Praktik Oligarki di Pilkada Bertentangan dengan HAM

TILIK.id, Jakarta — Praktik oligarki dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) sangat bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Mengapa? Karena hilangnya keaetaraan terkait hak seseorang untuk dipilih menjadi terbatasi atau bahkan hilang.

Demikian pendapat Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin (6/9/2020).

“Praktik-praktik oligarki jelas sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, di mana kesetaraan atau ‘equal rights’ menjadi hilang, terutama hak untuk dipilih karena adanya praktik oligarki tersebut,” katanya.

Dikatakan, praktik oligarki dapat membatasi hak seseorang untuk turut serta dalam pemerintahan, karena proses politik dalam pemilihan telah dikuasai oleh orang-orang yang berada di pusaran kekuasaan oligarki.

“Karena politik atau pemerintahan atau pemilunya itu sendiri dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan atau akses terhadap kekuasaan politik,” kata dia.

Praktik ini jelas bertentangan dengan HAM. Padahal, negara telah menjamin hak tiap-tiap individu untuk bisa dipilih dalam pemilihan umum sesuai peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA :  Istana Makin Frustasi

“Hal itu antara lain termuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Taufan lagi.

Apa dampak dari praktik oligarki ini? Menurut Taufan, ini akan berdampak terhadap kebijakan-kebijakan politik maupun ekonomi ketika kelompok oligarki ini telah terpilih dan memimpin di suatu daerah.

“Ini menyebabkan kebijakan-kebijakan politik, apakah itu penganggaran, apakah itu kebijakan atau regulasi di daerah atau di tempat lain, itu pasti akan diarahkan atau digiring menguntungkan pada kelompok oligarki dan teman-temannya,” ucap Taufan.

Dalam temuan Komnas HAM, kata Taufan, kelompok oligarki juga kerap melibatkan aparat penegak hukum yang pada akhirnya menimbulkan distorsi dalam urusan penegakan hukum atau urusan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.

“Terjadi distorsi di dalam urusan penegakan hukum atau urusan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia karena dalam berbagai kasus aparat penegak hukum kita misalnya juga merupakan bagian yang terlibat dalam praktik oligarki,” ucap Taufan.

Agar praktik oligarki dalam pilkada tidak terus terjadi, Taufan menyarankan kepada partai politik untuk bisa membangun sebuah sistem yang lebih meritokrasi.

BACA JUGA :  Kecuali Ketua Komnas HAM ‘Orang Gila’

Parpol harus lebih memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan karena kekayaan atau kedekatan politik dengan kelompok tertentu.

“Partai politik harus membangun satu sistem yang lebih meritokrasi. kalau itu tidak ada ya repot, sehingga kita memang jadi semakin jauh dari harapan membangun demokrasi yang substansial,” ujar dia. (als)

Komentar