Berhentilah Memecah Belah Bangsa

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

ANIES Baswedan, dalam sebuah acara “Peluncuran dan Bincang Buku Negara Bangsa Di Simpang Jalan” (7/8/2021) , meminta kepada semua pihak berhenti untuk mengkotak-kotakkan diri atau saling kubu-kuburan dalam rangka memerangi penyebaran Covid-19. Anies juga meminta semuanya berkolaborasi, berjuang bersama mengingat pandemi ini tidak mengenal identitas atau golongan tertentu.

“Hilangkan polarisasi ekstrem yang muncul, lalu beranikan untuk menomorsatukan semua yang sifatnya keselamatan dan kesejahteraan itu diprioritaskan. Kita bukan bicara keselamatan 1-2 orang, tapi keselamatan seluruh bangsa,” kata Anies.

“Mari kita obati saling curiga. Ini virusnya tidak kenal siapapun, identitas apapun” , lanjut Gubernur DKI ini.

Ungkapan Anies langsung ditimpali: “Bolehnya cuma pas pilkada maksudnya?”. Jleb! Dalem banget nyindirnya. Kalau yang komen orang biasa, manusia awam, ordinary person, kita maklum. Otaknya memang hanya sampai disitu. Tapi, jika yang komentar adalah seorang tokoh, orang terdidik, tak ada kata yang tepat untuk merespon kecuali ucapan: “astagfirullahal adzim”.

Lama bangsa ini terbelah. Pandemi manjadi momen untuk bersatu, karena kita sedang dihadapkan pada masalah yang sama. Sama-sama susah, sama-sama menderita, sama-sama kehilangan orang-orang terdekat. Masihkah tidak bisa bersatu? Lalu, ketika ada ajakan bersatu, masih juga dibully. Kata tetangga saya: “otak mana otak?”.

BACA JUGA :  Relawan Mak Mak Anies Konsolidasi dan Deklarasi di Jawa Tengah dan DIY

Ini bukan soal Anies, ini juga bukan soal Pak Jokowi. Ini bukan soal siapa didukung siapa. Ini urusan bangsa. Para pemimpin sedang merajut persatuan, mengumpulkan energi bersama untuk berkolaborasi melawan musuh bernama Covid-19. Apa yang salah dengan ajakan persatuan itu?

Calon Anda boleh kalah, tapi mental bangsa ini gak boleh kalah hanya karena Anda belum bisa menerima. Dalam pilpres maupun pilkada, kalah menang itu hal biasa. Saat berkompetisi, kubu-kubuan itu keniscayaan politik. Akan selalu ada dan gak bisa dihindari. Karena ada yang diperebutkan, kompetisi itu wajar. Selesai pilpres atau pilkada, ya cair. Gak ada lagi yang diperebutkan, untuk apa berkompetisi, apalagi bermusuhan.

Setelah Pak Jokowi terpilih, dia presiden seluruh rakyat Indonesia. Setelah Anies terpilih, dia gubernur seluruh warga Jakarta. Bukan presiden atau gubernur untuk para pendukungnya saja. Ini cara berpikir negarawan.

Jika para pendukung belum benar-benar cair, masih mengkotak-kotakkan diri, maka tugas pemimpinlah menyadarkan dan menyatukan mereka. Ketika seorang pemimpin mengambil peran dan menjalankan tugas itu, kenapa disindir dan dibully? Apa yang keliru? Kalau negeri ini diisi oleh para tokoh yang mentalnya seperti ini, kapan negeri ini damai?

BACA JUGA :  Kriminalisasi Ajaran Islam dan Aktivis di Balik Penangkapan Munarman

Pandemi ini hadiah Tuhan yang mestinya mampu merekatkan kembali semua anak bangsa yang sempat terbelah. Elite, tokoh dan agamawan punya kewajiban untuk ikut mendorong persatuan dan menciptakan kekompakan bangsa.

Pandemi telah menelan puluhan ribu nyawa dan membuat ekonomi porak poranda, harus dihadapi bersama-sama. Bukan sebaliknya, menjadi provokator abadi yang semakin memecah belah dan memporakporandakan bangsa.

Jakarta, 9 Agustus 2021

Komentar