HRS Dijerat Pasal Karet

Gelitik, Hukum, News13 Dilihat

Oleh Chandra Purna Irawan SH MH
(Ketua LBH Pelita Umat dan BHP KSHUMI)

KAMIS 24 Juni 2021 dikabarkan Hanib Rizieq Syihab (HRS) divonis 4 tahun penjara dengan tuduhan berbohong, dijerat Pasal 14 ayat (1) UU No.1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Berikut bunyi Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan isi pasal sebagai berikut: (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun,”

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, pernyataan tentang kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab yang menyatakan dalam keadaan sudah pulih/sehat bukan merupakan perbuatan tercela dan oleh karenanya tidak ada perbuatan melawan hukum. Ucapan tersebut adalah termasuk bagian dalam pikiran, sebab dirinya merasakan sudah sehat. Penilaian atas kesehatan diri sendiri adalah penilaian yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya. Dengan mengacu pada asas “cogitationis poenam nemo patitur” (tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya), maka pernyataan sehat Habib Rizieq Syihab bukanlah delik;

BACA JUGA :  “Kriminalisasi” kepada Cak Imin Tidak Hentikan Pencapresan Anies Baswedan

Kedua, pasal tersebut bersifat karet, lentur dan tidak memuat definisi pasti yang ketat. Dalam hal ini apa yang dimaksud “berita atau pemberitahuan bohong”, dan “keonaran di kalangan rakyat”. Semestinya harus didefinisikan secara konkrit dan memiliki batasan yang jelas .Apabila tidak maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan. Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya;

Ketiga, selain tidak ada definisi yang jelas terkait apa yang disebut sebagai “berita atau pemberitahuan bohong”, hingga kini tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan dan mendefinisikan apa yang dimaksud “berita atau pemberitahuan bohong”, dan “keonaran di kalangan rakyat”. Dan memberikan standarisasi terhadap apa yang dimaksud sebagai “berita benar” dengan “berita bohong”, atau pun peraturan perundang-undangan bagaimana memvalidasi “berita atau pemberitahuan bohong”;

Keempat, bahwa frasa “keonaran di kalangan rakyat“ pun hingga saat ini tidak ada defenisi dan batasan yang jelas. Apakah “keonaran di kalangan rakyat“ memiliki makna yang sama dengan “populer”, “viral”, “ramai diperbincangkan”, “terjadi pro kontra yang sebatas adu argumentasi”, “benturan fisik”, “kekacauan”, atau pun “kerusuhan”? Tidak ada batasan “keonaran di kalangan rakyat”, dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi “keonaran di kalangan rakyat“.

BACA JUGA :  Mengapa Anies Baswedan Perlu Didukung

Demikian legal opini saya sampaikan.

Wallahualam bishawab

Komentar