by: Ludiro Prajoko
MUNDUR: manuver yang secara teknis agak ribet, bagi setiap yang bergerak. Secara apriori, teronggok rasa takut terhadap yang tak pasti di hadapan punggung. Maka, meringkus ketakpastian menjadi perkara eksistensial. Walaupun, dalam banyak hal, argumentasi mundur cenderung positif: keamanan, kebaikan, keselamatan. Di samping taktis: mundur selangkah untuk maju dua.
Justinianus, dikisahkan Wellman, diangkat sebagai Kaisar Romawi Timur berdasar sepucuk surat Kaisar Justinus yang diduga mandul, sebelum mangkat. Lalu, orang Romawi menyebutnya: Dekrit.
Di kemudian hari, Justinianus diberontak. Pecah perang saudara, dipicu konflik berkepanjangan antar gereja (Monophysite dan Orthodok), juga pembelahan sosial yang tajam. Konstantinopel hangus dibakar dalam pemberontakan Nika. Lidah api menjilat halaman istana.
Di tengah kecamuk itu, Sang Kaisar insyaf. Tuhan melintas, dan ia: mundur. Lengser keprabon madeg pandhito. Meninggalkan istana, lalu memutar tasbih, menelisik ayat-ayat yang menubuatkan terbakarnya Konstantinopel.
Richard Nixon, Presiden Amerika ke-37: mundur, disebabkan kehebohan publik yang dipicu skandal Watergate.
Bermula dari ulah beberapa lelaki yang hendak membobol sebuah kantor. Bukan kantor pegadaian, tapi kantor Komite Nasional Demokrat, kubu lawan.
Peristiwa itu terjadi pada masa kampanye pemilihan presiden, awal dekade 70-an. Nyaris 50 tahun lalu. Namun, kala itu, orang Amerika sudah tidak bodoh. Dan, institusi penyelenggara Negara, katakanlah: DPR, Mahkamah Agung, kepolisian, sepuhnya waras.
Akhirnya, terbukti aneka skandal politik yang sarat tindak kriminal, abuse of power, korupsi, kecurangan, dan fitnah. Kelakuan yang tak dapat diampuni orang Amerika.
Presiden-pemimpin mundur sudah menjadi kelaziman bagi bangsa Jepang. Sejak zaman Romawi, dan entah sampai kapan, mundur dari jabatan, hal yang lumrah. Tak terlalu aneh. Kita juga mewarisi pengalaman itu.
Pak Harto: tentara sejak zaman revolusi, pendiri Orba, orang paling berkuasa di Indonesia untuk kurun waktu yang lama, Jenderal Besar setelah Pak Dirman: mundur, setelah aksi-aksi demo menuntut reformasi memuncak pada bulan Mei 1998. Diksinya konstitusional: Berhenti menjadi Presiden.
Sesuatu yang dramatik terjadi dan rakyat Indonesia bersorak. P. Harto pasti paham betul, bagaimana: gerakan reformasi dikreasi, krisis ekonomi terjadi dan, Jakarta dibakar. Tapi, beliau memutuskan pulang, menikmati hari-hari senja di Cendana.
Apakah P. Harto waktu itu benar-benar sudah habis wibawa, kekuasaan, dan semangat tempurnya? Sehingga beliau tidak memerintahkan menumpas gerakan?
Gus Dur juga. Beliau, tak diragukan, orang hebat: Cucu pendiri NU. Putra sulung KH. Wahid Hasyim, salah seorang Anggota BPUPK, bersama Sukarno, Hatta, dll, sebagai “pemegang saham” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Leluhur gerakan masyarakat sipil. Mantan Ketua Umum PB. NU: mundur, setelah massa bergerak mengepung istana.
Gus Dur memang presiden yang incrementalis, memimpin Negara dengan pendekatan akrobatik. DPR dibilang anak TK, lalu dibubarkan dengan Dekrit. Beliau memang tidak mau repot-repot. Dan, masya Allah.. terkait keberadaan DPR, sejatinya beliau benar.
Dengan santai, beliau melenggang meninggalkan istana, dengan mengenakan celana kolor.
Apakah Gus Dur waktu itu benar-benar sudah habis wibawa, kekuasaan, dan fatwanya? Sehingga beliau tidak memerintahkan untuk menghajar kerumunan massa?
Tentu banyak penjelasan, mengapa dua Presiden itu, memilih mundur. Hal penting untuk direnungkan: dua tokoh itu menunjukkan rasa welas kepada rakyat. Beliau tidak ingin rakyat lebih menderita akibat otot-ototan ‘maju-mundur”.
Bung Karno, ketika didesak para loyalisnya agar melawan, beliau menjawab: Tidak, aku kasihan kepada rakyat. Akhirnya, Hadi Soebeno, Ketua PNI Jawa Tengah, hanya bisa berteriak: sepuluh Soeharto dan segerobak jenderal, tak sebanding dengan seorang Soekarno.
Walaupun tidak seekstrim orang Jepang, dengan harakirinya itu, jelas P. Harto dan Gus Dur memiliki penghayatan rasa malu yang kuat atas gejolak yang menandai hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Nir rasa malu, seorang pemimpin menjadi malapetaka bagi yang dipimpin.
Khusus untuk Gus Dur, tampaknya beliau memiliki motif tersendiri: desakralisasi kekuasaan. Sungguh, kekuasaan itu remeh. Tak perlu dipertahankan sampai mati. Kecuali bila kekuasaan itu hendak dijadikan toghut yang kepadanya seseorang menyembah. Tak diragukan penghayatan beliau akan makna tauhid.
Terlepas dari faktor kualitas pribadi, P. Harto dan Gus Dur memang presiden yang kekuatannya benar-benar terletak di istana, dengan basis dukungan politik yang riil. Beliau berdua bukan aktor yang diperankan dalam dan melalui jejaring kuasa multi polar. Mereka mencapai kekuasaannya benar-benar melalui political interplay yang lazim.
Aksi menuntut pencabutan-pembatalan Omnibus Law, terus menggelinding. Pemerintah tak surut pada sikapnya. Sudah semestinya, hukum gerakan menggenapkan dirinya, meruncing: mosi tidak percaya dan tuntutan mundur menggaung.
Apakah Presiden bakal mundur? Bila dilihat dari usulan MUI yang ditampik, kerasnya penanganan terhadap demonstran, penangkapan aktivis, dll, tampaknya tidak bakal mundur.
Dalam situasi dan dinamika itu, banyak hal mungkin terjadi: sejumlah pihak menyerukan pembangkangan sipil (berskala besar)-PSBB. Demo berkelindan mengikuti elan-nya. Menarik dicermati kemungkinan meletup tindakan tak terduga, disini dan di luar sana,(sekedar contoh: aksi Harmoko CS, waktu itu, yang mengingatkan orang kepada Brutus). Tentu saja, sejarah tak hanya mencatat Harmoko. Kata pepatah, sejarah mengulang dirinya sendiri.
Situasi dan konteks kali ini memang berbeda. Pangkal persoalan dan _political interplay_ tidak sepenuhnya di istana. Ada jejaring supra kuasa yang tak goyah hanya dengan menggempur istana dengan bertubi demo.
Walaupun sudah dua presiden yang menjadi preseden dan, TAP MPR menegaskan: Presiden yang sudah tidak dipercaya rakyat, harus mundur. Tampaknya, mundur belum menjadi pilihan.
Boleh jadi ada yang salah: TAP MPR itu, tidak dijelaskan kepada Presiden, melainkan ke Youtube. Dan, Youtube memang tak bisa mundur.
Komentar