Potret Pemimpin Kontemporer Indonesia


Oleh: Makmur Ibnu Hadjar
(Alumni UGM dan Curtin University,Perth Australia)

DALAM konteks mitologi ada dua sisi yang saling bertentangan tentang lahirnya seorang pemimpin; versi pertama menggambarkan proses pembentukan pemimpin, melalui uji kepribadian, uji keuletan, uji kesabaran, sebagai proses untuk dapat menekan hasrat untuk memberontak. Pemimpin itu harus dapat berperilaku sebagai resi (meresi, rela bergumul dengan berbagai proses yang dapat membentuk kepribadian kepemimpinannya, sambil menahan dengan kuat keangkuhan kepribadiannya.

Versi lainnya adalah, pemimpin yang lahir di luar proses revolusioner, yaitu suatu proses yang menyimpang. Pemimpin yang lahir dari proses ini dalam mitologi diwakili oleh tokoh Ken Arok. Tokoh ini dibesarkan dalam dunia yang kelabu, tidak berada dalam jargon-jargon yang semestinya membentuk kepribadian pemimpin.

Apapun proses atau jalur yang dipilih oleh seorang pemimpin, kesemuanya akan menjadi sah atau pada gilirannya disahkan kemudian ketika berhasil membangun dan membuktikan keabsahan kepemimpinannya. Pemimpin yang sukses dalam kepemimpinnya adalah yang cerdas mengawetkan keabsahan (legitimasinya), dari sumber – sumber legitimasi yang menopang sang pemimpin.

Format Pemimpin Kontemporer Indonesia

Herberth Feith (1964) dalam hasil penelitiannya tentang Indonesia (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia) menjelaskan tentang dua tipe pemimpin di Indonesia, tipe pertama yang dia sebut Solidarity Maker dan yang kedua adalah Administrator. Tipe pertama adalah pemimpin yang memiliki keunggulan mengintegrasikan masyarakat, menggalang dan membangkitkan solidaritas serta emosi masyarakat, memahami organiasasi massa dan memahami simbol–simbol budaya, pemimpin tipe ini diwakili oleh Soekarno. Tipe yang kedua adalah pemimpin memikirkan dan menguasai administrasi negara, menguasai konsep – konsep perencanaan dan pembangunan negara, konsep hukum dan keuangan negara. Tipe yang kedua ini merujuk kepada Bung Hatta, yang memang secara intens memikirkan dan melahirkan konsep–konsep sistem pembangunan ekonomi, keuangan dan hukum diawal beridirinya negara kesatuan Republik Indonesia.

BACA JUGA :  AHY Tanggapi KSP Moeldoko: Tidak Ada Pertentangan Ideologi di Partai Demokrat

Pemimpin Indonesia yang muncul pasca orde lama seperti Soeharto, dengan mengacu kepada tesis Feith, lebih cendrung pada tipe administrator, dimana pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memformulasikan atau merumuskan penguatan kepemimpinannya adalah pembangunan sektor ekonomi dan stabilitas nasional, dengan dua lokomotif utama yaitu militer dan teknokrat. Kelompok terakhir ini (teknokrat) mulai popular di Indonesia di awal Orde Baru, yang beperan merakit formulasi pembangunan ekonomi Indonesia. Istilah teknokrat sendiri mulai muncul setelah Perang Dunia I yang menggambarkan kapasitas pemikiran atau sistim pemikiran ekonomi yang diilhami oleh analisis atas dasar ilmu fisika (Jean Meynand,1964).

Kepemimpinan Soeharto setelah 10 tahun berkuasa, legitimasinya dibangun di atas jargon stabilitas nasional (security approach) dan pembangunan ekonomi. Soeharto sebagai pemimpin menjadikan kedua jargon tersebut sebagai pusat konsepsi yang disakralkan, Setelah Soeharto, beberapa pemimpin skala nasional yang muncul, semisal B.J Habibie.

Habibie sebenarnya adalah awal dari pemimpin nasional yang meletakkan proses demokratisasi yang sesungguhnya, (truly democracy), menurut tesis Huntington (1991), Habibie yang memutuskan momentum penting tersebut melalui Pemilu 1999, dan mengembangkan instrumen demokrasi lainnya seperti kebebasan pers, kebebasan berkumpul (berserikat), yang melahirkan 48 partai politik.

BACA JUGA :  BAGUS SEKALI DIDU VS LUHUT

Megawati dan Gus Dur

Ada beberapa kesamaan fundamental antara Megawati dan Gus Dur, yakni masing–masing besar di luar sistem kekuasaan. Gus Dur bergelut dengan LSM dan NU sedangkan Megawati dalam riel kekuatan politik. Masing–masing juga memiliki basis tradisional, yaitu pesantren (nahdiyin) dan kaum nasionalis (marhaenis). Secara empirik kedua-duanya memiliki keterbatasan, hanya terpukau pada legitimasi yang mereka miliki saat itu.

Jika kita memotret delegitimasi Gus Dur justru banyak disebabkan oleh sikap pribadi, yang kesulitan melompat dari kawasan menajerial pesantren, NGo dan tradisi NU ke kawasan menejerial ketatanegaraan yang memerlukan konsistensi sikap, harmoni hubungan kelembagaan negara dan kejelasan patron hukum atas keputusan yang diambil. Gus Dur terkendala mentrasformaskan nilai kepemimpinannya dari tradisonal ke modernis rasional. Kepemimpinan Gus Dur, yang lazimnya dipersepsi sebagai kesakralan dan kharismatik oleh pengikutnya, yang leluasa digunakan untuk memberikan justifikasi, termasuk atas beberapa kekeliruan.

Keterbatasan kepemimpinan Gus Dur tersebut, selanjutnya kesepakatan politik dari hampir semua kekuatan politik diarahkan pada Megawati Soekarnoputri. Ada dua harapan kolektifitas yang muncul dalam situasi seperti itu yaitu; kompetensi yang diperkirakan dimiliki oleh Megawati untuk mengatasi berbagai masalah bangsa, dan yang lain adalah kompetensi atau bobot untuk mengeliminir berbagai friksi diatara kekuatan politik.

BACA JUGA :  Selamat Jalan Sahabat Karibku

Konstalasi aktual saat ini, kita dihadapkan dalam arena memilih pemimpin bangsa, dalam momentum pemilu presiden 2024, pemimpin bangsa yang kita butuhkan adalah pemimpin yang memiliki akar konsistensi, peta garis kejujuran dan ketegasan, serta tangkas dan cerdas dalam mengambil keputusan. Dalam istilah Nurcholish Madjid (2003 ), pemimpin yang memilki visi tentang masa depan bangsa. Seorang dengan intuisi kepemimpinan savoir faire (basirah), yaitu harus senantisa tetap setia memelihara amanat dan kepercayaan umum, dan berperan sebagai pembina kesepakatan (concensus builder) antar berbagai komponen bangsa. Pemimpin yang memiliki prespektif; membawa perubahan dan mengangkat martabat bangsa, menjadi bangsa yang memiliki daya saing yang tinggi, bangsa yang mampu mengelola sumber daya alam dengan SDM dan teknologi sendiri, pemimpin yang konsisten mendorong penegakan supremasi hukum, dan pemimpin yang konsisten memberantas korupsi.

Pada sisi lain yang lebih utama dari sudut padang demokrasi adalah, karena terbuka jalan yang cukup luas untuk partisipasi sosial-politik, maka pemimpin yang akan datang harus menemukan “formulasi dan paradigama” guna mengantisipasi perubahan kualitatif pada masyarakat, dalam bentuk meningkatnya berbagai harapan dan tuntutan dalam berbagai konteks kehidupan, terutama bidang ekonomi, penegakan hukum dan sosial-politik.

Jika ini tidak tepat pendekatan solusinya, maka konsekwesinsi logisnya yang dihadapi oleh pemimpin baru pasca pilpres adalah gejolak sosial, yang terus mengganggu dan akhirnya kegagalan substansial atas harapan objektif rakyat.

Komentar