Dr. Muhammad Sabri, MA
KEAJAIBAN tak akan terbit, ketika kota jadi benderang dan Ramadan jadi sebatas iklan. Agama adalah jagat-makna yang tertanam di balik hirakis realitas ontologis. Karena itu, substansi agama hanya bisa tersingkap ketika seseorang mampu menyelami “jantung” pesan keagamaan terdalam, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai hikmah.
Puasa Ramadan adalah ritual Islam yang sangat “karib” dengan fenomena-ruhani Laylat al-Qadr. Itu sebab puasa dengan sendirinya punya makna ontologis dan bukannya sekadar actus menahan makan, minum dan hubungan sexual suami-isteri di siang hari di bulan suci. Puasa berpesan: Dalam hidup, ada wilayah hikmah yang tidak kasat mata, tapi teramat benderang pada kilatan intuisi yang tercerahkan. Di titik ini, puasa dipandang sebagai bentuk spiritual exercise atau dalam tradisi mistik Islam dikenal sebagai riyâdhah.
Dengan riyâdhah intens dan sungguh-sungguh, akan lahir kemudian satu mata-pandang-spiritual yang tajam dan mampu menembus tidak saja realitas empirik, metaempirik, dan transmetaempirik, tapi bahkan menjangkau realitas-transendental yang infinitum. Begitulah, ketajaman “mata-pandang-empirik” manusia-puasa mampu menangkap ketimpangan-ketimpangan sosial yang melingkar dalam kehidupan yang aneka.
Dengan puasa, seseorang dapat merasakan secara “empirik” kelaparan dan kecemasan masa depan mereka yang terimpit kepahitan hidup yang pekat. Tidak mengherankan mengapa Nabi Muhammad s.a.w. mengimbau kaum mukmin agar gemar berinfaq dan shadaqah khususnya di bulan penuh cahaya ini. Tujuannya, agar proses penajaman mata-pandang-empirik akan terus berlangsung dan memantik “kepekaan sosial” mereka yang berpuasa. Nabi bersabda:
“Jika kalian hendak menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin dan kumpulan anak-anak yatim…”
Puasa juga menajamkan visun “metaempirik,” yang mengandaikan manusia-puasa punya kemampuan menangkap nafas-batin kehidupan dan mengurai bernas Kalam-Nya yang kudus:
“Hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik Rumah (Bayt Allah) ini. (Yaitu Tuhan) yang membebaskan mereka dari lapar dan rasa takut” (QS. 106: 3-4).
Tradisi hikmah berpesan: bila Allah swt. “hadir” dalam sebilah pesan suci, di sana sejatinya mengandaikan pemenuhan “kebajikan publik” (al-mashlah al-mursalah). Dalam konteks ayat, “Yang membebaskan manusia dari lapar dan rasa takut” hal tersebut menunjukkan otoritas Allah sepenuhnya.
Namun, barangsiapa dengan sadar mengemban “otoritas” Ilahi tersebut dalam satu keinsafan ruhani yang sublim, Allah akan memosisikannya sebagai “wakil”Nya di muka bumi. Karena itu, manusia-puasa kualitas ini, adalah juga khalifah, yang dengan keinsafannya— “menghadirkan” Allah dalam setiap napas hidupnya—terlebih dalam mengemban amanah menunaikan “kebajikan-kebajikan publik.”
Sementara itu, visun “transmetaempirik” atau “transendental” pun akan direngkuh manusia-puasa. Di titik ini, manusia-puasa punya kemampuan menyingkap realitas “tak-tepermanai” (infinitum). Inilah pengalaman mi’râj atau tersingkapnya misterium, karena manusia-puasa kualitas ini telah memandang segala realitas via “Mata Cinta-Nya”. Inilah puncak-terdalam kemanisan spiritual itu. Sebilah pengalaman ruhani yang tak tepermanai. Sebuah “perihal” yang didaku Ludwig Wittgenstein dalam Trcatatus Logico-Philosophicus (1952) sebagai “realitas tak tercakapkan”. Saat itu, manusia-puasa mengalami “ketercelupan ontologis”. Itulah yang mystical, kata Wittgenstein: tak ada lagi actus kecuali “diam”. Tapi bukannya “diam-pasif” dalam sebilah lingkaran kenikmatan puncak, tentu. Tapi “diam-dinamis” seperti diteladankan Rasulullah s.a.w. tatkala beliau mi’raj dan syuhud di Haribaan-Nya di “meta-langit” al-mustawa’.
Di sana—di puncak terdalam Shidrat al-Muntahâ, Nabi bukannya “diam-bisu” berselimut kenikmatan puncak dan mengalami “fana’ al- fana’ al-muthlâq” bersama dan di dalam Allah, tapi beliau justru bergegas bangkit dan mengusung sebuah kesadaran: bahwa dia musti kembali karena di hamparan kakinya, di bumi, terdapat seikat amanah yang musti ditunaikan.
Dari jejak kesadaran manusia-puasa di atas, mengandaikan sebilah transendensi, yaitu proses “terus menerus tanpa henti” (state of becoming) dalam kehidupan ruhani seorang Muslim. Hanya dengan transendensi, hidup kemudian tidak berhenti pada realitas empirik yang profan dan dalam selubung kesadaran spasio-temporal, tapi keharusan mentransendensikan ego-otentik kepada tingkat yang paling tinggi: Realitas Mutlak atau Allah.
Dari visun-spiritual ini pula dapat dipahami mengapa Laylat al-Qadr—sebagai fenomena keruhanian malam ramadan—diandaikan Nabi: “Kehadirannya pada malam-malam akhir di Bulan Penuh Cahaya.” Karena pada pengujung malam-malam ramadan dengan sendirinya “titik puncak” perjalanan ruhani yang mengandaikan manusia-puasa telah meraih kualitas infinitum dan “mengalami” mystical-union dalam Limpahan Cinta-Nya yang tak tepermanai.
Itu sebab, “kemanisan-rasa,” “pesona-warna” dan “kebeningan-makna” Laylat al-Qadr, hanya bisa “direngkuh” oleh manusia-puasa kualitas puncak. Di titik ini, sejatinya Laylat al-Qadr lebih merupakan “dunia-pengalaman spiritual-langsung” dan bukannya “dunia-pengetahuan”: sebilah dunia rahasia yang tersingkap, meski tak satu pun narasi dapat melidahkannya.
Penulis, Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Komentar