TILIK.id, Jakarta — Konsep New Normal masa Covid-19 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo direspons beragam berbagai kalangan. Pengamat; praktisi dan pakar tak henti mendiskusikannya. Perkumpulan UMA (Usaha Memajukan Anakbangsa) juga tidak ketinggalan membahasnya lewat Webinar.
Diskusi virtual UMA yang digelar Ahad malam sampai Senin dinihari tadi (1/6/2020) menghadirkan hampir semua jajarannya yang beragam latarbelakang profesi dan aktivitas.
Mereka antara lain Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska, mantan anggota DPR tiga periode HM Sofhian Mile, Menteri Agraria dan Tata Ruang 2014-2016 Ferry Mursyidan Baldan, Budayawan N Syamsuddin Ch Haesy, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Terbarukan (METI) Dr Ir Surya Darma, pakar kesehatan masyarkat Dr Herry Norman, mantan anggota DPR RI Unchu Natsir, Dirut TILIK.id Ir Lilik Muflihun, anggota DPRD Banten Moh Bahri, dan Yuyon Ali Fahmi, dll.
Bertindak sebagai host sekaligus moderator adalah Ir Tigor Sihite dibantu Farida Islahiyah.
Darul Siska memaparkan, sejak awal telah bersuara bahwa Covid-19 agar diprioritaskan sehingga cepat selesai. Kamudian kita bicara perbaikan di lini lain.
“Tetapi pemerintah kita dalam keadaan limbung. Artinya, ada dua kutub pengambilan kebijakan di pemerintah itu. Yang satu merasa ketatkan PSBB sehingga rakyat sehat dan lainnya segera sehat. Tetapi ada yang nakut-nakutin bilang jangan, nanti ekonomi kolaps. Kalau ekonomi kolaps, ente jatuh,” kata Darul Siska.
Inilah yang menurut anggota DPR dapil
Sumatera Barat ini prioritas ekonomi menjadi prioritas. Kemudian muncullah konsep new normal. New normal ini ibarat oramg yang mau tenggelam lalu ada batang pohon pisang, lantas berpegang pada batang pisang itu sekarang.
“Itu yang dianggap new normal yang dianggap penyelamat itu. Tapi menurut saya, new normal itu bukan sesuatu istilah yang, barangkali, kurang tepat bagi kita yang sekarang sedang limbung itu.,” beber Darul.
Andai pun kita pakai new normal dari bahasa orang awam saja, menurut Darul
Siska, new itu sesuatu yang baru, pasti tidak normal sehingga perlu uji coba dulu. Tidak mungkin new tiba-tiba normal. Dalam bahasa politik, contradiction internind itu. Antara new dan normal itu.
“Saya kira kita sebagai bangsa tidak usah latahlah kalau WHO bilang new normal kita ikut new normal. Yang terjadi sekarang sebetulnya adalah kita memasuki suatu new life style, atau ada yang menyebutnya gaya hidup baru yang sebenarnya istilahnya tidak ada yang baru,” ungkap Darul.
Tidak ada yang baru dalam new normal itu. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, jangan kumpul-kumpul. Hanya itu sebetulnya dianggap new normal. Padahal itu adalah istilah-istilah untuk menghindar dari covid.
“Nah kalau kita mau bicara pola hidup baru, itulah pola hidup baru kita di tengah pandemi agar kita hadapi situasi sekarang agar tidak tertular atau menularkan covid,” ujar Darul.
Menurut dia, problem utama kita adalah covid. Makin lama diulur-ulur makin lama penyakit ini meradang ke kiri dan ke kanan. Ekonomi kita makin ambruk, karena sebagian resources kita terbatas sedangkan covid ini tidak ada batasnya sampai kapan.
“Ini masih 500 penambahan positif covid-nya. Itu masuk rumah sakit perlu dirawat, ditanggung oleh negara yang anggarannya jadi perdebatan. Di luar negeri kok cuma 65 juta paling tinggi, kita 200 juta paling rendah. Ini pun akan jadi pertengkaran nanti. Itu satu soal,” bebernya.
Mestinya pengambil kebijakan utama itu mestinya tidak bersandar pada sektor ekonomi saja. Tapi harus duduk bersama. Kalau perlu ada rembuk nasional supaya ada kesatuan sikap menghadapi problem nasional kita.
Yang dimaksud Darul rembuk nasional adalah adanya kebijakan nasional menghadapi situasi seperti sekarang. Jadi harus ada inisiatif untuk rembuk nasional menghadapi kebijakan sekarang.
“Kalau kita bersepakat, maka pola hidup baru ini harus disusun protapnya. Untuk politik itu apa sih? Ya keputusan tidak semata-mata diambil oleh kabinet, tapi harus juga melibatkan institusi lain. Dengarlah masyarakat, dengarlah Pak Ferry, dengarlah Pak Sem, dengarlah yang lain-lain. Karena kita ini rakyat, maka bukan hanya yang sekitar Istana yang didengar dalam mengambil keputusan,” bebernya.
Dia menambahkan, new normal di ekonomi itu apa. Atau new style life ekonomi itu apa. Menghidupkan restoran itu bagaimana caranya. Kemudian bepergian itu bagaimana caranya, kan itu ada protap barunya. Semua sektor itu harus ada norma-norma yang dipegang.
“Di bidang politik, di bidang ekonomi, sosial, hukum, budaya, di bidang kehidupan keagamaan kita harus dirinci itu. Masing-masing menteri harus bekerja membuat SOP baru untuk setiap bidang kehidupan kita,” katanya.
Itulah menurut Darul, harus disosialisasikan pada masyarakat, umpamanya industri makanan. Bagaimana mengelola industri makanan itu karena industri ini tidak pernah berhenti.
“Soal ekonomi memang sesuatu yang serius. Tapi menurut saya makin dilonggarkan PSBB ini, ekonomi kita makin lama makin ambruk dan kemudian kita akan lagi tergantung pihak luar,” katanya.
Namun Darul mengatakan, satu hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah segera melakukan negosiasi ulang dengan para kreditor agar kita tahun ini pinjamannya jangan dibayar dulu. Bunganya tunda dulu sehingga uang bisa didisteibusikan ke rakyat supaya rakyat bisa makan.
“Itulah yang lebih penting sekarang daripada bicara new normal new normal itu. Janganlah batang pisang sebagai penyelamat ikut tenggelam juga,” ujarnya.
Sofhian Mile melanjutkan, memang kebijakan yang diambil pemerintah itu memang cukup serius untuk menangani pandemi covid ini. Namun konsep yang yang dipegang tidak tepat. Konsep yang dipegang itu keliru.
“Kita butuh orang yang punya konsep yang benar, yang tepat, yang aplycable, yang menukik, yang menyelesaikan masalah, problem solvingnya ada. Tidak di awang-awang. Bukan hanya soal covid, masalah ekonomi, masalah politik. Tapi masalah bangsa ini, masalah kedaulatan,” kata Mile.
Soffhian merasakan kegelisahan rakyat atas kondisi bangsa ini. Covid ini masalah, namun konsep yang ditawarkan oleh pemerintah menambah kegelisahan publik karena bertentangan dengan kondisi yang ada di lapangan.
“Menurut pandangan saya mari kita bicara lebih melihat dengan kecamata yang lebih menukik. Kalau memang konsep bernegaranya bagus, tentu kita dukung, atau perlu dikoreksi, diperbaiki atau bisa juga kita tolak,” katanya.
Dikatakan, kita ini ingin bangsa ini selamat, kita tidak ingin bangsa ini kacau, tidak ingin bangsa ini kemudian tidak merdeka, tidak independen. Kita malah mengikuti keinginan pihak lain.
“Mengapa negara kita demikian ini, karena lembaga-lembaga independen tidak mampu menyuarakan suara di grass root ini terasa tidak terwakili. Ini perasaan saya, dan mungkin juga mewakili suara publik di luar sana,” pungkas Sofhian Mile. (lms)
Komentar