Inilah Kejahatan Demi Kejahatan Rezim Saat Ini?

by Ubedilah Badrun
(Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta)

PADA September 2019 lalu ratusan ribu mahasiswa, buruh dan rakyat jelata demonstrasi besar menolak pelemahan KPK. Hingga kini ada dua mahasiswa yang ditembak mati dalam demonstrasi tidak jelas proses hukumnya. Siapa saja pelaku penembakan? Masih kabur sampai sekarang. Nyawa mahasiswa seperti sampah yang tidak ada harganya di negeri ini.

Tadinya saya mengira langkah-langkah jahat rezim seperti ini tidak lagi terjadi di Republik ini. Sebagai akademisi, saya berharap republik ini makin membaik menjalankan roda negara ke jalur demokrasi yang benar untuk membawa rakyat sejahtera. Negara yang menjunjung tinggi keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan merawat harmoni. Namun semua perkiraan saya rupanya meleset.

Hari demi hari harapan itu pupus seiring langkah rezim eksekutif berkolaborasi dengan rezim legislatif melakukan kejahatan sistemik. Kejahatan yang dibingkai regulasi, itulah kejahatan besar hari ini. Sebab secara sistemik kejahatan besar tersebut berbahaya bagi masa depan demokrasi. Berbahaya untuk masa depan kesejahteraan rakyat, masa depan keadilan, dan masa depan harmoni sosial kita sebagai bangsa.

Saya mencatat, dalam waktu singkat kejahatan besar ini semakin sempurna. Kejahatan yang membawa republik ini ke arah jurang negara yang akan menyengsarakan rakyat di masa depan. Merusak rantai dan tatanan demokrasi, serta membuat rakyat menderita ke depan.

Secara akademik, kejahatan besar tersebut mesti dibuka. Harus dibongkar dengan argumen faktual, teoritik maupun dasar konstitusional yang kokoh. Setidaknya ada empat sektor kejahatan besar yang sudah dan sedang dilakukan oleh rezim saat ini. Diantaranya kejahatan dalam bidang Sosial Ekonomi, Sumber Daya Alam, Hukum, dan Politik. Namun demi efektifitas, narasi empat kejahatan tersebut hanya diurai pokok-pokoknya saja.

Kejahatan Sosial Ekonomi

Pemaksaan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR. RUU Omnibus Law ini adalah kejahatan besar yang sangat menyolok di bidang sosial ekonomi. Selain prosedurnya yang minim pelibatan publik, korbannya akan menimpa pada jutaan buruh dan jutaan generasi milenial. Padahal mereka penentu masa depan republik ini.

BACA JUGA :  Tugas Negara Itu Melindungi Rakyatnya, Bukan Menangkap Para Pengkritiknya

Pemerintah dan DPR terlihat tutup mata, tutup telinga dan tutup nurani terhadap masa depan dan penderitaan buruh. Juga terhadap masa depan generasi milenial. Soal yang tidak kalah pentingnya adalah kelestarian lingkungan yang berdampak pada jutaan rakyat jelata.

Selain RUU Omnibus Law, pemerintah dan DPR juga sebelumnya menyetujui Perpu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020. UU yang hanya untuk menguntungkan oligarki, dan memberikan kekebalan pada semua kebijakan ekonomi pemerintah. Padahal meskipun bertentangan dengan UU Keuangan Negara, ugal-ugalan, dan pada akhirnya merugikan rakyat banyak.

Rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan juga bentuk kejahatan baru. Bersembunyi di balik regulasi. Saat ini sedang dibahas di DPR untuk merevisi Undang-Undang Bank Indonesia (BI). Pemerintah terlihat ngotot agar Dewan Moneter dibentuk dengan kekuasaan dan wewenangnya di atas Bank Indonesia (BI).

Dewan Moneter harus memiliki kekuasaan mengontrol Bank Indonesia. Ini bentuk kejahatan yang direncanakan oleh penguasa. Padahal bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23 yang di dalamnya memuat tentang Bank Sentral dan Independensi BI yang tidak boleh dikendalikan oleh siapapun.

Kejahatan Sumber Daya Alam

DPR dan Pemerintah di tengah situasi Covid-19 mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) Nomor 3 Tahun 2020. Undang-Undang ini merugikan rakyat banyak. Juga mempreteli kewenangan daerah. Hanya menguntungkan oligarki ekonomi, mengaibaikan otoritas tanah adat, dan merusak lingkungan. Mengapa? Ini terkait dengan sentralisasi izin pertambangan dan lain-lain yang ada dalam undang-undang tersebut. Daya rusak UU ini sangat luar biasa. Kejahatan menggunakan UU.

Urusan tata kelola sumberdaya alam yang buruk akan semakin bertambah buruk. Korbannya pasti rakyat. Rakyatlah banyak yang akan dirugikan. Contoh BUMN yang mengelola sumber daya alam (BBM) dan bermasalah adalah Pertamina. Sebuah BUMN yang diandalkan, ternyata telah melakukan kesalahan besar yang berdampak pada kerugian triliunan rupiah.

Kesalahan besar Pertamina tersebut terjadi karena kepentingan oligarki. Misalnya terjebak dalam beban keuangan Signature Bonus (SB) Blok Rokan Rp. 11,3 triliun. Membeli crude domestic dengan harga mahal Rp 9,25 triliun, sampai biaya bunga akibat kebijakan populis jelang Pilpres 2019 lalu dengan nilai Rp 3 tiriliun. Akibat semua itu Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Ujungnya Pertamina harus merugi lebih dari Rp 11,13 triliun.

BACA JUGA :  Polling Online Pilkada Tangsel, Siti Nur Azizah-Ruhammaben Unggul

Kejahatan Hukum Tata Negara

Lagi, pola rezim eksekutif dan legislatif menetapkan Undang-undang secara sembunyi-sembunyi di saat Covid-19. Kali ini tidak kalah bahayanya karena menyangkut tata kelola negara di bidang kekuasaan yudikatif, khususnya soal Mahkamah Konstitusi (MK).

Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diam-diam telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020. Prosesnya berlangsung tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas.

UU MK tersebut bermasalah bukan hanya dari segi prosedurnya. Tetapi materinya juga tidak substantif. Tak mendesak dan terlihat sarat kepentingan politik. Buru-buru disahkan saat kebanyakan rakyat sibuk atasi dampak sosial ekonomi akibat Covid-19. Saat rakyat sedang menderita, saat rakyat sedang lapar.

Di antara isinya yang bermasalah adalah soal penghapusan periodesasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Ini mirip barter jabatan untuk para hakim MK yang saat ini menjabat. Ini bisa berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara di kemudian hari.

Sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang berpotensi diujikan ke MK akan dengan mudah diputuskan hakim MK demi memuluskan kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi. Bentuk kejahatan yang sangat luar biasa bahanya untuk keselamatan negara.

Kejahatan Politik

Kejahatan besar politik juga masih akan terus terjadi, di antaranya soal ngototnya rezim berkuasa untuk mempertahankan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, padahal sudah ada Parliamentary Threshold. Oligarki politik dan dinasti politik yang dicontohkan keluarga istana dan dilindungi rezim juga adalah praktik jahat politik Indonesia saat ini yang vulgar dan tak malu-malu turut merusak kualitas demokrasi.

BACA JUGA :  Rektor UGM Terpilih Jadi Ketua Forum Rektor Indonesia

Dinamika turunan kejahatan politik juga masih ada dan terus dilakukan rezim. Mulai dari menjerat lawan politik dengan UU ITE, menggunakan uang rakyat puluhan miliar untuk membiayai influencer dan buzzer yang merusak demokrasi. Juga merusak harmoni sosial, hingga praktik korupsi yang masih terus saja dilakukan elite berkuasa saat ini atau bahkan dilindungi elit berkuasa.

Jika semua praktik kejahatan pemerintah dan DPR diurai tak akan cukup ditulis dalam narasi artikel yang terbatas ini. Apa yang terjadi, yang saya nilai sebagai kejahatan besar karena korbanya besar yaitu rakyat banyak tersebut secara teoritik semua itu bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi modern. Bertentangan dengan prinsip open government, bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan. Lebih dari itu, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Bukankah Indonesia sejak berdirinya memilih sebagai negara Republik (res publica, kembali ke kepentingan publik), bukan monarki atau kerajaan. Sejak awal bukankah kita sudah memilih menjadi negara demokrasi modern yang mengutamakan kepentingan publik? Kepentingan rakyat banyak (demos cratos)? Kepentingan kebaikan bersama (common good)? Itu semua tertuang dalam pembukaan UUD 1945 secara jelas sebagai tujuan negara.

Semua praktik jahat itu, sesungguhnya juga bersumber dari miskinnya moralitas para penyelenggara negara dan anggota parlemen. Moralitas dalam bernegara diabaikan. Etika politik disingkirkan. Kepentingan publik disingkirkan. Padahal ketika para pendiri bangsa ini memilih jalan negara Republik, maknanya negara ini ingin menghadirkan kesejahteraan, demokrasi, keadilan, kemanusiaan, dan harmoni sosial.

Saya jadi teringat salah satu filsuf besar Cicero dalam bukunya On the Republic (51 SM) yang ditulis di sebuah gulungan daun lontar bahwa kemerosotan jiwa dan rendahnya moralitas elite politik suatu negara adalah penyumbang utama rusaknya sebuah negara republik. Saatnya Episode gelap Republik? Kejahatan besar sedang terjadi!

Komentar