Oleh: KR. Tumenggung Pubonagoro
SABTU, 26 November 2022, Presiden Joko Widodo menghadiri acara pengumpulan massa Gerakan Nusantara Bersatu: Satu Komando untuk Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mengapa Jokowi sebagai presiden sampai bela-belain datang ke acara yang digelar relawan ini?
Banyak hal janggal yang patut dipertanyakan dalam keputusan Jokowi menghadiri acara tersebut. Bila dirasa dengan akal sehat pun, rasanya akan sulit diterima. Mari kita kupas satu persatu mengenai fenomena tersebut.
Pertama, mengapa Jokowi sebagai Presiden RI masih harus repot-repot mengumpulkan massa di GBK? Apakah dia masih mengejar popularitas di masa akhir Jabatannya? Ingat, Masa jabatannya hanya tinggal sekitar satu tahun. Apakah dia masih berpikir untuk maju sebagai capres untuk periode ketiga?
Menggelar acara di GBK saja sudah merupakan sebuah kejanggalan. Jadi sebuah paradoks dan sulit diterima akal sehat. Kita semua tahu bahwa Menteri Pemuda dan Olahraga sudah mengeluarkan peraturan GBK tidak boleh digunakan kegiatan apa pun sampai kegiatan Piala Dunia U-20 Mei 2023.
Nyatanya, relawan Jokowi bisa menggelar acara politik di stadion ini. Apakah Jokowi tidak tahu peraturan ini? Rasanya mustahil. Tak aneh rasanya bila topik tentang acara di GBK trending dan mendapat penilaian miring. Netizen protes tentang ketidakadilan peraturan yang dibuat pemerintah sendiri.
Masalahnya lagi, para peserta yang mengikuti acara tersebut tidak tertib dan buang sampah sembarangan. Akibatnya sekitar GBK jadi penuh sampah. Itu bukan satu-satunya hal miring soal peserta.
Banyak peserta merasa tertipu dengan acara ini. Awalnya dijanjikan untuk mengikuti acara istighosah di GBK, ternyata mereka diminta mendengar pidato Jokowi. Dalam beberapa video yang viral di media sosial, para peserta terlihat keluar dari GBK saat Jokowi tampil di panggung. Para peserta merasa dibohongi oleh panitia.
Sekarang mari kita telisik latar belakang mengapa acara tersebut sampai terjadi dan mengapa sampai Jokowi mau hadir di acara pengumpulan massa oleh relawan. Kita harus melihat peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Awal November 2022, Jokowi mengatakan bahwa pilpres 2024 sepertinya akan jadi jatah Prabowo. Mendengar pernyataan tersebut, terjadi kehebohan dan kegoncangan di kalangan relawan Jokowi. Hal tersebut sangat mengagetkan, karena tiba-tiba Jokowi mendukung Prabowo.
Di kalangan Projo, bahkan ada yang sampai membuat statement seperti ini: “Daripada disuruh mendukung Prabowo, lebih baik pindah gerbong mendukung Anies Baswedan”. Hal ini tak lepas dari kalangan relawan Jokowi yang memang anti kepada Prabowo sejak 2014.
Relawan Jokowi, memang banyak yang berharap agar Jokowi mendukung Ganjar, bukan Prabowo. Berawal dari kekecawaan tersebut, akhirnya sebagian relawan mendesak Jokowi mengumumkan dukungan kepada Ganjar. Hal tersebut, lalu diikuti oleh Jokowi dengan menyebutkan capres berambut putih yang sebaiknya dipilih.
Hal ini memunculkan paradoks berikutnya. Bagaimana seorang kepala negara yang harusnya berada di tengah, terlihat melakukan zig-zag politik untuk mendukung calon tertentu. Bahkan, dia seperti tidak punya pendirian. Saat berada di kelompok tertentu dia akan mendukung satu calon. Di saat didesak relawan, dia akan mendukung calon lainnya.
Apa yang sebenarnya dicari? Apakah dia memilih mencari popularitas di akhir masa jabatannya? Apakah tidak sebaiknya Jokowi fokus menjalankan roda pemerintahan serta menyiapkan pemilu 2024 yang jurdil, agar dia dikenang sebagai pemimpin yang baik dan adil.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bertebaran di kalangan masyarakat. Belum lagi acara ini digelar dengan cara janggal pula. Gerakan Nusantara Bersatu diketuai oleh Aminuddin Ma’ruf, Staf Khusus Presiden.
Bagaimana mungkin acara pengumpulan relawan yang dilakukan dengan menabrak aturan diketuai oleh staf presiden? Bagaimana mungkin acara relawan yang memobilisasi massa bayaran, dengan dalih istighosah diketuai oleh staf presiden?
Kita pantas bertanya-tanya. Untuk memobilisasi massa sebanyak itu, apakah menggunakan uang negara? Kita pantas bertanya, karena acara ini diketuai staf presiden. Bila bukan dari negara, apakah seorang pejabat publik seperti Aminuddin Ma’ruf boleh menerima dana dari pihak ketiga?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan gamblang. Bila tidak, kita bisa menilai, bagaimana negara Indonesia tercinta ini dijalankan dengan cara-cara yang tidak fair, tidak profesional, dan hanya digunakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu.
Komentar