by: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
MASA pandemi memberi ruang pemerintah, juga DPR untuk membuat UU kontroversial. Perppu Corona (No 1/2020) yang diperkuat dengan UU No 2/2020 telah memberi kebebasan untuk menggunakan anggaran 905 T tanpa bisa dituntut secara pidana, perdata dan TUN.
Selain UU Corona, lahir pula UU Minerba. Lagi-lagi, UU ini kontroversial. Sebab, sejumlah pasal dianggap berpotensi merugikan rakyat. Misal terkait kewenangan membuka lahan tambang dengan cara membakar hutan. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan banyak direpotkan oleh kebakaran lahan. Sekarang, UU Minerba justru membolehkannya.
Sempat juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) akan disahkan. RUU yang dicurigai berhaluan komunis ini akhirnya ditunda setelah mendapat penolakan masif, terutama dari MUI dan ratusan ormas Islam. Meski tetap ada ruang untuk dibahas kembali dan disahkan di kemudian hari. Sebab, RUU ini belum dicabut dari Prolegnas.
Terkini, ada UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski dianggap cacat formil dan materiil, tetap saja disahkan. Presiden pun menandatangani, meski draft UU itu masih bermasalah.
Mengapa sejumlah UU tersebut kontroversial? Terutama karena kelahirannya tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasan. Terkait masalah ini, pandemi corona selalu dijadikan alasan. Pembahasan dipercepat, nampak kerja kilat, lalu disahkan tergesa-gesa. Bahkan banyak anggota fraksi yang belum sempat membaca. Semoga Pak Presiden sudah baca sebelum beliau tanda tangan.
Segala bentuk protes yang melibatkan massa dilarang, setidaknya dihalang-halangi dan dihambat karena alasan pandemi. Melanggar protokol kesehatan, katanya. Klise! Karena penghadangan massa juga sering terjadi sebelum pandemi.
Akhir-akhir ini, PSBB diperketat. Kapolri bahkan mrmberhentikan dua Kapolda, yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat. Juga dua kapolres, yaitu kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Mereka dianggap tidak tegas terhadap adanya kerumunan. Kerumunan siapa? Masyarakat tahu jawabannya.
Mendagri juga memberi instruksi bahkan mengancam akan memecat kepala daerah yang membiarkan terjadinya kerumunan di wilayahnya.
Publik bertanya, mengapa mendadak semua pejabat bicara PSBB diperketat? Bukannya selama ini program “New Normal” yang dielu-elukan dan dipercaya sebagai malaikat penolong? Kepala daerah yang berupaya untuk menerapkan PSBB ketat dikritik dan diberi peringatan. Dianggap sok-sokan. Dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berupaya dinormalkan. Mengapa sekarang berbalik?
Anies Baswedan, Gubernur DKI yang dari awal konsen untuk usulkan karantina wilayah dan PSBB ketat, justru selalu menghadapi penolakan. Sekarang, ketika kerumunan terjadi dimana-mana, Anies justru dipanggil Polda Metro Jaya karena dicurigai membiarkan kerumunan.
Tidak saja panggilan Polda, bahkan Mendagri menyinggung soal pemecatan. Ngeri! Mendagri pun akhirnya mengeluarkan instruksi No 6 Tahun 2020 mengenai kewajiban kepala daerah menerapkan protokol kesehatan. Apakah instruksi ini bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah? Tidak! Urusan kepala daerah tetap mengacu pada UU No 23 Tahun 2014.
Dalam UU No 23/2020 tersebut, kepala daerah dipilih oleh rakyat, dan hanya rakyat yang bisa mencabut mandatnya. Bukan presiden, apalagi mendagri. Rakyatlah, melalui perwakilan di DPRD, yang bisa memberhentikan bupati, walikota dan gubernur. DPRD harus cukup alasan jika ingin melakukan impeachmen. Dan alasan itupun akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Di MA ini, kepala daerah diberi hak untuk melakukan pembelaan. Prosesnya panjang, dan bisa lebih dari setahun. Ayo… Pusing gak?
Presiden hanya bisa memberhentikan “sementara” kepala daerah kalau ada usulan dari DPRD dalam hal kepala daerah menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Terjerat kasus korupsi, terorisme atau makar misalnya. Namun, jika tak terbukti di pengadilan, presiden wajib mencabut SK pemberhentiannya itu. Jadi, gak bisa main instruksi aja dan ancam kepala daerah.
Publik membaca, semua ini akibat satu sebab. Apa itu? Kepulangan Habib Rizieq. Habib Rizieq dikhawatirkan akan terus melakukan konsolidasi massa. Ini sungguh terkesan sangat politis. Tapi pendekatannya seringkali menggunakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Karena, pendekatan hukum ini terbukti memang sangat ampuh dan efektif.
Fokusnya pada Habib Rizieq. Kerumunan apapun, asal tidak terkait Habib Rizieq, selama ini bebas, aman dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Parade Merah Putih di Banyumas, Ulang Tahun Ulama di Pekalongan, rombongan ke KPUD di Solo, pengajian dan walimahan di berbagai tempat, selama ini bebas. Giliran Habib Rizieq, aturan mulai diberlakukan. Bahkan sangat ketat. Semua yang terlibat dengan kerumunan massa di sekitar Habib Rizieq jadi pada was-was. Begitulah publik memotret situasi sekarang ini.
Selama ini, dengan dalih protokol kesehatan dan aturan PSBB, pemerintah punya alasan untuk kendalikan pengerahan massa. Kalau sifatnya hanya untuk menghindari kerumunan, ini baik dan memang harus dilakukan. Dengan catatan, pertama, ini harus berlaku untuk semua. Tanpa kecuali. Tidak tebang pilih. Mesti adil. Namun, jika ini hanya berlaku untuk mereka yang kontra dan kritis terhadap pemerintah, itu sama saja pembunuhan demokrasi.
Kedua, kewajiban menjalani protokol kesehatan tidak lantas boleh dimanfaatkan pemerintah, atau juga DPR untuk membuat aturan dan kebijakan tanpa melibatkan aspirasi rakyat.
Alasan bahwa rakyat gak boleh berkumpul karena pandemi, tapi banyak kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat, itu sama saja pembunuhan demokrasi dalam bentuk lain. Nampaknya, rakyat telah merasakan mati surinya demokrasi selama ini. Apalagi jika setiap aspirasi yang muncul harus berhadapan dengan ancaman pidana. Makin menakutkan.
Jangan sampai hukum yang semestinya dibuat untuk melindungi negara dan rakyat justru berubah fungsi jadi musuh demokrasi. Hal ini mesti segera dievaluasi. Jangan gara-gara pandemi, demokrasi mati, dan pemerintah membuat kebijakan semau hati.
Jakarta, 20 Nopember 2020
Komentar