Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
PERTAMA-pertama kita harus mengucapkan bela sungkawa, sedih dan prihatin terhadap kejadian yang menimpa Ade Armando. Peristiwa yang tidak pantas, dan seharusnya tidak boleh terjadi di negeri beradab seperti Indonesia. Cukup sekali ini saja, jangan lagi terulang.
Kedua, kita serahkan kasus ini kepada pihak kepolisin. Bahwa negara kita negara hukum, semua kesus harus diselesaikan melalui jalur hukum. Kita percayakan kepada pihak kepolisian untuk mengusut dan menyelesaikan dengan tuntas, tegas, adil dan transparan. Dan polisi saat ini sedang bekerja. Mari kita dukung dan kita support. Jangan justru ada pihak-pihak yang mengganggu kinerja polisi ini dengan membuat pernyataan-pernyataan kontroversial yang justru akan menambah kegaduhan dan ketegangan.
Ketiga, peristiwa ini jangan pula dipolitisir, dibawa kemana-mana, dikait-kaitkan dengan hal-hal yang sesungguhnya tidak terkait. Jangan menunggangi kasus Ade Armando ini sebagai obyek politik.
Keempat, kasus Ade Armando ini harus menjadi pelajaran bersama untuk kedepan agar tidak ada lagi kekerasan: baik verbal, apalagi fisik. Kekerasan verbal berpotensi menciptakan kekerasan fisik yang bisa menimbulkan konflik sosial ketika melibatkan kelompok.
Mengkait-kaitkan peristiwa Ade Armando dengan Anies Baswedan, tanpa berniat membuktikan secara hukum dengan melaporkan ke polisi, ini tentu tidak gentle dan tidak fair. Sikap pengecut seperti ini tak lebih dari upaya “Black Campaign” yang selama ini dijadikan sebagai strategi politik murahan dengan mengabaikan aspek nilai dan etika yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi di negeri bermartabat ini. Ada kesan pemaksaan untuk menghubung-hubungkan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada hubungannya. Dalam ilmu logika ini disebut dengan istilah “causal fallacy”.
Pernyataan yang menuduh Anies (via relawan) secara serampangan terkait pengeroyokan terhadap Ade Armando sangat disayangkan. Pernyataan tersebut tidak berkelas, dan ini untuk yang kesekian kalinya.
Diungkapkan: “Jika benar itu relawan Anies, maka ini ada hubungannya dengan provokasi Pengeroyokan terhadap Ade Armando”. Pernyataan ini pertama, si penuduh “bermain kata” dengan pernyataan “jika betul itu relawan Anies”. Ini tentu jauh dari bijak. Apalagi, yang mengungkap adalah seorang public figure. Perlu juga dicek, siapa yang ngechate seperti itu. Kapan WAG itu dibuat. Polisi mesti menelusuri dan mengungkap siapa orang ini, dan kapan WAG ini dibuat, agar dunia maya tidak dipenuhi dengan prasangka, praduga dan bermacam stigma.
Kedua, dari pernyataan itu, jelas ada premis yang keliru. Kalau kita bedah dengan kaidah silogisme, kira-kira pernyataan itu begini:
premis mayornya:
“Relawan Anies itu Provokator”.
Premis minornya:.
“Si A itu melakukan provokasi”.
Kesimpulan:
Maka “si A itu relawan Anies”.
Seolah ada kesimpulan bahwa relawan Anies adalah provokator. Siapapun yang melakukan provokasi, itu pasti relawan Anies. Ini kan logika menyesatkan.
Ini akar dari kesalahan fatal dari pernyataan itu. Dan banyak pernyataan-pernyataan sebelumnya berpangkal dari kesalahan premis sesat ini.
Tidakkah di hampir semua WAG ada nada-nada provokatif. Apalagi group yang anggotanya umum dan awam. Group yang anggotanya terdidik saja kadang ada nada-nada provokatif. Ini berlaku umum, kepada siapa saja. Ya kepada Ade Armando, Ya kepada Anies, ya kepada Presiden Jokowi, atau tokoh yang lain. Kenapa yang dicapture hanya salah satu group “yang dituduh” sebagai relawan Anies, yang nama group dan identitas relawannya juga gak dikenal. Relawan Anies yang dikenal itu ada ANIES, Sobat Anies, Kawan Anies, Mileanis, Jabar Manis, Satria, ABC, dll. Group yang dicapture itu masih asing dan tidak pernah didengar namanya. Apa betul itu group relawan Anies? Kapan dibuatnya? Disinilah perlunya polisi membongkarnya. Gak boleh dibiarkan sebagai instrumen politik.
Kalau memang group itu riil, bukan buatan dadakan, apakah para Pengeroyok Ade Armando itu ada di group itu? Atau setidaknya membaca group itu? Apakah salah satu atau sejumlah orang pngeroyok itu terprovokasi oleh ucapan di group itu? Ini harus dicari benang merahnya. Kalau tidak bisa membuktikan ini, mesti ada konsekuensi hukum.
Sebagai contoh misalnya: ketika di satu group ada yang caci maki Anies. Lalu besok ada demo di Balikota yang caci maki Anies. Apakah ini otomatis ada hubungan? Ya belum tentu. Kebetulan saja mereka gak suka Anies. Ini berlaku juga untuk kasus lain, termasuk kasus Ade Armando. Kecuali kalau, sekali lagi, kecuali kalau memang ada yang mau ambil kesempatan untuk menari di kasus ini. Dan publik saya pikir cerdas. Tahu standar obyektifitas, standar etik dan norma politik. Publik tahu bagaimana mensikapi setiap manuver partai yang tidak punya kursi di DPR RI ini.
Dalam konteks ini, yang rugi bukan Anies. Tapi yang rugi pertama, partai yang gak punya kursi di DPR RI itu sendiri yang rugi. Rakyat makin gak simpatik jika partai itu terus menggunakan diksi, apalagi strategi menyerang tanpa data dan membabi buta semacam ini. Di mata Publik muncul stigma adanya “Black Campaign” yang secara konsisten menyasar Anies. Ini akan sangat merugikan partai itu sendiri.
Kedua, selain partai tersebut, rakyat juga dirugikan. Rakyat terus disuguhi atraksi dan akrobat politik yang sungguh tidak berkualitas dan tidak berkelas.
Sudah saatnya partai gurem tersebut evaluasi terhadap strategi agresifnya menyerang Anies yang selama ini dijalankan.
Kita harapkan semua elite politik, baik yang ada di dalam partai atau di luar partai melakukan kompetisi yang berkualitas, yang dalam kompetisi itu rakyat bisa merasakan efek manfaatnya. Setidaknya ada pelajaran yang layak jadi rujukan atau referensi buat rakyat.
Jakarta, 18 April 2022
Komentar