Kakuatan Rakyat Sangat Besar, Tapi Tidak Punya Siasat

TILIK.id, Jakarta — Siituasi bangsa Indonesia saat ini sudah berada di titik nadir. Tidak terlihat lagi ada upaya perbaikan. Demokrasi tak lebih dari sekadar demokrasi prosedural, hukum tidak jalan, ekonomi mandek. Rakyat akhirnya menjadi susah karena pengelolaan negara.

Upaya perbaikan itu tidak lagi bisa mengandalkan pemerintahan saat ini, karena sangat dirasakan lemahnya sebuah kepemimpinan. Negara tidak lagi hadir sebagai pembawa persatuan, tapi justru menciptakan kegaduhan.

Aparat juga tak lagi berdiri di senua golongan, tapi menjadi partisaan dan musuh bagi golongan yang menginginkan perubahan. Diyakini perubahan bisa terjadi melalui gerakan sivil society.

Sayangnya gerakan masyarakat sipil yang mayoritas Islam tidak dikelola dengan baik. Bahkan begitu cepat dipatahkan. Kepemimpinan informal tumbuh kuat, namun lagi-lagi dengan capatnya ditebas.

Habib Rizieq Shihab yang sangat fenomenal menjadi harapan umat Islam. Sayangnya pula keleluasan geraknya langsung dipotong oleh rezim melalui penggunaan seluruh perangkat kekuasaan. Mengapa bisa terjadi?

Perkumpulan Usaha Memajukan Anakbangsa (UMA) mencoba mengkaji dalam diskusi terbatas secara daring yang digelar Sabtu malam (12/12/2020). Tampil pembicara N Syamsuddin Ch Haesy, mantan anggota DPR dan bupati Sofyan Mile, mantan menteri Ferry M Baldan, Ketua METI Surya Darma, Djabir Mawardi, Tigor Sihite, Lilik Muflihun, Ade Adam Noch. dan lainnya.

Dalam pengantarnya, Ir Tigor Sihite sebagai host mengatakan situasi sekarang sama dengan di Amerika Serikat. Amerika adalah negara yang penduduknya juga besar.

“Penduduknya bisa sangat maju tetapi sebetulnya bisa juga masyarakatnya sangat terkebelakang. Donald Trump yang sudah kalah kayak begitu bisa menggugat sesuatu, dan semua diikuti oleh anggota Partai Depublik,” ujarnya.

BACA JUGA :  Ini Pesan Koordinator Presidium MN FORHATI Memasuki Bulan Ramadhan 1441 H

Di sana, menurut Tigor Sihite, sistemnya jalan, pengadilannya bisa jalan. Misalnya hari ini pengadilan bisa menolak gugatan Trump.

“Amerika ada kesanaan dalam demokrasi di Indonesia. Tapi di sini yang tidak jalan itu adalah peradilannya. Itu bedanya,” kata Tigor Sihite.

Narasumber Sofhian Mile mengatakan, dalam kesendiriannya dia selalu tergelitik melihat situasi beberapa pekan terakhir ini. Selalu muncul pertanyaan pertanyaan besar. Apakah bangsa ini sesuai dengan skenario yang dijalankan oleh tangan besi yang ada di belakang ini?

Sofhian tidak menjelaskan siapa tangan besi yang dimaksud. Namun mantan Bupati ini kembali tergelitik dengan pertanyaan, apakah tangan besi menghancurkan semua planning yang diatur oleh negara atau apa yang diakui oleh sistem demokrasi kita, sehingga berjalan sesuai dengan kehendak skenario yang berada di belakangnya?

“Untuk menjawab ini semua, bisa dirasakan oleh protes yang muncul dari kelompok FPI. Mereka berani menyuarakan kebenaran dan keadilan, meskipun kita pun ada masih ragu untuk memberikan dukungan politik,” kata Sofhian Mile.

Dalam banyak hal, kita sependapat dengan apa yang dilakukan FPI. Terlepas daripada cara dan metoda yang mereka jalankan, kita sependapat keadilan betul-betul adil, agar pemimpin betul-betul bisa mendengarkan aspirasi yang ada di masyarakat.

Sofhian menegaskan siapa pun yang memulai gerakan perubahan dan darimanapun mereka memulai, haruslah dengan sikap dan cara-cara yang taktis dan strategis.

BACA JUGA :  Hadapi Debat, Begini Persiapan Pasangan Anies-Muhaimin

“Sikap sikap yang tidak taktis dan strategis itu akan merugikan kita semua walaupun dengan setinggi-tingginya pengetahuan, sepintar-pintar siasat,” ujarnya

Namun lepas dari itu, Sofhian Mile memberi pandangan terhadap apa yang terjadi saat ini. Terkadang upaya untuk melakukan perubahan tidak bersiasat. Masuk ke ruang politik praktis akan tetapi selalu tanpa siasat.

“Saya melihat banyak kelemahan-kelemahan terutama dari kelompok pemikir atau organisasi Islam yang tidak bersiasat. Mudah sekali dipukul mundur dan ketahuan kekuatan yang ada di dalamnya,” ujarnya.

“Kita sejauh ini tidak menyembunyikan kekuatan yang sesungguhnya. Dalam politik kita harus menyembunyikan kekuatan itu, menyembunyikan seberapa besar amunisi yang kita miliki,” kata senior Partai Golkar ini.

Dia menjelaskan, yang harus diketahui adalah kekuatan lawan, dan amunisi lawan. Ini kelemahan kelemahan dasar yang dimiliki. Semangat yang besar pengetahuan yang cukup, bahkan menjadi kekuatan besar tapi tidak punya siasat.

“Dalam hal seperti saat ini, saya menggarisbawahi bahwa ini perlu siasat. Apa yang ada sekarang ini masih panjang ujungnya. Jangan melihat akan ada penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab,” katanya.

Menurut Sofhian Mile, banyak orang yang punya kepentingan, misalnya untuk berinvestasi, kepentingan untuk adanya perubahan baik dalam negeri maupun di luar negeri.

“Oleh karena itu dalam persoalan ini saya ingin menyebut pemerintahan di level midle sekarang dinamakan politics clown. Jadi badut-badut politik yang memang dilepas. Jadi mereka bukan pemain yang mengatur strategi dan seterusnya,” katanya.

BACA JUGA :  Fadli Zon: Kapolda Harus Bertanggung Jawab, IPW: Copot Kapolri dan Kabaintel

Mereka hanya melaksanakan dan tidak ada langkah langkah strategi. Mereka hanya ibarat main catur satu dua langkah. Langkah ketiga dan kempat dia akan bingung. Ini yang terjadi di lapangan.

“Yang ingin saya tekankan, seperti apa yang akan dilakukan? Paling tidak ada rencana umum dalam forum untuk merumuskan langkah-langkah. Meskipun tidak sempurna, mestinya ada referensi yang cukup untuk melangkah,” katanya.

N Syamsuddin Ch Haesy dalam paparannya mengatakan sepakat bahwa bangsa ini banyak masalah. Upaya-upaya perbaikan dan peran kelompok kritis selalu mentok saat berbadapan dengan kekuasaan.

Dalam sebulan terakhir, gerakan perlawanan kandas. Tokoh-tokoh KAMI ditangkap, dibungkam dengan UU ITE. Terakhir adalah terjadi penembakan dan penahanan Rizieq Shihab.

“Ada dua hal yang terjadi menurut saya. Pada kasus penembakan terjadi reaksi luar biasa. Akan tetapi reaksi itu tidak ada yang mengelola. Reaksi dunia internasional misalnya tidak ada yang tindak lanjut. Begitu juga dengan Komnas HAM dan Amnesti internasional, Kontras, YLBHI,” ujar Syamsuddin Haesy.

Mereka, menurut Bang Sem, panggilan akrabnya, memiliki keterbatasan-keterbatasan luar biasa, karena ada resesi ekonomi, pandemi, sehingga langkahnya mulai melambat.

“Lalu harus melakukan apa? Ada satu saja menurut saya. Di tengah kekosongan intelektual Islam, di tengah kekosongan orrmas Islam mengambil sikap tegas, perlu kita membangun kesadaran untuk memiliki responsibility terhadap umat,” katanya. (bersambung)

Komentar