TILIK.id, Jakarta — Aktivis sosial yang juga produser Jakarta Melayu Festival Geisz Chalifah memberi pernyataan sekaligus pertanyaan menghentak di program Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne tadi malam. ILC mengambil tema “Kiaruh Bansos: Sengkarut Antara Pusat dan Daerah.”
ILC menghadirkan nara sumber Menteri
Desa/Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi Halim Iskandar, Ali
Muchtar Ngabalin, Bupati Bolaang
Mangondo Timur Sehan Salim, Bupati
Lumajang Thoriqul Haq, dan juga
televideo dengan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Geisz yang diberi kesempatan berbicara yang kedua dari terakhir mengatakan sebagai warga Jakarta dia merasakan kesan covid ini seperti menghadapi pilpres.
“Kita ini sebagai warga Jakarta, saya ingin bertanya, kita ini sedang menghadapi covid, sebagai wabah,, atau menghadapi pilpres?” kata Geisz mengawali paparannya.
Karena, kata Geisz, dirinya membaca dari awal covid ini, bahkan dari sebelum covid, yang terjadi adalah pemerintah pusat menjadi oposisi terhadap pemprop DKI.
“Baru pertam kali selama saya lahir di republik ini, ada pemerintah pusat menjadi oposisi terhadap Pemprov DKI. Itu yang kita rasakan selama ini,” kata Geisz.
Dikatakan Geisz, apapun masalahnya pemerintah pusat, maka pengalihannya lepada pemprov DKI. Menghadapi wabah diperlukan sinergi, bukan mencari pangggung.
“ini tidak sehat dalam bernegara. Yang kita hadapi wabah, yang kita perlukan adalah sinergi bersama. Bukan mencari panggung lalu menyalahkan gubernur terus menerus,” kata Geisz lagi.
“Dan seringkali setelah disalahkan, diberikan jawaban, dan jawabannya itu jadi blunder yang menyaalahkan pertama. Kan itu melulu. Lihat aja, mulai covid terjadilah mulai saat pak Anies ngomong sampai kemarin,” tambahnya.
Geisz mengaku sekarang bukan lagi aktivis sosial. Tapi sudah jadi pemalak. Minta kepada teman-teman pengusaha secara bergantian bantu masyarakat yang membutuhkan. Dirinya pun dijuluki pemalak. Tiap hari tak berhenti minta bantuan teman-temannya.
“Saya bilang sudahlah. Sekarang bukan lagi mengeluarkan zakat 2,5 persen. Sekarang waktunya 25 persen, kalau perlu 50 persen. Karena kondisi kita sedemikian rupa. Jangan lagi berhitung-hitung dalam keadaan begini ini,” ujar Geisz.
Jadi, kata Geisz, situasinya memang sangat berbahaya buat masyarakat. Karena itu yang dilakukan adalah membantu masyarakat melalui organisasi sosial seperti ACT, MER-C, dan lain-lain.
“Itu yang kita lakukan di bawah. Tidak ACT, tidak MER-C, dan macam-macam.
Tapi di atas, jadi panggung, gak normal. Kok saya jadi kangen pada presiden yang sama-sama dulu lawan bersama dengan Pak Ali Muchtar Ngabalin jaman dulu,” katanya.
Soeharto itu, Moerdiono itu, cerita Geiss, kalau bicara hati-hati. Kalem sampai bosan mendengarnya. Tapi semua menteri sama suaranya. Harmoko itu malah kita nyatakan hari-hari omong kosong.
“Tapi kalau dia katakan harga bawang 500 per kilogram di tv, kita temui di pasar benar 500. Gak berubah. Dan semua menteri sama. Kalau sekarang semua menteri-menteri cari panggung,” kata Geisz menyindir.
Dikatakan, kita di bawah sedang berusaha mengupayakan untuk keselamatan masyarakat dengan harusnya berkolaborasi antara pemerintah pusat dengan pemprov DKI.
Tapi sayang, lanjut Geisz, tiap hari santapan kita adalah bagaimana kerumitan-kerumitan itu dijadikan segregasi di antara para pejabat itu.
“Tata kelola pemerintahan kita seperti apa sebenarnya. Jadi sebaiknya kepada sahabat saya yang terbormat Ali Muchtar Ngabalin, berhentilah di kalangan pejabat itu menjadi oposisi terhadap pemprov DKI. Bosan kita dengarnya,” kata Geisz.
“Jangan ngeles lagi, karena jejak digitalnya ada. Kecuali saya tidak punya jejak digital, dan saya juga gak mau buka. Jadi cukuplah,” sambungnya.
Yang diperlukan saat ini rakyat butuh diselamatkan, rakyat butuh makan untuk bertahan hidup, rakyat butuh kepastian.
Meski demikian, Geisz ingin mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah wabah covid ini terkait data dan kondisi ril di bawah.
Menurutnya, beberapa kali melakukan operasi katarak gratis. Dari aksi sosial itu, Geisz menemukan bahwa penyakit katarak Indonesia urutan kedua atau ketiga tertinggi di dunia.
“Saat kita melakukan bantuan untuk operasi katarak, seringkali terhambat karena apa? Karena rumahnya berkeramik dan tidak dianggap miskin. Lalu saya datangi satu per satu. Apa katanya? Pak Jangankan untuk operasi yang 7 juta itu, untuk kasi makan anak saya saja tidak mampu,” katanya.
Jadi, menurut Geisz, mengelola kemiskinan itu, tidak bisa dengan angka. Harus tau di lapangan. Beda angka dengan yang di lapangan. Tidak sama. Apalagi dalam kondisi seperti ini.
“Saya paham betul bagaimana persoalan data itu. Jadi saya mengerti dan berempati pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahwa ada salah sasaran, ada yang tidak dapat. Menurut saya, lebih sasaran tapi semua dapat daripada ada yang tidak dapat,” pungkas Geisz.
Ali Muchtar Ngabalin yang terus dapat sentilan Geisz Chalifah pun menjawab. Bahwa tidak ada orientasi pilpres. Pillpres sudah lewat. Sekarang waktunya kerjasama pemerintah pusat dengan daerah untuk mengatasi Covid-19. (lms)
Komentar