Geisz Chalifah
SUPIR di rumah saya bernama Maulana. Sudah ikut dengan saya entah sudah beberapa tahun, yang pasti lebih dari dua puluh tahun. Sejak Maulana belum menikah.
Saat anak pertamanya lahir seorang bayi perempuan. Maulana bertanya pada saya.
“Pak anak saya mau diberi nama apa?”
Saya katakan kamu ayahnya kamu pilih nama yang kamu suka dan punya arti yang baik.
Maulana berkata lagi:
“Saya maunya bapak yang memberikan nama anak saya, maka saya katakan: Aisyah”.
Beberapa tahun kemudian lahir anaknya yang ketiga yang juga perempuan.
Maulana bertanya lagi:
“Pak anak saya yang ketiga perempuan, namanya apa?”
Saya katakan saya punya satu nama yang saya simpan, yang akan menjadi nama anak perempuan saya, namun tiga anak saya tak ada satupun yang perempuan semuanya Laki-laki. Kalau kamu mau, nama yang saya siapkan itu adalah Madina.
Sambil saya jelaskan sejarah kota itu dan kalau ada kota di dunia ini yang selalu saya rindukan adalah Madinah.
Maulanapun memberikan nama anak ketiganya dengan nama Madina. Kini Madina masih TK dan pelajaran mengajinya sudah mencapai Iqro dua.
Di malam lebaran Aisyah dan Madina datang menemui saya, keduanya memanggil saya: Abah.
Aisyah bercerita bahwa dia sudah akan memasuki SMK, nilai sekolahnya rata-rata 8 dan 9.
Saya tanyakan mengapa mau masuk SMK? Kenapa tidak SMA saja? Aisyah menjawab: kalau lulus ingin bisa cepat kerja.
Anak seusia itu ingin cepat-ceoat membantu ayah dan ibunya. Situasi yang dihadapi tentu saja membuatnya tak berani bermimpi sebagaimana anak-anak lain seusianya yang hidup dalam kemapanan.
Saya tersenyum mendengarnya, lalu mengatakan pilihlah sekolah dimana saja yang kamu inginkan, tapi kamu tak akan berhenti sekolah sampai SMK karena harus tamat kuliah.
Aisyah sesungguhnya faham dia tau bahwa selain ayah kandungnya, dia memiliki keluarga lain, dia juga memiliki tiga orang kakak lelaki (anak-anak saya) yang tak akan membiarkannya putus sekolah.
Menjelang akhir perbincangan, saya menanyakan tentang kerudung (jilbab) yang menutupi kepalanya.
Aisyah bercerita bahwa perempuan harus menutup aurat dan dia juga memang menyukai memakai Jilbab sebab dengan memakai kerudung katanya lagi, itu juga menjaga ayahnya.
Aisyah bukan manusia gurun sebagaimana yang dikatakan Rektor ITK. Aisyah hanya seorang perempuan muda yang meyakini bahwa jilbab adalah bagian dari keyakinan yang iya yakini.
Semoga kelak bila mendapat kesempatan untuk test beasiswa LPDP, Aisyah tak bertemu penguji rasis seperti sang Rektor ITK. Yang menyatakan dengan sangat jelas bahwa penutup kepala (Jilbab) adalah manusia gurun.
Semoga saat dia dewasa nanti dunia akan jauh lebih baik, kebencian pada umat dan ajaran Islam tak didapatinya sebagaimana yang terjadi seperti saat ini.
Komentar