STATE TERRORISM

by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

ROBESPIERRE dibantu para Deputi Montagnard, membentuk Komite Keamanan Umum. Lantas, menerapkan hukum Draconian: memenjarakan, mengeksekusi, tanpa banyak cing-cong, siapa saja yang dicap penentang revolusi. Masa itu kemudian dikenal sebagai Reign of terror.

Para bangsawan, pendeta, dan kaun borjuis Perancis menjadi sasaran aksi teror Komite. Tapi, secara absolut, kata Theda Skocpol, yang terkena ‘peraturan’ Komite kebanyakan petani dan kaum miskin perkotaan, pendukung getol revolusi.

Kita juga diperkenalkan dengan teror: Bom Bali, … , Selebihnya, ada saja, aksi teror kecil-kecilan, sekalipun tetap mengagetkan. Karena, melibatkan unsur bom dan gereja. Pelakunya selalu tewas seketika. Ideologi teror sejauh itu, didominasi sejenis ‘perang suci’. Teror dilakukan dengan keyakinan semata-mata membela Tuhan. Sang pelaku yakin telah mendapat mandat suci untuk mengemban tugas itu.

Tapi juga kerap terjadi, teror sebagai alat politik. Seperti yang dicontohkan Robespiere. Dilakukan kelompok tertentu atas nama ideologi atau, kepentingan negara seturut tafsir dan kebutuhan rejim. Maka, teror seringkali bertalian dengan politik. Bisa juga untuk kepentingan tertentu: politik, ekonomi, ….. dari sekelompok orang yang berkompeten, yang berbincang-bincang di sebuah ruangan berhawa sejuk. Teror perkara lazim bagi gerakan komunis, karena memang menjadi metode perjuangannya.

BACA JUGA :  Puluhan Poster Sang Habib Kini Terbentang Dimana-mana

Reign of terror, pemerintahan teror, kemudian berkembang menjadi state terrorism, salah satu cabang kajian terkait ilmu politik, sejarah, juga hukum internasional. Para pakar tentu memperdebatkan hal itu dalam pembahasan akademis. Terorisme layak disandangkan hanya untuk pelaku di luar negara, katanya.

State Terorism dipahami sebagai tindak kekerasan yang dijalankan negara atau pemerintah dan, agen-agen serta sekutunya (Chomsky), pemerintah atau agen-agen kuasi pemerintah melawan ancaman yang diyakini ada, baik dari dalam maupun luar negeri (Martin). Terlepas dari kerumitan akademik, di dunia nyata, tak diragukan lagi, teror memang kerap menjadi alat yang digunakan negara melawan rakyatnya.

Mengapa? Because terror, not merely death. Kata John Rees. Teror memang bukan sekedar membikin mampus. Tapi, policy menciptakan kengerian yang mencekam. Kengerian membuat manusia mudah copot akal sehatnya: syarat untuk menciptakan ketakutan dan kepatuhan kolektif. Hal yang paling didamba setiap rejim otoriter.

Tapi, cara yang dilakukan rejim otoriter, tak selalu menggunakan kekerasan secara sistematis. Seperti dicontohkan Orde Baru. Pembubuhan kode OT pada KTP, wajib lapor, penelitian khusus (Litsus) bagi oang-orang eks PKI dan anak cucunya, dicap sebagai bentuk teror negara oleh kaum kritis, apalagi yang ke-kiri-kirian waktu itu.

BACA JUGA :  Munarman Tuding Penguasa Sedang Mengendalikan Opini Rakyat

Teror yang dilakukan melalui metode kekerasan, tentu panjang catatannya. Target sasarannya hampir selalu orang Islam. Tragedi: Warsidi di Lampung, Tanjung Priuk, … Juga ada Petrus (Penembak Misterius) dalihnya untuk menghabisi preman.

Segera setelah Orba bubar, muncul pembunuhan tukang santet yang ramai di wilayah tapal kuda Jawa Timur. Teror: socialization of danger, kata Townshend. Pesan pokoknya beragam. Salah satunya: jangan macam-macam melawan penguasa.

Sosialisasi itu bisa dilakukan dengan aneka cara dan sarana. Wabah bisa juga didayagunakan sebagai sarana. Dalam konteks perang disebut senjata biologis. Pelakunya: virus. Belakangan sering muncul kabar imam masjid dianiaya. Pelakunya selalu orang yang terganggu jiwanya.

Orang mati memang selalu ada dalam jumlah banyak. Tak peduli jaman atau orde. Tentu dengan kekhasannya masing-masing. Pemilu Orba sering menghasilkan korban yang mati ditembak. Pemilu lalu juga, lantaran kelelahan.

Pasukan khusus yang melakukan operasi di Petamburan, menyerupai kegiatan sosialisasi dengan pesan pokok: jangan main-main dengan baliho. Lalu, enam anak muda, anggota FPI, dihadang di mulut tol. Ketika ditemukan, sudah tak bernyawa. Mereka dibantai! Kata Munarman, Sekretaris Umum FPI.

BACA JUGA :  Fenomena HRS, JK Sebut Akibat Kekosongan Kepemimpinan Aspiratif

Apakah itu metode menyampaikan pesan kengerian? Upaya sistematis mencekamkan ketakutan umum? Tidak ditujukan kepada: MIT, Papua Barat, koruptor level menteri? State terrorism menjawab dengan benar semua pertanyaan itu.

Komentar