by: Ludiro Prajoko
TAK ada yang merisaukan melebihi soal anak. Bima, sang jagoan Pandawa, mengaduk rasa bangga dan syukur. Anakku: hartaku, kekayaanku! Ada totalitas yang ditubuhkan dalam diri anak. Bima memang dikaruniai tiga putra yang digdaya.
Tapi, Tuhan mengingatkan: Sesungguhnya harta dan anak-anak itu fitnah. Acap kali melalaikan. Harta dan anak memang dua hal yang paling dihayati manusia. Untuknya, dunia seringkali menjadi semesta yang menyiksa.
Orangtua menggantungkan dunianya pada diri anak. Menumpukan jejak eksistensinya, juga gagasan keabadian dalam sejarah. Manusia memang ditakdirkan memiliki kebutuhan akan silsilah.
Setiap orangtua tak ingin anak-anaknya menderita. Selalu ingin anak-anaknya melebihi dirinya. Orangtua mencipta dunia, dan berpikir, tapi lebih sering memaksakan: itulah tempat yang indah untuk anak-anaknya.
Mungkin itu konsekuensi dari masyarakat beradab yang memulai kehidupan bersamanya sebagai petani. Sawah dan anak: dua faktor reproduksi sosial yang tak tergantikan. Menjamin kelanggengan masyarakat melalui mekanisme pewarisan. Ketika zaman berubah dan, kantor menggantikan sawah, pewarisan telah mapan sebagai mentalitas sosial.
Lalu, kekuasaan mengayunkannya sepenuh lintasan. Pewarisan berubah menjadi penakdiran. Hanya dalam kekuasaan itulah, seorang ayah-ibu, dapat menakdirkan nasib anak, lalu dimohonkan persetujuan Tuhan.
Kekuasaan, tampaknya, tak pernah lepas dari hasrat menitis, melanggengkan diri. Disini, politik: pergulatan ikhtiar menyusun takdir bagi anak, lelaki juga perempuan, melalui penunjukan dan pemilu.
Tapi, tidak bagi Mao. Kekuasaan cukup hanya untuk dirinya sendiri. Mao menikmati umur panjang, 83 tahun. Sepanjang hidupnya, ia membenci ayahnya, dan tak peduli kepada anak-anaknya. Jung Chang (2007) mengisahkannya secara detail, mengagumkan.
Ayahnya hanya ingin Mao tumbuh sebagai petani yang giat. Tapi, ia menolak. Umur 10 tahun Mao ditunangkan dengan seorang gadis 14 tahun. Empat tahun kemudian, pasangan itu dinikahkan. Aku tidak menganggap dia istriku. Aku tak peduli padanya. Kata Mao kepada Edgar Snow. Kelak, Mao mengecam: sepanjang waktu dan secara tidak langsung, para orangtua di China memperkosa anak-anak mereka. Mao menjuluki para orangtua: Liga Pemerkosa Anak.
Mao jatuh cinta kepada buku. Membaca sampai larut malam, tidur sampai siang. Obsesinya: melanjutkan sekolah. Ayahnya, petani yang nyaris tak henti bekerja, jengkel. Mao kerap dipukul. Suatu ketika, dihadapan para tamu, sang ayah memakinya: pemalas tak berguna. Mao marah, balik memaki. Lalu, minggat.
Tapi ayahnya tetap membiayai pendidikannya, seraya meminta Mao magang di sebuah toko beras, dengan harapan, agar terampil mengurus pembukuan keuangan keluarga. Tentu Mao menolak dan, pergi jauh, menuju sebuah sekolah moderen, dimana ia memeroleh pelajaran musik dan bacaan tentang Napoleon, juga Lincoln.
Mao berkelahi sampai akhir dengan ayahnya. Ketika ia berkuasa, dan sedang gencar menghabisi musuh-musuh politiknya, ia menggerutu kepada juru siksa: senadainya bisa, aku ingin ayahku disiksa, tubuhnya harus dibuat seperti pesawat jet.
Menjelang meninggal, Yi-chang, sang ayah, ingin melihat wajah putra sulungnya. Tapi, Mao tak sudi datang menjenguk. Ia sama sekali tak sedih ayahnya meninggal.
Mao juga tak menggubris anak-anaknya. Kekuasaan keluar dari laras senapan, katanya. Lalu, pamit, memulai pemberontakan. Kai-hui, istri kedua, yang memberinya 3 orang putra, rela melepas. Kai terlalu mencintainya: Ia (Mao) amat beruntung karena memperoleh cintaku. Aku benar-benar amat sangat mencintainya.
Empat bulan setelah itu, Mao menikahi Gui-yuan, istri ketiganya. Sekali saja Mao mengirim surat kepada Kai, mengabarkan kakinya yang bermasalah. Setelah itu, Mao mengabaikannya, juga anak-anaknya.
Kai hanya hidup 29 tahun. Ia dieksekusi kaum nasionalis. Mao tak pernah berusaha menyelamatkan Kai dan anak-anaknya. Kai tak mati sekali berondong. Beberapa jam kemudian, regu tembak kembali memberondong tubuhnya. Jemari kaki Kai menancap dalam tanah, menahan ajal.
Kai meninggalkan memoar yang merekam penderitaan, kekecewaan, dan kepahitan lantaran Mao menelantarkan anak-anaknya. Cinta seorang ayah benar-benar sebuah teka-teki. Tidakkah ia merindukan anak-anaknya? Aku tidak dapat memahami dirinya, tulisnya.
Mao memang tak pernah menggubris anak-anaknya. Gui-yuan juga memberinya 3 orang anak. Anak pertama, putri, dinyatakan hilang di Fujian. Lalu, ketika hendak memulai long march, ia memberi perintah kepada Gui: anak-anak tak boleh ikut. Maka, Mao kecil yang baru berusia 2 tahun harus ditinggal. Sejak itu Mao tak pernah melihat putranya. Anak ketiga, bayi laki-laki, meninggal tak lama setelah dilahirkan.
Mao memang tak pernah mengubris anak-anaknya. Ia hanya peduli pada kekuasaan dan dirinya sendiri. Maka, tak ada bekas tapak kaki anak-anak Mao dalam kekuasaan. Mao memang bukan wong Solo.
Komentar