Oleh: Basyir Al-Haddad
(Pemerhati Indonesia)
KETIKA dihadapkan pada kehidupan politik yang semerawut, masyarakat yang terbelah, hidup yang makin sulit, kita teringat Pak Harto. Lepas dengan semua kekurangan dan kelemahannya, di zaman Orde Baru, semuanya relatif stabil.
Di masa Orde Baru, gak ada preman, atau ormas berbaju preman yang dipakai oleh penguasa untuk menggebuk lawan-lawan politik, atau kelompok kritis. Keamanan relatif stabil karena negara tidak menggunakan jasa preman. Baik preman darat maupun preman udara yang disebut buzzer medsos. Banyaknya preman yang diberi ruang bernarasi atas nama Pancasila dan NKRI justru semakin membuat gaduh keadaan.
Masa Orde Baru, ketahanan dan kedaulatan pangan betul-betul dijaga. Nasib petani selalu menjadi perhatian serius Presiden. Hampir setiap hari Presiden nanya ke bagian rumah tangganya: berapa harga beras, harga cabe, sampai harga bawang dan harga garam. Semua dikontrol agar petani tidak menjadi korban para tengkulak dan importir.
Saat ini, impor kebutuhan pokok ugal-ugalan. Beras, gula, kedelai, bawang, cabe, bahkan garam dan sayuranpun impor. Ini tak masalah selama jumlah yang diimpor disesuaikan dengan kebutuhan rakyat setelah menghitung hasil panen petani. Berapa kebutuhan rakyat, lalu dikurangi hasil panen, disitulah penerintah impor.
Tapi, kalau panen petani mencukupi, kenapa harus impor? Kalau kebutuhan rakyat 1 juta ton, kenapa harus impor 150 juta ton? Petani akan mampus. Sebab, hasil panen petani gak terbeli. Bisa dibeli tapi dengan harga sangat murah. Untuk mengembalikan modal saja gak cukup.
Ketahanan pangan menjadi masalah ketika impor dijadikan project balas budi terhadap para donatur yang menyumbang logistik saat pemilu. Di situ para timses dan partai pendukung ikut ambil jatah.
Soal demokrasi, Pak Harto distigmakan sebagai pemimpin otoriter. Menggunakan tentara untuk menjaga stabilitas keamanan dan politik. Meski begitu, di zaman Orde Baru, tentara gak masuk kampus. Apalagi polisi. Pak Harto berprinsip bahwa kampus adalah tempat bersemainya generasi bangsa. Di kampus inilah masa depan bangsa akan ditentukan. Kalau kampus sudah rusak, maka masa depan bangsa juga akan rusak. Membonsai mahasiswa sama saja merusak benih yang disiapkan untuk masa depan bangsa.
Dulu, satu mahasiswa terluka atau ditahan aparat, kampus ramai. Masyarakat hingga dunia internasional bicara. Kematian sejumlah mahasiswa Trisakti berakibat Orde Baru tumbang. Saat ini, entah sudah berapa nyawa mahasiswa jadi korban. Yang terluka, ditahan dan hilang, entah berapa jumlahnya. Hampir 1.000 petugas pemilu yang mati pun sudah dilupakan.
Saat ini, rektor dipilih dan ditentukan oleh menteri. Senat hanya mengusulkan sejumlah nama. Siapa yang akan jadi rektor, tangan menteri yang akan memilih. Gak peduli seorang calon rektor itu mendapat dukungan paling sedikit di senat. Menteri mau, kepilihlah dia.
Nah, menteri pasti akan memilih calon yang loyal dan bisa dikendalikan. Siapapun dia. Dan di tangan rektor, para dekan dipilih. Senat fakultas tak punya hak lagi. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kampus sangat terkendali. Mahasiswa dan semua sivitas akademika terkendali. Jangan heran kalau ada rektor meminta para mahasiswa baru menandatangani pakta integritas yang salah satu isinya tentang kesediaan mahasiswa untuk tidak ikut berpolitik.
Pers di zaman Orde Baru memang dibatasi. Tapi tidak ditekan habis, sehingga harus seragam pemberitaannya. Media, terutama media mainstream, sekarang tiarap. Colak colek penguasa, ijin usahanya bisa dicabut. Kasus pajak bisa terungkap.
Indonesia menganut politik bebas aktif. Pak Harto masih cukup berwibawa di setiap pertemuan global. Indonesia punya identitas dan jati diri di mata dunia internasional. Ini bukti bahwa kedaulatan negara terjaga. Bandingkan dengan sekarang.
Soal pembangunan infrastruktur, ada program Repelita. Semua terencana dan terukur. Tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, kebutuhan masyarakat dan efek pertumbuhan ekonominya di setiap perencanaan pembangunan. Tidak ngasal dan mengumbar nafsu.
Kata temen saya yang pernah jadi menteri: “dua project yang potensi korupsinya paling gede dan relatif tidak ketahuan yaitu di migas dan di pembangunan infrastruktur”.
Korupsi? Jika di zaman Orde Baru korupsi terbatas di elite, sekarang korupsi dilakukan berjama’ah. Alias ramai-ramai dan kompak. Hampir di semua lini. Jika di masa Orde Baru korupsi sembunyi-sembunyi, saat ini korupsi terang-terangan.
Ada anekdot populer: “Di masa Orde Baru korupsi terjadi di bawah meja, saat ini mejanya pun ikut dikorupsi”.
Anekdot ini seolah mengklarifikasi adanya regulasi yang sengaja disiapkan untuk memperlancar korupsi. KPK dimatikan melalui revisi Undang-undang No 19 Tahun 2019. UU Minerba makin membuka peluang korupsi di dunia tambang. UU Ciptaker memberi ruang bagi korporasi menindas buruh dan menguasai kekayaan negara.
Situasi saat ini rakyat dipaksa untuk membandingkan antara masa Orde Baru dengan masa sekarang. Sebagian menganggap di masa Orde Baru kehidupan berbangsa lebih stabil dan tenang. Enak jamanku toh?
Jakarta, 4 Desember 2020
Komentar