Oleh: Moh. Bahri, S.Pd.I, SH
(Anggota DPRD Prov Banten, Fraksi Gerindra)
SEBUAH kitab klasik, berjudul Mawahid Ar Rabbaniyah ditulis khusus oleh Imam Mekah, dipersembahkan untuk Sultan Banten ke-4, Sultan Abdul Mufakir, di Tahun 1600an, menjadi bukti sejarah keagungan para pemimpin Banten.
Jika dibandingkan dengan saat ini, maka kitab itu adalah kitab etika politik dan tata negara.
Betapa tidak, kitab itu khusus berisi nasehat-nasehat penting untuk penguasa Banten, agar menjalankan roda pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kitab itu sendiri, meracik butiran hikmah atas kitab populer karya Al Ghazali, yang berjudul Nasihahul Al Mulk.
Ringkas kata, para pemimpin Banten era klasik itu, mewariskan jejak kemuliaan nirtanding, yang bisa kita pelajari hingga detik ini.
Mereka, para Sultan sekaligus Waliullah, adalah kaca bening bagi contoh ideal. Bahwa pemimpin tak melulu soal operasi kekuasaan dan penaklukan. Melainkan juga: kecerdasan, keluhuran akhlak, dan keberanian berkorban.
Bayangkan, di era 1600an mereka sudah punya tradisi literasi yang kuat, serta punya daya intelektualitas mumpuni. Saat itu, di tempat lain, para penguasanya masih mengklaim sebagai keturunan para dewa.
Poin penting lain, leluhur kita, di Banten, mampu membangun mahakarya yang mengagumkan. Lihat misalnya: sistem irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa, penyulingan air di Tasik Ardi, mengirim duta ke London dan Mekah, Masjid Agung, perdagangan internasional, bandar pelabuhan, serta menghadirkan tatanan sosial yang kosmopolit.
Spirit keteladanan lain yang patut kita tiru, keberanian para Sultan untuk menolak takluk pada kolonialisme.
Garis waktu kemudian memperlihatkan etos yang sama. Yakni keteguhan para pemimpin publik di tatar Banten, yang memiliki kualitas terbaik.
Mengutip istilah Plato, maka para pemimpin Banten kerap memperlihatkan ciri sebagai The Philosopher King (pemimpin bijak dan cerdas).
Sesungguhnya saat ini, kita pun masih membutuhkan kharisma kepemimpinan seperti dulu.
Pemimpin yang cerdas, berpihak pada rakyat, solutif terhadap masalah, religius, dan punya prestasi yang membawa maslahat.
Di Banten, daulat rakyat adalah berporos pada daulat pemimpin.
Saat terjadi gejolak, konflik, ketegangan, dan peperangan terbuka, sesungguhnya terjadi karena kharisma para pemimpin.
Studi beberapa pakar, menyebut aneka perlawanan rakyat di Banten, yang nyaris beruntun, justru karena kerinduan rakyat akan hadirnya karakter pemimpin yang mereka inginkan.
Baik sejak era kesultanan, kolonialisme, maupun pembangkangan publik di era moderen, berporos pada ketiadaan pemimpin yang rakyat butuhkan.
Tipologi perlawanan dan aspirasi keras itu bergerak dalam sejumlah pola.
Seperti perang total di era Sultan Ageng, Syaikh Yusuf, dan Pangeran Purbaya melawan Belanda (berkongsi dengan Sultan Haji). Juga perlawanan Kyai Tapa beserta Tubagus Buang.
Pola ini berciri tegas, rakyat berpihak pada pemimpin yang adil, yakni para Sultan Banten yang sahih, dan anti terhadap Sultan Banten versi boneka Belanda.
Pola berikut, perlawanan berciri “mileniarisme ratu adil”, alias perlawanan yang bersumber pada keyakinan hadirnya Ratu Adil. Sebagaimana peristiwa Geger Cilegon (pemberontakan petani Banten). Berlanjut dengan perlawanan oleh Mas Jakaria, kasus Pamarayan, Cikande Udik, hingga Nyi Mas Melati.
Dalam konteks ini, perlawanan rakyat justru digawangi para pemimpin lokal yang kharismatik, dan berjuang untuk menegakkan kembali kesultanan Banten yang telah runtuh.
Pola lain, perlawanan sporadis dan menyebar, yang oleh Robert Cribb disebut sebagai “banditisme sosial”. Di konteks ini, perlawanan dipimpin oleh Ulama atau Jawara lokal. Guna mempertahankan kedaulatan NKRI.
Kesimpulan dari narasi di atas bahwa energi dari rakyat serta pemimpin Banten adalah magma sosial. Bisa menjadi produktif, jika para pemimpinnya berkualitas. Dan sebaliknnya bisa melahirkan gejolak, andai posisi hubungan rakyat penguasa kurang harmonis.
Hingga itu, kita punya cermin bening. Atas pola hubungan antara rakyat dan penguasa di Banten.
Bahwa daulat rakyat di Banten selalu mengarah pada pembelaan terhadap para pemimpin mereka, yang mereka cintai.
Terakhir, bagaimanapun publik luas juga patut memperhatikan nilai-nilai keadaban yang diwariskan sejak lama. Bahwa rakyat boleh mengajukan gugatan, tetapi penghormatan kepada pemimpin publik juga wajib dipegang.
Wallahu’alam
Komentar