IMAM BESAR SIN

by: Ludiro Prajoko

INDONESIA dan Filipina: ibarat balap motor dalam sirkuit politik. Dan, Indonesia ketinggalan satu lap panjang.

Filipina sudah menyelesaikan dua putaran. Pertama, tahun 1986, berlangsung di salah satu jalan di Metro Manila, EDSA: Epifano de Los Santos Avenue.  Disaksikan nyaris 2 juta orang. Populer dengan sebutan  people power. Meriah tanpa kekerasan. Pemenangnya Corazon, istri mendiang Ninoy Aquino, menyingkirkan Marcos.

Pokok pangkal perkaranya: kecurangan pemilu, penerapan hukum darurat militer, pembungkaman demokrasi, kriminalisasi dan pembunuhan tokoh-tokoh oposisi. Singkat kata otoriterianisme yang menggila.

Putaran kedua, tahun 2001, lap pendek. Berlangsung disirkuit yang sama, maka disebut ESDA 2. Karena tingkat kusulitan sirkuit relatif rendah, Filipina dapat menyelesaikan dengan baik: menumbangkan Joseph Estrada, mantan bintang film kondang. Lantaran korupsi yang merajalela. Tahun 2007 Estrada dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Indonesia baru sekali, tahun 1998 lalu. Proses dan hasilnya tentu tidak sama persis. Tak muncul perempuan hebat, diwarnai kekerasan, tak ada tokoh oposisi yang mati ditembak, Kardinal tak terlibat secara langsung. Jalanan dikuasi sepenuhnya oleh mahasiswa. Unsur kesamaannya: people power.

Akankah Indonesia memasuki putaran kedua? Tak diketahui dengan pasti. Indonesia tampaknya sedang berada dipintu masuk sirkuit, dengan lap panjang dan tingkat kesulitas yang tinggi. Maka, lesson learned ESDA 1 penting diperhatikan.

Kematian Aquino sebagai martir memang menjadi faktor penting: menciptakan momentum, mengerucutkan tekad, mengakeselerasi gerakan massa. Tetapi jelas bukan satu-satunya faktor dalam mendorong perubahan sosial politik secara dramatik di Filipina.

BACA JUGA :  Waspada Zionis Israel

Aspek dan faktor yang justru menjadi penentu sukses EDSA 1, melampaui kemartiran Aquino, antara lain:

Kesiapan pihak oposisi. Sampai dengan hari ditembaknya Aquino, Corry menikmati hidup dan statusnya sebagai ibu rumah tangga. Tapi pada hari pemakaman sang suami, Ia berubah menjadi perempuan garang,  berteriak lantang: Justice for Aquino. Justice for all.  Para tokoh terbelalak, menemukan tokoh pengganti sang martir. Disamping, tentu saja empati yang membuncah pada hari-hari penuh duka. Kekuatan oposisi tak bertikai soal itu. Disini, persoalan itu tentu sangat rumit. Belum lagi timbangan seberapa kuat blok kritis ini.

Dukungan dari dalam militer  juga menjadi faktor kunci. Muncul faksi yang menyeberang, menyingkir dari Marcos dan mendukung gerakan pro rakyat. Tokoh penting faksi itu: Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille. Ya, Menhankam! Juga, Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jendral Fidel Ramos. Disini, juga ada personil militer yang berani, tapi prajurit, yang mengunggah video memekikkan takbir. Juga, menyambut: ahlan wa sahlan. Lalu, diancam sanksi disipliner. Karena, itu tidak lazim bagi tentara, kata pimpinannya. Dan, disini, sekarang, bukan tentara pemain kuncinya.

Tapi faktor yang fenomenal: Keterlibatan Gereja Katolik dan tampilnya Kardinal Sin di pentas politik Filipina. Gereja Katolik Roma, tentu institusi yang sakral dan agung bagi rakyat Filipina yang mayoritas Katolik. Kesakralan fungsinya memang sama dengan masjid, juga tempat ibadah lain. Tapi, institusi Gereja Katolik tidak sama, dan tidak akan ada institusi masjid sebagaimana Gereja Katolik.

BACA JUGA :  Sentra Vaksinasi Bersama di GBK Perluas Cakupan Penerima Vaksin Covid-19

Warga katolik yang taat, tunduk patuh pada istitusi gereja yang terstruktur hirarkis itu. Pucuk pimpinannya: Paus. Dibawahnya para Uskup Agung, Dibawahnya: Kardinal, dan seterusnya.

Jaime Lachica Sin, peranakan Tionghoa, Kardinal Manila waktu itu. Tokoh yang sangat kritis terhadap militer dan Pemerintahan Marcos. Tentu beliau “ulama” Katolik yang amat disegani. Tak diragukan pengaruh diri dan fatwanya terhadap rakyat Filipina.

Gereja Katolik dan Kardinal Sin menjadi sarana tak tergantikan untuk, kata Bergson, transendensi: penyucian – menghubungkan dengan kekuatan dan kehendak di balik langit. Dalam bejana transendensi, tak ada apapun yang profan, tak suci. Dari dan/atau melalui Gereja Katolik, sesuatu menjadi absah, segalanya untuk Tuhan.

Kalangan oposisi tidak hanya segan, mereka memang menunggu fatwa Gereja Katolik-Kardinal Sin. Umat yang patuh dan siap melaksanakan perintah, tersedia melimpah, karena mayoritas rakyat Filipina Katolik. Dan, mereka paham, merasakan betapa brengseknya Pemerintahan Marcos.

Umat Katolik well organized, seturut hirarki Gereja dan Surat Gembala yang ajeg diterbitkan. Ditunjang sel-sel aktif: NGO yang piawai menggerakkan massa, membangun opini, dan menggalang dukungan internasional. Barat waktu itu memang sedang gencar memromosikan demokrasi. Boleh jadi, Barat sekarang sedang merisaukan bangkitnya otoritarianisme, seiring membangun tata kepentingan baru.

BACA JUGA :  Dari Yogja Menuju Indonesia

Marcos, patut diduga bukan penganut Katolik yang taat. Bisa jadi asal-asalan. Tapi, kroni, loyalis, pendukungnya, tentu banyak dari kalangan katolik yang taat. Mereka tampaknya bergetar hatinya menatap keagungan Gereja Katolik dan fatwa Sang Kardinal. Hasilnya: deloyalisasi kepada Marcos.

Daya tahan rezim, perlu dicermati. Ternyata Marcos tak terlalu digdaya. Menyaksikan 2 juta massa turun jalan, Ia lari ke Hawai. Marcos memang sudah goyah, akibat pembelotan. Selain itu, penting dikaji secara seksama tekanan-tekanan yang membuat Marcos memutuskan: lari.

Di Indonesia, karena mayoritas penduduknya muslim, dapat dimengerti bila Gereja Katolik dan Kardinal Jakarta sungkan langsung turun menyelesaikan kerumitan yang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Institusi dan Ketua MUI tampaknya tak memiliki kapasitas seperti Gereja Katolik dan Kardinal Sin. Apalagi Institusi dan Ketua Dewan Masjid.

Memang, tidak akan pernah terjadi dua peristiwa sosial yang persis sama. Karena yang sosial terikat ruang, waktu, konteks, dan misteri. Rumitnya, manusia Indonesia mengandung terlalu banyak misteri.

Tersisa satu saja yang dapat diharapkan: Ulama, yang sungguh-sungguh layak menyandang gelar pewaris Nabi. Tentu, mereka diharapkan memiliki kapasitas menyesuaikan, memodifikasi, merekacara kondisi dan faktor-faktor penentu perubahan.

Salah satu ulama itu: HRS, yang telah kembali ke Petamburan, disambut jutaan manusia. Apakah sang Habib akan menjadi Imam Besar Sin? Jawabnya pasti: hanya kepada Allah kita kembalikan segala urusan.

Komentar