
Oleh: Kasra Jaru Munara
(Budayawan dan Tokoh Masyarakat Bombana)
RAPA DARA, motif tenun bergambar kepala kuda yang baru saja diperkenalkan di Bombana, kini menjadi bahan pembicaraan hangat. Karya seni yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Fatmawati Kasim Marewa, S.Sos selaku Ketua Dekranasda dan Penggerak PKK, mencuri perhatian publik karena tampil berbeda dari motif tenun Moronene yang selama ini kita kenal.
Rapa Dara —-gabungan kata rapa (kepala/wajah) dan dara (kuda) dalam bahasa Moronene– memiliki keunikan tersendiri. Sebagai kreasi kontemporer, Rapa Dara patut diapresiasi sebagai wujud inovasi seni daerah. Namun, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, penting untuk dijelaskan bahwa motif ini adalah sebuah karya baru, bukan warisan motif ornamen leluhur Moronene seperti dijumpai dalam produk seni lukisan atau hiasan “talulu”.
Jejak Kuda dalam Sejarah Moronene
Dalam catatan sejarah, kuda memang pernah menjadi bagian penting kehidupan Moronene, khususnya di kalangan Mokole (raja) dan bangsawan. Catatan kolonial Belanda menyebut bahwa kuda digunakan sebagai alat transportasi resmi Kepala Distrik atau Mokole dan simbol status sosial. Mokole Munara menggunakan kuda saat melakukan kunjungan ke sub-wilayah Rumbia.
“De Mokole van Rumbia maakt gebruik van paarden als zijn voornaamste vervoermiddel tijdens officiële bezoeken en ceremoniële bijeenkomsten. Het bezit en gebruik van paarden wordt in deze streek beschouwd als een teken van aanzien en macht, voornamelijk voor de adat-hoofden.” (Rapportage Controleur te Boeton en Laiwui, Afdeling Buton en Laiwui, 1940. KITLV Collectie, Leiden.)
Laporan etnografi Belanda (awal abad ke-20, termasuk “Verslag Controleur Buton & Laiwui”) juga menyebutkan orang Moronene dikenal sebagai penunggang kuda tangguh terutama di Rumbia dan Poleang.
Namun, yang perlu diluruskan: gambar kepala kuda tidak pernah tercatat sebagai motif tradisional dalam ornamen Moronene. Simbol adat yang lebih kuat dan otentik adalah ornamen berupa ukiran atau lukisan dengan motif kepala naga, tanduk kerbau dan kepala burung kakatua putih (“tandungkeakea”) yang terdapat di ujung bumbungan (“tandu-tandu”) rumah atau bagian tertentu dari makam bangsawan.
Ada juga motif “talulu” yang berbentuk pola berulang seperti motif “kuku karambau”, “popae manu”, “burumpaku”, dan “kinalawa”. Ada juga motif “bosu-bosu”, “burisininta” dan “sosoronga” yang didaftarkan di Dirjen HAKI tahun 2014 yang menjadi rujukan dalam pembuatan kain tenun motif Moronene.
Kemudian, tradisi lisan di Kabaena menyebut kuda pertama kali masuk pada awal abad ke-20 lewat barter dengan kerbau. Awalnya dianggap makhluk gaib karena belum dikenal, hingga tokoh adat menegaskan bahwa kuda adalah hewan nyata dan bisa dijadikan transportasi. Dari situlah kuda mulai diterima dan berkembang.
Kisah ini relevan bagi kita untuk memahami bahwa kuda memang punya jejak sejarah dalam sosial budaya Moronene, tetapi posisinya lebih pada atribut bangsawan dan adaptasi sosial baru, bukan pada motif visual tradisional. Karena itu, kemunculan motif Rapa Dara tetap relevan dalam konteks pengembangan karya seni budaya lokal.
Rapa Dara dalam Konteks Nusantara
Simbol kepala kuda sejatinya bukan sesuatu yang asing di Nusantara. Walaupun kuda bukan fauna asli kepulauan ini –ia diperkenalkan lewat jalur perdagangan dan migrasi sejak berabad-abad lalu– namun ornamen berupa gambar kuda, termasuk kepala kuda, telah lama menyatu dalam seni budaya berbagai daerah.
Dari Muna, Toraja, Bugis-Makassar, Sumba hingga Maluku, kepala kuda kerap hadir dalam ornamen, ukiran, bahkan kain tenun sebagai lambang keberanian, status bangsawan, atau perlindungan spiritual. Dengan demikian, motif Rapa Dara sesungguhnya masih berada dalam ruang kebudayaan Nusantara yang lebih luas.
Bombana sendiri adalah komunitas yang majemuk. Kehadiran Rapa Dara bisa dipandang sebagai simbol kebersamaan –sebuah karya baru yang lahir dari daerah ini, dan yang dapat merepresentasikan keterbukaan Bombana terhadap dialog antarbudaya.
Rapa Dara sebagai Kreasi Kontemporer
Sebagaimana disebutkan di atas, motif Rapa Dara lahir dari kreativitas masa kini yang terinspirasi dari jejak sejarah, bukan klaim warisan adat. Motif Rapa Dara yang diprakarsai Dekranasda Bombana akan memperkaya ragam corak kain tenun dan karya seni budaya lainnya. Upaya ini patut diapresiasi sebagai bagian dari inovasi seni daerah, untuk menambah keragaman bukan untuk mengganti warisan seni budaya yang ada.
Kehadiran motif ini juga menunjukkan bahwa masyarakat dan seniman Moronene tidak statis. Budaya kita mampu melahirkan karya baru yang menarik perhatian, sekaligus membuka ruang dialog antara tradisi dan modernitas.
Menjaga Otentisitas, Menghargai Kreativitas
Polemik yang muncul beberapa waktu terakhir sebenarnya bisa dipahami. Kekhawatiran tokoh adat berakar pada keinginan menjaga agar warisan tidak kabur. Namun, polemik ini juga bisa menjadi pelajaran berharga: inovasi boleh lahir, tetapi perlu dikomunikasikan atau disosialisasikan dengan baik.
Ada tiga hal yang bisa dilakukan:
Penjelasan yang transparan – setiap kali motif ini diperkenalkan, sampaikan bahwa Rapa Dara adalah karya kontemporer.
Penguatan simbol asli – bersamaan dengan itu, Dekranasda dan komunitas budaya perlu lebih sering menampilkan simbol-simbol otentik Moronene dalam pameran atau dokumentasi resmi.
Edukasi generasi muda – agar mereka bisa lebih banyak mengenali seni budaya daerah khusunya Moronene, mampu membedakan mana warisan leluhur yang harus dijaga, dan mana karya baru yang patut diapresiasi.
Penutup
Rapa Dara adalah karya yang patut diapresiasi. Ia mencuri perhatian bukan hanya karena keindahan visualnya, tetapi juga karena perdebatan yang menyertainya. Polemik ini sesungguhnya sehat, sebab memperlihatkan bahwa masyarakat kita peduli pada akar budaya. Dengan menempatkan Rapa Dara secara tepat sebagai kreasi kontemporer Bombana, maka simbol seni adat Moronene tetap terjaga, sementara kreativitas lokal bisa tumbuh tanpa rasa curiga. Lebih dari itu, karena kepala kuda adalah simbol yang lazim dijumpai di berbagai wilayah Nusantara, Rapa Dara juga dapat dilihat sebagai simbol kebersamaan dalam kemajemukan Bombana.
Budaya akan hidup jika ia dijaga otentisitasnya, sekaligus diberi ruang untuk berinovasi. Dan Rapa Dara bisa menjadi contoh bagaimana tradisi dan kreasi bertemu dalam harmoni.
“Seni dan Budaya pada dasarnya lebih banyak berbicara kepada hati dan jiwa. Oleh kepekaan sentuhannya, ia dapat menarik simpati terhadap suatu peristiwa” -Korrie Layun Rampan.
Sekian.






Komentar