, keadilan, dan bangkrutnnya Negara Hukum. Semua itu memang berujung pangkal pada kekuasaan. Karena itu, Rakyat Bergerak harus dipandang sebagai upaya moral tinggi untuk mencegah kekuasaan yang seleweng dalam memerlakukan hukum.
Rakyat Bergerak sesungguhnya pertanda baik. Menunjukkan bangsa ini masih memiliki kehendak hidup sebagai bangsa bermartabat. Bukan semata-mata karena faktor kehebatan HRS. Tapi, rakyat merasakan kesewenangan, ketidakadilan yang nyata.
Memaksakan reduksi dan stigmatisasi melalui semua jalan yang berujung fitnah, potensial menjadi investasi yang terpatri kuat dalam ingatan laku tidak yang akan menjadi referensi anak bangsa dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di masa depan.
Rakyat Bergerak menunjukkan penghayatan atas Negara Hukum yang bertolak belakang antara rakyat dan penguasa. Sejarah memang bunga rampai pertikaian penguasa melawan rakyat. Dan, dalam soal keadilan, kemanusiaan, yang menjadi isu pokok Negara Hukum, tak ada catatan dalam sejarah: rakyat salah. Karena itu, tak ada catatan: rakyat kalah.
Selebihnya, terserah penguasa. Bola dalam kangkangan mereka.
Komentar